PNS Wanita: Kaum Rentan dalam Pusaran Mutasi

by Fitriati Anom ♥ Associate Writer | Feb 9, 2025 | Birokrasi Melayani | 2 comments

Wanita adalah makhluk ciptaan Allah SWT dengan segala kekhususannya. Kekhususan ini terkait “tugas dan fungsi” (baca:kodrat) wanita yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Suatu peran yang sangat penting dalam tumbuh kembang seorang insan.

Selain berperan sebagai seorang ibu, wanita juga berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Peran kemasyarakatan ini termasuk di antaranya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sebagai seorang PNS, wanita memiliki kesempatan untuk mengembangkan karir
sehingga tidak luput dari mutasi, yaitu berpindah tugas ke daerah di luar domisilinya. Hal ini seringkali menjadi suatu dilema bagi PNS wanita yang sedang dalam kondisi mengandung dan menyusui anak (kondisi rentan).

Negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. Salah satu aspek yang dilindungi oleh negara berdasarkan hukum adalah Hak Asasi Manusia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM).

Di antara hak asasi manusia yang diakui oleh UU HAM yaitu hak asasi Kelompok Masyarakat Yang Rentan atau sering disebut Kaum Rentan. Menurut Undang-Undang HAM, Kaum Rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.

Secara lebih spesifik, pada tahun 2024 Negara hadir untuk melindungi Wanita dalam kondisi kodratnya sebagai seorang Ibu, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perlindungan Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (selanjutnya disebut UU KIA). Hal ini mengukuhkan, bahwa PNS wanita selaku seorang manusia yang memiliki kondisi rentan wajib mendapatkan perlindungan khusus dari Negara. 

Berdasarkan ketentuan hukum di atas, maka PNS dari golongan wanita merupakan kaum rentan yang wajib mendapat perlindungan dan perlakuan khusus karena kerentanan tersebut (kondisi hamil dan sebagai ibu dari anak di bawah usia lima tahun) berdasarkan UU HAM dan UU KIA.

Perlindungan tersebut meliputi seluruh aspek dalam pekerjaannya pada Kementerian/Lembaga, baik sarana maupun prasarana serta regulasi mengenai hak-hak khusus PNS Wanita. Namun dari semua regulasi tersebut, terdapat suatu kondisi yang luput dari pengaturan regulasi terkait hak khusus PNS wanita, yaitu ketentuan menyangkut mutasi.

Permasalahan dalam Mutasi PNS Wanita

Dalam praktiknya, mutasi terhadap PNS wanita yang sedang hamil dan menyusui (kondisi rentan) belum sepenuhnya memerhatikan dan mempertimbangkan kondisi rentan tersebut.

Masih terjadi penempatan promosi atau mutasi PNS wanita hamil
atau yang sedang menyusui bayi yang jauh dari suami dan keluarga, bahkan hingga di luar pulau. Ada juga penempatan PNS wanita yang merupakan ibu tunggal yang jauh dari domisili dan sekolah anak-anaknya yang masih di bawah umur. 

Terhadap keputusan mutasi tersebut tidak sedikit PNS wanita yang melakukan “perlawanan”. Namun ketiadaan instrumen yang tegas tentang perlindungan terhadap PNS wanita terkait mutasi menyebabkan yang bersangkutan dihadapkan pada posisi sulit, dan bahkan terkena hukuman disiplin hanya karena membela dan menuntut haknya.

Sungguh sebuah ironi, di mana permasalahan terkait pemenuhan hak PNS wanita terkait kondisi rentan dapat berujung pada pelanggaran disiplin. 

Gagasan untuk Perbaikan

Landasan filosofis yang terdapat dalam konsideran UU HAM, menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

Ketentuan mengenai HAM tersebut selain merupakan pengejawantahan identitas dan karakter bangsa Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, juga sebagai bentuk partisipasi bangsa Indonesia sebagai bagian dari entitas internasional, dalam menghormati dan menegakkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan berbagai instrumen internasional tentang HAM lainnya.

