Pinjam Dulu Seratus (Trilyun)

by Ditya Permana ◆ Active Writer | Feb 28, 2025 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

Kita semua pasti pernah mengalami situasi seperti ini: seseorang datang dengan janji manis, meminta bantuan finansial, dan meyakinkan bahwa semuanya akan dikembalikan secepatnya. Namun, seiring waktu berlalu, janji tinggal janji, dan yang meminjam justru menghilang tanpa kabar. 

Dalam kondisi seperti itu, kata-kata Raffi Ahmad terasa begitu relevan:

“Kalau berani meminjamkan pada siapapun kalian harus siap kehilangan uang tersebut, hilang 100 ribu untuk mengetahui karakter seseorang adalah harga yang sangat murah.”

Tapi bagaimana jika yang dipertaruhkan bukan sekadar ratusan ribu, melainkan triliunan rupiah uang negara? Bagaimana jika bukan individu, melainkan pemerintah yang menanamkan dana atas nama investasi? 

Kini, muncul rencana baru—sebuah superholding investasi yang dijanjikan akan mengelola kekayaan negara dengan lebih efisien dan menguntungkan. 

Narasinya terdengar optimis, tetapi pertanyaannya tetap sama: benarkah kita bisa mempercayakan dana ini begitu saja, tanpa belajar dari pengalaman sebelumnya?

Rekam Jejak adalah Koentji

Setiap investasi dimulai dengan narasi optimis. Pemerintah dan pengelola modal negara sering menampilkan proyeksi keuntungan, efisiensi bisnis, serta manfaat jangka panjang yang seolah sudah pasti. 

Namun, jika kita melihat rekam jejak investasi BUMN, ada pola yang terus berulang—optimisme tinggi di awal, tetapi realisasi yang jauh dari ekspektasi.

Tentu, tidak semua investasi negara berakhir dengan kegagalan. Ada beberapa yang berhasil, bahkan berkembang pesat. Beberapa BUMN sektor keuangan dan energi kini menjadi tulang punggung superholding baru ini, dibanggakan sebagai bukti bahwa investasi pemerintah bisa membuahkan hasil. 

Nama-nama besar seperti Bank Mandiri, BRI, dan Telkom adalah contoh sukses bagaimana pengelolaan yang baik bisa menghasilkan keuntungan dan manfaat bagi negara.

Namun, bagaimana dengan yang lain? 

Jika kita melihat pola yang berulang dalam pengelolaan investasi negara, sulit untuk mengabaikan kenyataan bahwa banyak keputusan bisnis BUMN tidak diambil dengan pertimbangan risiko yang matang. 

Setiap kali ada skema baru—apakah itu investasi besar-besaran, pembentukan holding, atau kini superholding—narasi yang dibangun selalu sama: efisiensi, pertumbuhan, dan keuntungan jangka panjang. 

Namun, di balik janji-janji itu,
ada pertanyaan yang terus mengganjal: apa jaminannya bahwa kali ini
tidak akan gagal?

Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika investasi negara bermasalah, solusinya hampir selalu sama: suntikan modal tambahan atau penyelamatan dengan dana rakyat. 

Kita telah melihatnya dalam kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda Indonesia, hingga Krakatau Steel—BUMN yang pada awalnya dianggap sebagai aset strategis, tetapi akhirnya menjadi beban karena salah kelola atau investasi yang melenceng dari tujuan awalnya. 

Di negara ini, kegagalan investasi bukan sekadar kejadian, tapi sudah seperti tradisi. 

Jika kita mencoba melihat ke depan, pertanyaannya bukan hanya tentang apakah superholding ini akan berhasil atau gagal, tetapi juga apakah ada mekanisme kontrol yang cukup untuk memastikan transparansi dan akuntabilitasnya. 

Sebab, yang sering terjadi di banyak skema besar seperti ini adalah kurangnya rambu-rambu yang bisa mencegah kesalahan sebelum terjadi. Ingat, BUMN-BUMN yang akhirnya bangkrut bukanlah perusahaan kecil yang tiba-tiba runtuh dalam semalam. 

Mereka adalah entitas besar yang selama bertahun-tahun menumpuk masalah, tetapi tidak ada mekanisme yang cukup kuat untuk menghentikan mereka sebelum terlambat.

Contohnya, Garuda Indonesia. Masalah keuangan Garuda sebenarnya sudah mulai tercium sejak lama, dengan kontrak-kontrak pembelian pesawat yang tidak masuk akal dan strategi ekspansi yang terlalu agresif. 

Namun, karena posisinya sebagai perusahaan negara, kesalahannya tidak langsung dikoreksi, sampai akhirnya pemerintah harus turun tangan untuk menyelamatkan.

Hal yang sama terjadi dengan Jiwasraya dan Asabri—dua perusahaan yang dalam laporan keuangannya terlihat baik-baik saja, tetapi sebenarnya sedang gali lubang tutup lubang. Ketika akhirnya skandal terungkap, sudah terlalu banyak uang yang hilang, dan satu-satunya solusi yang tersisa adalah bailout dari pemerintah.

Ketika kondisi keuangan mereka memburuk, solusinya bukanlah evaluasi mendalam atas keputusan yang telah diambil, melainkan dana talangan yang terus digelontorkan. Apakah ada yang benar-benar bertanggung jawab? 

Tidak. 

Yang terjadi justru sebaliknya: mereka yang pernah mengambil keputusan buruk sering kali tetap melenggang bebas, atau bahkan kembali mendapat posisi strategis di tempat lain. 

Ketika Risiko Tidak Lagi Tersebar, Tetapi Terkonsentrasi

Dalam dunia bisnis dan keuangan, ada satu prinsip yang selalu diajarkan: jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang. Prinsip ini sederhana—jika satu bagian gagal, bagian lain masih bisa bertahan, sehingga risiko tidak langsung menghancurkan segalanya.

