Masyarakat yang tinggal di wilayah desa pasti tidak asing dengan istilah Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak yang dilaksanakan ketika masa jabatan kepala desa akan berakhir. Soal kepala desa ini banyak dibahas dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 26 sampai dengan pasal 47.
Di dalamnya dimuat aturan tentang kepala desa, mulai dari tugas, wewenang, hak, kewajiban, sanksi, larangan, pemilihan, hingga pemberhentian kepala desa. Salah satunya yang cukup menarik adalah pemilihan kepala desa secara serentak yang dilaksanakan oleh masyarakat.
PILKADES ini menjadi perwujudan demokrasi di tingkat desa, sebagaimana pemilihan langsung untuk level pemerintahan yang lebih tinggi yaitu pemilihan kepala daerah (PILKADA), pemilihan legislatif (PILEG), bahkan pemilihan presiden (PILPRES).
Masa Jabatan Kepala Desa
Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Ketika masa jabatan Kepala Desa akan berakhir atau tepatnya 6 (enam) bulan sebelum masa jabatan berakhir, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memberitahukan secara tertulis kepada kepala desa yang sedang menjabat bahwa masa jabatannya akan berakhir dan akan dilaksanakan pemilihan kepala desa.
Pemilihan Kepala Desa
Amanat pasal 31 ayat 2 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan kepala desa secara serentak dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota atau Kabupaten/Kota dan wajib membuat Peraturan Daerah/Kota sebagai pedoman dalam melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak.
Potensi Permasalahan
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak diharapkan aman, tertib, lancar dan sesuai dengan tata tertib yang telah ditetapkan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri masih banyak potensi permasalahan yang mungkin terjadi baik pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pasca pemilihan. Beberapa potensi permasalahan itu akan diulas singkat satu persatu.
1. Panitia Pemilihan Tidak Netral
Salah satu tugas berat Panitia Pemilihan Kepala Desa adalah menjamin pelaksanaan pemilihan kepala desa berjalan dengan tertib, lancar, aman, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Bagaimana jadinya jika Panitia Pemilihan Kepala Desa sendiri tidak netral atau mendukung salah satu calon Kepala Desa? Bisa dipastikan akan terjadi konflik inernal di antara Panitia Pemilihan Kepala Desa dan merambat ke masyarakat karena kepercayaan yang diberikan kepada Panitia Pemilihan Kepala Desa telah luntur.
Solusi atas permasalahan tersebut di antaranya adalah disusun aturan yang lebih ketat serta mengikat terkait kedudukan, tugas, wewenang, dan kewajiban Panitia Pemilihan Kepala Desa yang diperkuat dengan Pakta Integritas serta sanksi bagi yang melanggar.
2. Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak Valid
Permasalahan ini berpotensi terjadi ketika Panitia Pemilihan Kepala Desa menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak sesuai ketentuan, misalnya ketika Panitia Pemilihan Kepala Desa tidak menggunakan DPT pada Pemilu atau Pilkada terakhir sebagai data awal/database, atau data awal/database tidak divalidasi dan dimutakhirkan menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS) sesuai kondisi di lapangan.
Hal itu bisa juga terjadi karena Panitia Pemilihan Kepala Desa tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan masukan dan tanggapan, atau jika ada masukan dan tanggapan tidak direspons dengan memperbaiki Daftar Pemilih Sementara (DPS).
Ditambah lagi jika Panitia Pemilihan Kepala Desa tidak menyusun Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) untuk ditetapkan dan diumumkan. Apabila potensi permasalahan sebagaimana dijelaskan di atas tidak dapat diantisipasi dan terjadi, maka dipastikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak valid.
3. Kampanye Calon Kepala Desa Tidak Tertib
Kampanye para calon kepala desa adalah sarana menyampaikan visi, misi, dan program kerja yang biasanya dilakukan dengan cara memasang/menempel tanda gambar, ataupun mengumpulkan massa.
Jika pelaksanaan kampanye dipandang melanggar tata tertib yang ditetapkan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa dalam bentuk seperti black and negative campaign – yaitu kampanye yang penuh fitnah dan kebohongan tentang lawan politik*,* maka Panitia Pemilihan dapat memberi peringatan dan/atau memerintahkan diberhentikannya pelaksanaan kampanye.
Black campaign dan negative campaign yang berpotensi menimbulkan konflik di antara calon kepala desa, antartim sukses dan masyarakat pendukung calon kepala desa.
4. Penggelembungan atau Manipulasi Suara
Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dari jumlah suara sah dalam PILKADES serentak ditetapkan sebagai calon kepala desa terpilih. Hal ini dapat menjadi motif bagi calon untuk melakukan penggelembungan atau manipulasi suara.
Manipulasi dalam pemilihan bisa terjadi dengan cara mengubah/mengganti/menambah perolehan suara pada hasil penghitungan suara, melalui oknum tertentu, sehingga yang bersangkutan memperoleh suara terbanyak.
