“PNS Dimanja di Tahun Politik”, Benarkah?

by Ridho Arisyadi ▲ Active Writer | Apr 15, 2019 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Pengantar

Beberapa hari menjelang pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, media mengabarkan bahwa kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) akan cair pada pertengahan bulan April ini, lengkap dengan rapelannya. Respon yang muncul atas salah satu kebijakan pemerintah ini pun terbilang beragam, mulai dari yang biasa-biasa saja hingga yang menganggap kebijakan ini bermuatan politik.

Membaca beberapa ulasan di media massa, memori saya kembali teringat pada salah satu berita di salah satu laman berita online pada Maret 2018. Judul beritanya cukup menggelitik, yaitu “Bersyukurlah PNS yang Selalu Dimanja di Tahun Politik”.

Isi berita tersebut menyampaikan kembali rencana kenaikan gaji PNS, sebagaimana telah dicantumkan pada Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Rencana tersebut bahkan telah diutarakan dalam pembacaan nota keuangan tanggal 16 Agustus 2018. Kebijakan menaikkan gaji PNS juga beberapa kali diberitakan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya di tahun pemilu.

Yang menggelitik bagi saya pribadi adalah pemilihan istilah “dimanja”. Saya rasa, frasa tersebut menggunakan majas hiperbola. Sebab menurut saya, kenaikan gaji PNS bukanlah sesuatu yang wah atau pantas disebut memanjakan. Apalagi, kenaikannya cuma 5% dari gaji. Catat hanya gaji, tidak termasuk tunjangan.

Kondisi Penggajian PNS

Birokrat Menulis pernah mengulas tentang rincian penghasilan yang diterima oleh PNS pada berbagai instansi pemerintah, yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan kinerja. Pada beberapa instansi pusat dan pemerintah daerah, mereka menerima tambahan remunerasi dan atau tambahan penghasilan PNS (TPP).

Pendapatan tesebut akan bertambah jika PNS memegang peranan tertentu, misalnya sebagai pengelola anggaran. Dengan posisi ini, yang bersangkutan akan mendapatkan honor tambahan, seperti honor pengelola anggaran dan honor kelompok kerja unit lelang pengadaan.

Belum lagi jika kita hitung rupiah yang bisa didapatkan dari uang perjalanan dinas, nilainya sangat fluktuatif. Meskipun begitu, perhitungan penghasilan di atas bisa sangat berbeda antara instansi satu dengan lainnya. Bahkan, dalam satu instansi yang sama pun penghasilan para pegawai dengan jabatan yang sama sangat mungkin berbeda.

Poin yang ingin saya garis bawahi adalah bahwa gaji pokok hanya merupakan salah satu dari beberapa instrumen pendapatan seorang PNS. Dengan demikian, jika presiden ingin memanjakan PNS, yang perlu dinaikkan semestinya bukan hanya gaji pokok, tapi juga tunjangan kinerja atau tunjangan remunerasi.

Apalagi jika kita analisis secara ekonomi, nilai kenaikan gaji pokok yang diterapkan pada tahun ini 2019 ini tidak cukup signifikan. Kenaikan gaji sebesar 5% ternyata lebih rendah daripada besaran akumulasi penurunan nilai mata uang atau inflasi yang terakhir kali dinaikan pada tahun 2014 yang lalu.

PNS Serba Salah di Pemilu

Keberadaan PNS, kadangkala disebut juga aparatur sipil negara (ASN), sejatinya merupakan instrumen negara yang mejalankan fungsi dalam menyejahterakan rakyat  dengan melaksanakan tugas dan fungsi yang telah ditetapkan. Tugas dan fungsi yang dilaksanakan pastinya selaras dengan arah kebijakan pembangunan.

Meskipun rencana pembangunan di negara kita ini disusun secara rapi dan teliti demi kepentingan bangsa, unsur-unsur politis terkadang masih terasa hangat dalam pelaksanaan program pembangunan. Kondisi ini telah menjadi rahasia umum dan terjadi hingga tingkat pemerintahan level terendah sekalipun.

