Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 yang bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif telah dilaksanakan tanggal 17 April 2019. Tanggal ini telah menjadi tanggal bersejarah. Namun, tanggal tersebut juga telah menjadi awal hari-hari yang melelahkan dan terasa begitu panjang.
Seperti kita ketahui, kelompok pertama mendukung calon petahana nomor 01, yaitu Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sedangkan kelompok kedua mendukung calon penantang nomor 02, yaitu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dari 190.770.329 pemilih, masing-masing kelompok sangat berharap pilihannya akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Tinggal beberapa hari lagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan siapa Presiden dan Wakil Presiden tersebut.
Sayangnya, hari-hari tersebut menjadi momen yang melelahkan untuk ditunggu. Sebabnya, fakta-fakta strategis menunjukkan, masing-masing pasangan calon (paslon) telah memiliki sikap dan kokoh dengan visi dan misi kemenangan mereka. Demikian juga bagi masing-masing kelompok pendukung.
Bagi sebagian kalangan, memang Pilpres 2019 menimbulkan kompetisi yang secara fakta terkesan telah menghadirkan berbagai anomali, antitesis pada kebenaran logika, serta menabrak etika dan estetika.
Mengapa demikian?
Jawabnya adalah karena kekuasaan tidak selalu selaras dengan kebenaran. Soalnya, koherensi isi regulasi (law in book) tidak selalu selaras dengan penerapannya dalam bentuk law in practices.
Saya telah menjadi bagian pemilih. Pilihan saya adalah sebagai suatu pilihan yang didasarkan nilai dan konsekuensi pilihan. Namun, saya sangat heran dan bertanya, kenapa banyak anomali terjadi? Seakan-akan, human error telah menjadi sebuah pembenaran.
Padahal, hal itu tidak dapat diterima karena dalam batas tertentu, suatu technical error tetap merupakan akibat dari human error. Ketika human error berulang, tentu ia akan menjadi ranah irregularity dan semestinya masuk ranah illegal act.
Ini sungguh sebuah fenomena baru yang terjadi di Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena adanya sistem pemilihan serentak yang memang baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia.
Aku ingin sekali menjelaskan apa yang terjadi.
Kebenaran versus Kekuasaan
Siapa yang menang jika kebenaran (truth) dipertandingkan dengan kekuasaan (power)?
Idealnya, demi moral, etika, dan estetika, kekuasaan dan kebenaran adalah sesuatu yang menyatu dan beriringan. Kita mesti mempertemukan kebenaran sebagai realita slogan ‘jurdil’.
Asas jurdil melekat di diri pemilih tentang kebenaran pilihannya ketika dicermati dalam realitasnya. Paling tidak, hati nurani pemilih, yang tidak dipengaruhi hadirnya intruder, akan menjamin hadirnya jurdil di Pilpres 2019.
Jurdil saat pelaksanaan pemungutan suara dan jurdil saat rekapitulasi perhitungan suara secara elektronik ataupun manual seharusnya menghasilkan komposisi angka yang equal sesuai dengan kejadiannya.
Namun, hal itu menjadi terganggu saat munculnya intruder di lapisan masyarakat pemilih. Ini bukan hal lucu karena NKRI tidak akan pernah suka dan memerlukan fenomena ini. Di sini telah hadir kontestasi antara yang ingin berkuasa kembali versus pihak yang ingin berkuasa.
Mereka memiliki asumsi yang tidak akan dapat diganggu gugat, yakni masing-masing di antara mereka merasa lebih pantas berkuasa karena lebih baik dengan kriteria masing-masing. Mereka juga membuat asumsi tentang deskripsi paslon lawan dengan kriteria negatif.
Hal yang argumentatif tersebut berlaku di tataran paslon dan pendukungnya beserta rakyat pemilih masing-masing paslon. Satu paslon ingin memberikan keadilan untuk NKRI, sedangkan paslon lainnya menggunakan slogan kerja-kerja.
Realitas “kekuasaan versus kebenaran” itu menjadi fenomena “general” di Indonesia, termasuk pemberian suara oleh WNI yang ada di luar negeri.
Kekuasaan telah menghadirkan potensi dan ditengarai sarat rekayasa dan anomali, seperti adanya daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak faktual dan subyektif karena penggunaan kekuasaan dalam memperkuat basis pemilih nasional.
Implementasi strategis tentang visi dan misi dari strategi pemenangan tersebut sangat anomali dari sisi teknis, sosio, dan administratif. Misalnya, hadirnya pemberian suara di 809.500 TPS dengan DPT normatif sekitar 200-300 orang per TPS.
Kekuasaan memang disimbolkan dengan mayoritas angka pemilih. Ia telah memberikan kesan pembenaran dengan hadirnya cara apapun untuk mencapai tujuan. Belum lagi adanya formulir C6 (undangan pemilih ke TPS) yang tidak terkomunikasi secara atributif.
Anomali Itu
Pada fase perhitungan suara pemilih secara nasional, kita juga menerima hadirnya aplikasi sistem informasi perhitungan suara (Situng) KPU yang dilakukan secara real count, yang realitanya terjadi banyak anomali.