5. Gangguan Keamanan dan Ketertiban
Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak pasti melibatkan massa yang banyak, baik dari desa itu sendiri maupun dari desa tetangga, atau setidaknya masyarakat yang menonton. Berkumpulnya massa dalam jumlah yang banyak berpotensi akan menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban, jika terdapat gesekan antarpendukung calon kepala desa.
6. Dendam Politik dari Calon yang Kalah
Dendam politik dari calon kepala desa yang kalah, jika tidak segera diselesaikan dengan cara rekonsiliasi antara yang terpilih dan yang kalah pasca PILKADES, akan mengakibatkan jalannya pemerintahan desa oleh menjadi pincang.
Hal itu karena calon kepala desa yang kalah akan selalu mencari-cari kesalahan dari kepala desa yang menjabat agar dapat diturunkan atau diganti sehingga berakibat kepala desa yang menjabat hanya akan mengurusi masalah tersebut dan tidak fokus dalam mewujudkan visi, misi, dan program kerja yang dijanjikannya bagi kesejahteraan masyarakat.
7. Politik Uang
Salah satu hal yang paling menarik yang menjadi sebab sengketa Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak adalah politik uang (money politics), yang secara umum diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu atau tindakan jual-beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan.
Politik uang selalu menghiasi jalannya demokrasi di Indonesia, baik di level bawah maupun level atas. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab di antaranya adanya sifat dasar manusia yang tidak pernah puas atau serakah, sehingga seseorang yang ingin berkuasa menghalalkan segala cara termasuk melanggar aturan.
Politik uang juga dapat disebabkan oleh dorongan diri sendiri atau orang lain untuk berkuasa atau menduduki jabatan dengan tujuan tertentu seperti prestise. Dengan demikian, jika ia berkuasa maka dapat menggunakan wewenangnya – dalam artian melanggar aturan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (motif ekonomi), atau menjadikan batu loncatan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi selanjutnya (motif politik).
Modus-modus Politik Uang (Money Politics) dalam Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak dilakukan dengan berbagai cara di antaranya pemberian uang atau sembako saat kampanye atau saat hari tenang, ataupun operasi fajar yang dilakukan pada hari-H pemungutan suara.
Serangan fajar juga dimaksudkan untuk memperoleh informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dan penduduk pendukung calon kepala desa saingannya, atau kompetitor yang dirasa paling berat yang kemungkinan masih dapat dipengaruhi atau dibeli suaranya.
Hal itu dilakukan dengan cara menukar undangan untuk memilih atau mencoblos dengan memberikan uang atau sembako, supaya yang bersangkutan memilih calon kepala desa yang memberi uang/sembako; atau tidak bisa memilih calon kepala desa yang didukungnya karena undangan untuk memilih atau mencoblos diambil oleh oknum pendukung calon yang lain.
Politik uang dalam Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) serentak sangat mungkin terjadi, namun sangat sulit dibuktikan karena seringkali tidak hanya melibatkan satu calon kepala desa. Sebagai contoh, jika dilakukan oleh dua atau lebih calon kepala desa maka pihak calon kepala desa yang kalah tidak mau mengungkit hal tersebut karena ia juga melakukannya.
Epilog: Ayo Memilih yang Bersih, dengan Cara yang Bersih
Begitu banyak risiko yang munngkin terjadi dalam PILKADES serentak. Untuk itu, perlu terus dilakukan edukasi kepada masyarakat desa tentang demokrasi dan tujuannya. Dalam hal ini perlu adanya kepedulian dari pihak-pihak terkait, baik pemerintah daerah maupun Aparat Penegak Hukum.
Kehadiran mereka diperlukan untuk memitigasi risiko dan mencegah budaya Politik Uang (Money Politics) yang sudah dianggap wajar agar demokrasi di Indonesia berjalan sesuai aturan dan menghasilkan pemimpin yang jujur, amanah, tidak korupsi, dan peduli terhadap kesejahteraan masyarakat; bukan pemimpin yang dipilih karena banyak uangnya.
Jika dipilihnya saja dengan cara yang tidak jujur, bagaimana mungkin kepala desa akan amanah bekerja demi kemaslahatan masyarakat sebagaimana janji-janjinya? Belum lagi, jika sistem pemilihan tidak bersih, maka begitupun sosok yang terpilih.
Bersama, ayo selamatkan demokrasi Indonesia dari desa, untuk masa depan yang lebih baik!
ASN/ AUDITOR MUDA pada APARAT PENGAWAS INTERNAL
PEMERINTAH (APIP) di Salah Satu Kabupaten di Propinsi Jawa
Tengah.
Saya suka dengan penulis berita ini
Ini mencakup berbagai bahasa yang bermanfat dan berita ini sangat bermakana bagi para pembaca maupaun masarakat karena isi beritanya sangat sesuai dengan kehidupan masarakat desa sat adanaya pesta demokrasi berlansung.
Politik itu hanyala tipu daya seseorang
Untuk mendapatkan kekuasan .