Saya tidak mengatakan hal ini salah, tetapi justru menganggapnya wajar. Hal ini mengingat jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan memang tidak bisa dilepaskan dari peran mekanisme politik. Sementara, kewenangan seorang pemimpin yang memperoleh jabatan lewat jalur politik mau tidak mau harus menunjukan haluan politiknya. Kalau kata pengamat politik, hal ini disebut incumbent advantages.

Bagi seorang ASN, melaksanakan program kerja dengan sebaik-baiknya dan melayani tanpa pilih kasih dan pandang bulu adalah sebuah kewajiban. Bahkan, kadang-kadang ASN juga harus menjalankan program kebijakan yang dirasa kurang berkenan dengan keyakinan politisnya sebagai seorang warga negara. Berkaitan dengan ini, kadangkala ada pula pimpinan instansi yang mengarahkan bawahannya untuk mendukung afiliasi politik tertentu.

Tidak ada alasan untuk tidak menaati apapun perintah pemimpin selagi hal tersebut tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar. Meski kemudian isi hati kecilnya hanya bisa diketahui Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya, konflik batin ASN seperti ini tidak terjadi hanya di tahun pemilu. Bagi ASN, sebagaimana semua pekerja pada umumnya, tidaklah etis untuk mengekpresikan ketidaksukaannya terhadap kebijakan pimpinan di tempat dia bekerja.

Menjadi ASN berarti juga menghilangkan kesempatan untuk terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi pengurus partai politik ataupun calon anggota legislatif. ASN pun juga tidak diperbolehkan menunjukan dukungannya pada partai politik atau calon pemimpin jabatan politis. Bukan hanya tidak menghadiri acara resmi, dukungan di sosial media dengan sekedar foto pun juga “tidak diperbolehkan”. Maka menjadi serba-salah bagi ASN yang memiliki keluarga yang bertarung di pemilu karena mereka tidak dapat terang-terangan menyatakan dukungan langsung.

Netralitas ASN

Birokrat Menulis juga pernah membahas tentang netralitas ASN dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Telah dijelaskan bahwa netralitas ASN berarti pelayanan pegawai pemerintah kepada siapapun pejabat politik dan dari partai politik (parpol) manapun ia berasal. Artinya, pelayanan kepada masyarakat tidak akan berubah sedikitpun walau pejabat politiknya telah berganti.

Pegawai negeri yang netral tidak akan mengurangi atau memberikan kelebihan pelayanan kepada pejabat politik dari parpol manapun yang mememerintah. Dengan demikian, netralitas pegawai negeri adalah memastikan profesionalisme mereka dalam menjalankan roda pemerintahan agar tidak bergeser, walaupun pejabat politik dari parpol yang memerintah itu berubah.

Disampaikan juga dalam artikel yang sama bahwa salah satu penyebab permasalahan netralitas birokrat adalah “Adanya upaya dari para Kepala Daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota yang secara tidak profesional yang menghendaki bawahannya mendukung dukungan politiknya atau partai pengusungnya”.

Artinya, netralitas birokrasi merupakan sebuah produk berkesinambungan yang tidak hanya menjadikan ASN sebagai sosok yang wajib netral, namun juga semua lini yang terkait dengan pelayanan birokrasi.

Penutup

Menghadapi dinamika kondisi politik yang sedikit banyak mempengaruhi lingkungan kerjanya, para pegawai negeri harus cermat dalam bersikap. Seorang ASN semestinya sadar dan siap menerima resiko yang akan dihadapi atas pilihannya di masa-masa seperti ini.

Salah satunya adalah apakah kenaikan gaji akan mempengaruhi pilihan politiknya? Jawabannya ada di benak masing-masing ASN dan di tangannya ketika memilih dari hari pemilu nanti. Meski demikian, saya sangat yakin bahwa pada dasarnya ASN tidak mau “dimanja”.

Setuju?

 

 

2
0
Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Abdi negara di kementerian yang mengurusi energi. Juga berkicau di twitter @RArisyadi.

Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Ridho Arisyadi ▲ Active Writer

Author

Abdi negara di kementerian yang mengurusi energi. Juga berkicau di twitter @RArisyadi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post