Berikut adalah aspek dalam Undang-Undang HAM yang merupakan perlindungan terhadap PNS wanita:

  1. Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan meliputi orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
  2. Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warna negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
  3. Pasal 41 ayat (2) menyatakan bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
  4. Pasal 45 menyatakan dengan tegas bahwa hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi manusia.
  5. Pasal 49 secara komprehensif menyatakan bahwa:
  • Ayat (1): wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
  • Ayat (2): wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi Wanita.
  • Ayat (3): hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Sebagai landasan filosofis, dalam konsideran UU KIA dinyatakan bahwa perlindungan dan penjaminan terhadap kesejahteraan Ibu dan Anak dalam fase seribu hari pertama adalah dalam rangka menciptakan generasi penerus yang unggul.

Begitu pentingnya permasalahan ini sehingga Negara perlu mengatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus. Berikut adalah aspek-aspek perlindungan hak PNS Wanita yang terdapat dalam Undang-Undang KIA:

  • Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Kesejahteraan Ibu dan Anak adalah suatu kondisi terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak yang meliputi fisik, psikis, sosial, ekonomi, spiritual dan keagamaan, sehingga daapt mengembangkan diri dan berpartipasi secara optimal sesuai dengan fungsi sosial dalam perkembangan kehidupan masyarakat.
  • Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang selanjutnya disebut Anak adalah seseorang yang kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan anak berusia 2 (dua) tahun.
  • Pasal 2 menyatakan bahwa penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak berdasarkan asas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, asas keadilan, asas kesetaraan gender, asas perlindungan, asas kemanfaatan, asas pemberdayaan, asas keterpaduan, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas keberlanjutan, asas kepentingan terbaik bagi ibu dan anak, serta asas nondiskriminasi.
  • Pasal 30 ayat (4) menyatakan bahwa selain dukungan fasilitas, akomodasi yang layak, sarana dan prasarana ditempat kerja, dukungan juga diberikan kepada ibu yang bekerja dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja.

Adapun dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN) belum diatur secara spesifik mengenai hak-hak khusus PNS wanita sebagai kaum rentan.

Namun, UU ASN secara umum menganut dan menerapkan asas-asas dalam manajemen ASN, di antaranya asas proporsionalitas yang artinya manajemen ASN mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Pegawai ASN.

Menurut Amran Suadi (2024) perempuan atau wanita dalam situasi tertentu
merupakan bagian dari kelompok rentan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemenuhan hak dari PNS wanita tidak saja menyangkut pemberian cuti, namun juga dalam segala aspek yang berhubungan dengan pekerjaannya, termasuk penempatannya dalam hal mutasi.

Keseimbangan antara karir dan kodrat

Gagasan mengenai perlakuan khusus bagi PNS wanita yang dalam kondisi rentan terkait mutasi, sudah saatnya mendapat perhatian dari pemangku kebijakan. Kehadiran UU KIA selayaknya menjadi kabar positif, yang perlu sesegera mungkin diadaptasi dan diintegrasikan serta diimplementasikan. Hal ini dalam rangka mewujudkan tata kelola organisasi dan manajemen ASN yang inklusif.

Selain itu, implementasi hak khusus PNS wanita dalam hal mutasi adalah dalam rangka meminimalisir dan bahkan meniadakan potensi permasalahan atau sengketa antara PNS wanita dan pemimpin organisasi.

Dengan adanya regulasi tersebut, diharapkan PNS wanita mendapatkan keseimbangan antara karir dan tugas kodrati mengandung dan menyusui. Keseimbangan ini berdampak pada performa yang baik dalam hal karir PNS wanita tersebut, serta tercapainya target kinerja organisasi.

Implementasi hak khusus PNS wanita sebagai kaum rentan terkait mutasi merupakan bagian dari upaya pemerintah mewujudkan organisasi dan pelayanan publik yang inklusif terhadap masyarakat. Baik pelayan maupun masyarakat adalah sama-sama manusia yang juga sebagai makhluk sosial, sehingga manajemen ASN yang inklusif berdampak positif terhadap performa ASN dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. 

Pelayanan publik yang inklusif memperhatikan dan mendukung prinsip diversitas (keragaman/perbedaan) dan inklusivitas (penerimaan perbedaan) suatu organisasi.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) melakukan audiensi dengan Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT) Selandia Baru dalam rangka studi tiru mengenai pelayanan yang inklusif.