Mengapa demikian? Tentunya, ia karena “benar dan salah” dalam penyajian data dan pengomunikasian informasi adalah sebagai tesis dan antitesis, di mana ia dapat dijelaskan oleh semua teori kebenaran secara katagorikal atau secara berjenjang.
Dari sisi pengetahuan, bekerjanya suatu sistem informasi seperti Situng KPU didasarkan teori sistem, yaitu input, proses, output, dan pengkomunikasiannya sebagai outcome haruslah sebagai representasi output informasi yang valid. Dengan demikian, jurdil berlaku bagi semua pihak.
Teori sistem tersebut adalah tentang kebenaran, di mana pada konteks data (C1 Plano) setiap TPS adalah dokumen transaksi yang sah, valid. Soalnya, terdapat perpindahan hak kepemilikan (transfer of title) antara rakyat pemilih dengan 1 nilai suara untuk paslon pilihannya.
Itulah suara rakyat, suatu representasi pilihan yang benar menurut pikiran dan hati nuraninya. Namun demikian, hal itu menimbulkan perbedaan makna saat suara di TPS mengalami upaya rekayasa teknis di tempat-tempat menuju real count di Situng KPU.
Anomali juga terlihat di tampilan data rincian yang berbeda dengan total angka pemilih pada paslon tertentu (ukuran data persentasi dari data angka pemilih). Atas dasar objektifnya sistem, maka siapa yang melakukan atau bertanggung jawab atas salah saji data tidak valid tersebut?
Apakah aplikasi didesain tanpa kontrol batas (boundary control) dalam bahasa “what if …. if then” dari menu aplikasi? Programmer tentu akan bertindak fair.
Ataukah, ada suatu proses manajemen sistem informasi yang didesain terpisah dengan output sistem dari proses entri menuju publikasi output?
Bagaimana kualitas sistem informasi yang didesain oleh pembuat? Apakah sesuai dengan keinginan pemesan sistem sehingga telah dapat memberikan sesuatu sajian data yang anomali?
Mungkinkah teknologi informasi dan pola sistem jaringannya (server dengan network connection) didesain untuk memberikan proses yang tidak integratif? Memang, ia penuh anomali, tetapi secara teknis hal ia juga bisa hadir karena adanya extraneous act, yakni adanya upaya membangun opini terkait paslon tertentu.
Pada tataran bekerjanya Situng KPU yang “real count”, beberapa pengamatan atas evaluasi dan monitoring data yang on line, real time, di Situng KPU juga memberikan argumen, seperti adanya salah penjumlahan antara outcome pie chart dengan angka pembentuknya saat dijumlahkan kembali dengan menggunakan Microsoft Excel.
Meskipun demikian, segala syak wasangka atas anomali itu sejatinya akan terungkap tatkala perhitungan manual yang melalui proses panjang disaksikan oleh berbagai pihak selesai dilaksanakan.
Epilog
Menuju penetapan pemenang Pilpres 2019, hargailah satu suara sekalipun. Alasannya, suara rakyat yang bermartabat adalah arah pilihan yang benar dalam menuju pembangun kedaulatan NKRI. Ia adalah suara rakyat yang menginginkan NKRI adil dan makmur di masa depan.
Hal yang ditakutkan publik adalah jangan sampai KPU menghadirkan perilaku yang memenuhi kriteria “human error” dalam bentuk “thinking error” (atau action as planned), yaitu sebagai tindakan seperti atau sebagaimana yang direncanakan, dan berani memasuki ranah “rule-based mistake”, atau suatu kesalahan berbasis aturan, meskipun mereka sebenarnya memiliki “knowledge-based competency”.
Mungkinkah parodi situasional ini akan menjadi lelucon kondisional menuju penetapan pemenang Pilpres 2019?
Pertanyaan seperti ini tentunya beralasan. Soalnya, ia tidak dapat dipisahkan dari konteks individu petugas entri KPU dalam “adverse selection” dari data yang dikelola (yaitu 34 Provinsi), dengan suatu tataran strategis yang terkait adanya potensi “inadvertent error”.
Pada tahap tersebut terdapat tantangan keperilakuan moral hazard jajaran elite KPU sebagai pengambil kebijakan. Ini terkait dengan tanggung jawab menetapkan atas dasar suara pemilih.
Meskipun demikian, kita punya pemikiran positif saja, di mana kita sebenarnya sedang menunggu peran KPU dalam memberikan diseminasi informasi tentang siapa Presiden dan Wakil Presiden terpilih sesuai dengan asas kebenaran. Hal ini sebagai momentum hadirnya hakikat kebenaran untuk keberlanjutan NKRI.
Namun, janganlah kacaukan makna angka pilihanku. Satu suara yang kuberikan untuk Presiden dan Wakil Presiden pilihanku adalah makna suara yang telah masuk dalam C1 Plano karena aku telah hadir di TPS. Aku telah memberikan suara bersama rakyat pemilih lainnya untuk Indonesia.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
0 Comments