Namun, yang kita lihat sekarang justru kebalikannya. Alih-alih menyebarkan risiko, kita malah mengonsentrasikannya dalam satu entitas super besar. 

Superholding investasi ini akan mengelola banyak BUMN dari berbagai sektor,
mulai dari energi, infrastruktur, keuangan, hingga industri strategis. Artinya, jika satu sektor terkena guncangan besar, dampaknya bisa meluas ke seluruh struktur ekonomi.

Analogi yang paling pas untuk menjelaskan situasi ini adalah sekat-sekat di dalam kapal tanker. Dalam desain kapal modern, setiap bagian lambungnya memiliki ruang-ruang terpisah, sehingga jika ada kebocoran, dampaknya bisa dibatasi. 

Namun, bayangkan jika semua sekat itu dihilangkan. Begitu satu titik bocor, air akan mengalir ke seluruh bagian kapal, membuatnya kehilangan keseimbangan dan tenggelam lebih cepat.

Kita sudah melihat efek dari hilangnya sekat ini dalam sejarah ekonomi dunia. Sebelum krisis finansial 2008, banyak bank di Amerika Serikat yang dibiarkan tumbuh terlalu besar dan saling terhubung tanpa regulasi yang ketat. 

Ketika satu bank besar runtuh, efeknya merembet ke seluruh sistem, menciptakan krisis global yang menghancurkan ekonomi banyak negara.

Apakah kita sedang menuju ke arah yang sama? Karena dengan superholding, risikonya terpusat dalam satu institusi raksasa. Jika ada kesalahan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu perusahaan, tetapi bisa mengguncang seluruh ekonomi nasional.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, apakah ada mekanisme pertanggungjawaban yang cukup kuat untuk mencegah hal ini? 

Karena jika sejarah mengajarkan sesuatu kepada kita, kesalahan dalam skala besar sering kali tidak memiliki pelaku yang bisa dimintai pertanggungjawaban—hanya rakyat yang harus menanggung akibatnya.

Tameng Sakti Kebal Hukum

Bicara mengenai pertanggungjawaban, salah satu hal yang membuat publik semakin waspada terhadap skema investasi negara adalah bagaimana pertanggungjawaban atas keputusan bisnis sering kali tidak jelas. 

Ketika sebuah perusahaan swasta mengalami kegagalan investasi, risikonya ditanggung penuh oleh pemegang saham dan manajemennya. Namun, dalam kasus BUMN, kerugian sering kali berakhir sebagai masalah negara, dengan rakyat sebagai pihak yang paling terdampak.

Di sinilah Business Judgment Rule (BJR) memainkan peran penting.
Prinsip ini melindungi pengambil keputusan bisnis dari tuntutan hukum selama mereka dapat membuktikan bahwa keputusan diambil dengan itikad baik, berdasarkan informasi yang cukup, dan untuk kepentingan perusahaan. 

Dalam teori, aturan ini melindungi inovasi dan pengambilan risiko yang wajar. Namun, dalam praktiknya, aturan ini bisa menjadi tameng bagi kegagalan investasi yang seharusnya bisa dihindari.

Salah satu contoh paling terkenal adalah kasus mantan Direktur Utama Pertamina terkait  investasi gas alam cair (LNG) yang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. 

Dalam proses persidangan, dalih Business Judgment Rule untuk digunakan membela diri, dengan alasan bahwa keputusan investasi LNG yang diambilnya sudah berdasarkan kajian bisnis yang wajar dan sesuai prosedur. 

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keputusan itu diambil tanpa perhitungan risiko yang matang, sehingga justru menimbulkan kerugian besar bagi negara. 

Menyaksikan Skema untuk Gagal

Kasus ini menjadi contoh bagaimana BJR bisa digunakan sebagai tameng bagi pengambil keputusan bisnis di BUMN, bahkan ketika keputusan yang diambil terbukti merugikan negara. Dalam banyak kasus lain, manajemen BUMN yang gagal justru melenggang bebas.

Dengan adanya superholding baru yang mengelola dana dalam jumlah besar, risikonya semakin besar pula. Jika investasi yang dilakukan tidak berjalan sesuai rencana, siapa yang akan bertanggung jawab? 

Apakah kita hanya akan mendengar alasan bahwa semua keputusan sudah diambil berdasarkan prosedur yang benar, tanpa ada yang benar-benar menanggung akibatnya? 

Jika jawaban yang sama terus berulang, maka bukan tidak mungkin kita sedang menyaksikan skema yang disiapkan untuk gagal.

Belajar dari Sejarah

Di awal, kita bicara soal nasihat Rafi Ahmad. Hilang 100 ribu untuk mengenal karakter seseorang mungkin harga yang murah. Tapi bagaimana kalau yang hilang triliunan rupiah uang negara? Apakah itu masih murah?

Sejarah sudah berkali-kali mengajarkan kita bahwa optimisme tanpa pengawasan yang kuat adalah jalan menuju kehancuran. 

Berkali-kali pula negara ini belajar dengan cara yang mahal—menutup lubang kebangkrutan dengan uang rakyat, menyelamatkan yang seharusnya sudah jatuh, dan melindungi yang seharusnya bertanggung jawab.

Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus kehilangan uang hanya untuk mengenal karakter orang-orang yang mengelola investasi negara? Jika dari sejarah kita belum belajar, maka kali ini, yang kita pertaruhkan bukan hanya uang, tetapi masa depan ekonomi seluruh bangsa.

Dan ketika nanti masalah muncul, kita tahu jawabannya: bukan mereka yang akan menanggung akibatnya, tetapi kita semua.

4
0
Ditya Permana ◆ Active Writer

Ditya Permana ◆ Active Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post