Kesimpulannya adalah jika budaya organisasi penyedia layanan sudah inklusif
maka akan lebih mudah memberikan layanan publik yang inklusif kepada masyarakat. Dengan kata lain, kuncinya adalah membangun budaya organisasi yang inklusif terlebih dahulu.

Para pemangku kebijakan berperan penting dalam mewujudkan budaya organisasi yang inklusif. Meskipun secara umum ketentuan mengenai hak PNS wanita sebagai kaum rentan terkait mutasi belum diatur secara eksplisit, para pemimpin organisasi dapat bertindak secara progresif demi kebutuhan organisasi.

Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya manusia yang handal dan profesional merupakan salah satu kebutuhan organisasi yang harus dikelola dengan tepat dan bijaksana. Komitmen untuk aktif dan responsif dalam menentukan kebijakan, itulah yang dibutuhkan dalam upaya tersebut.

Menurut Satjipto Rahardjo (2009) dalam perspektif hukum progresif, hukum adalah alat untuk mencapai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Hal ini sebagaimana semboyannya “hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya”.

Demikian juga, hukum dalam pandangan sociological jurisprudence dikonsepsikan sebagai “law as a tool of social engineering”, yang dalam konteks bangsa Indonesia disempurnakan oleh Muchtar Kusumaatmadja menjadi “hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat” (Nasution, dkk., 2015).

Lingkup skala yang lebih kecil yaitu suatu lembaga negara, “masyarakat” yang dimaksud mencakup sumber daya manusia yang bernaung dalam lembaga negara tersebut. Pemimpin organisasi yang berkarakter progresif senantiasa peka terhadap perubahan maupun kebutuhan organisasinya, sehingga keputusan-keputusan yang diambil bersifat tepat dan menyeluruh.

Dengan demikian, kehadiran UU KIA perlu mendapat respon segera sehingga PNS wanita mendapatkan perlindungan terkait kerentanannya, terutama terkait mutasi.

Khususnya pada MA sebagai Lembaga Penegak Hukum

Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan turut merespons serta berpartisipasi aktif dalam isu wanita sebagai kaum rentan. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa penanganan suatu perkara yang melibatkan laki-laki maupun wanita tidak bisa dipukul rata. Oleh karena itu sudah saatnya MA kembali bertindak progresif dengan memasukkan unsur kebijaksanaan dan penghormatan kepada PNS wanita sebagai kaum rentan, terkait mutasi terhadap dirinya.

Sebagaimana wanita berhadapan dengan hukum, PNS wanita yang berhadapan dengan mutasi juga perlu mendapat perlakuan khusus. Sehingga meskipun ketentuan mengenai mutasi PNS belum mengatur secara spesifik tentang hak PNS wanita sebagai kaum rentan, pemimpin organisasi dapat menggunakan diskresinya untuk mengatur sesuai dengan kewenangannya.

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, sebagai salah satu pejabat eselon I pada MA tempat penulis bekerja, berpesan bahwa, suatu organisasi perlu menerapkan prinsip “bersama sukses, sukses bersama”.

Hal ini, sebagaimana artikel yang dimuat dalam website www.badilag.net rubrik Pojok Dirjen tanggal 20 Januari 2025, dapat dieksplorasi lebih dalam lagi salah satunya dengan membentuk lingkungan kerja yang inklusif. Pada lingkungan kerja yang inklusif, setiap individu dalam tim harus merasa dihargai dan didengar.

Pentingnya setiap individu pada organisasi bekerja dengan optimal tanpa rasa takut atau tekanan yang tidak perlu. Spirit ini dapat menjadi modal awal dalam mengimplementasikan hak PNS wanita sebagai kaum rentan terkait mutasi. Agar sukses benar-benar dimiliki oleh setiap golongan, menjadi sukses bersama.

3
0
Fitriati Anom ♥ Associate Writer

Fitriati Anom ♥ Associate Writer

Author

Seorang Abdi Negara pada Mahkamah Agung RI

2 Comments

  1. Avatar

    Alhamdulillah, InsyaAllah artikel ini menjadi starting point artikel-artikel berikutnya ya.

    Reply
    • Avatar

      Jazakumullah khairan katsiran atas supportnya Mas ❤️

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post