
Hari itu 9 September 2025, suasana di Lobby Gedung Djuanda I, Kementerian Keuangan, diliputi rasa haru. Ibu Sri Mulyani Indrawati menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Menteri Keuangan yang baru.
Kami, para abdi negara, ikut larut dalam suasana itu, melepas sosok panutan yang selama ini menjaga Nagara Dana Rakca dengan keteguhan, keberanian, dan integritas, sosok yang selama ini menjadi ”Ibu” kami. Ada rasa kehilangan, tapi juga rasa syukur, karena pernah dipimpin oleh teladan yang begitu kuat dan membekas.
Namun di tengah riuh rendah suasana perpisahan itu,
mata saya tertuju pada satu sosok, Bapak Tonny Sumartono, suami Ibu Sri Mulyani. Beliau adalah pilar yang tak terlihat, hadir tanpa haus sorotan, namun kokoh menopang. Dialah yang dengan sabar “berbagi cinta”, cinta seorang istri yang tak pernah lelah mencintai Indonesia.
Ingatan saya melayang ke tahun 2009, ketika baru beberapa hari diterima sebagai CPNS. Kepala bagian di unit saya kala itu mengajak ikut rapat persiapan bahan dengan Komisi XI DPR RI. Rasanya seperti mimpi, baru beberapa hari menginjak Ibu Kota, sudah berada di ruang penting yang menentukan arah kebijakan keuangan negara.
Saya ditugaskan menjadi operator tayangan presentasi. Jujur, saya Star Struck waktu itu. Tangan saya gemetar, jantung berdetak kencang! Begitu tegangnya, sampai mouse yang saya pegang terlepas dari meja dan jatuh.
Ruangan hening sejenak, seluruh pandangan peserta rapat tertuju pada saya. Bu Sri Mulyani yang memimpin rapat langsung memerhatikan. Dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, beliau bertanya singkat:
“Kenapa?”
Kepala biro saya segera menjawab dengan senyum, “Dia CPNS, Bu, baru beberapa hari bekerja, sepertinya grogi melihat Ibu.”
Ibu Sri Mulyani tersenyum kepada saya, senyum yang berkesan bagi saya, ruangan pun mencair. Saya tertunduk malu, tetapi juga bangga. Dari momen kecil itu, saya mengenal sosok pemimpin yang peka, hangat, dan manusiawi, sosok yang kelak membentuk cara saya bekerja sebagai birokrat.
Seiring waktu, saya berkesempatan menyaksikan kepemimpinan Bu Sri Mulyani dari dekat. Beliau bukan sekadar Menteri Keuangan, melainkan seorang guru yang menuntun dengan keteladanan. Dalam rapat-rapat besar, beliau menekankan pentingnya evidence-based policy bahwa setiap keputusan harus berpijak pada data, bukan sekadar rasa.
Namun yang membuat saya takjub, dalam keseharian beliau tetap rendah hati, memberi apresiasi atas kerja keras staf, sekecil apa pun kontribusinya. Bahkan kepada petugas kebun dan cleaning service, beliau berkenan menyapa dengan tulus, menanamkan rasa bahwa setiap peran adalah penting dalam menjaga marwah Kementerian Keuangan.
Ada satu pesan yang selalu beliau ulang, menjadi pelayan negara bukan sekadar profesi, melainkan amanah. Dari situlah saya belajar bahwa bekerja di Kemenkeu bukan hanya soal menyiapkan bahan rapat, menyusun laporan, membuat nota dinas atau meramu angka-angka, tetapi menjaga kredibilitas institusi yang menjadi penyangga keuangan negara.
Namun di balik ketegasan itu, saya kerap bertanya, ”dari mana sumber kekuatan beliau?” Jawabannya semakin nyata siang itu, dari seorang suami yang setia menopang, dari keluarga yang ikhlas merelakan.
Saat perpisahan waktu itu, kami para insan Kemenkeu menyanyikan Bahasa Kalbu dan Because of Love. Suasana menjadi syahdu. Tangan-tangan penuh hormat menyerahkan mawar putih sebagai simbol cinta dan terima kasih kami. Dan pada akhirnya, ketegaran yang sedari pagi Ibu Sri Mulyani tahan pun pecah, air mata membuncah.
Ibu Sri Mulyani menyandarkan kepala di pundak suaminya.
Pak Tonny menyambut dengan pelukan hangat, tangannya mengelus pundak beliau dengan lembut. Sederhana, tetapi sarat makna, romantis, tulus, amat manusiawi.
Saat itu, saya merasa seolah melihat sisi terdalam dari pengabdian, bahwa tugas negara
tidak pernah dijalani sendiri.
Bahkan ketika kritik menghunjam, ketika rumah beliau dijarah massa, saya yakin bahwa Pak Tonny adalah pilar utama Ibu Sri Mulyani. Beliau memberi kekuatan tanpa pamrih di saat-saat paling sulit. Tanpa sorotan, tanpa perlu disebut dalam berita. Dalam kesederhanaannya, beliau menjadi penjaga keteguhan hati.
Saya membayangkan betapa tidak mudahnya “berbagi cinta” dengan bangsa. Cinta seorang istri yang begitu besar untuk Indonesia, membuat sang suami harus rela menyingkir ke balik layar. Namun di situlah justru letak kebesaran hati, menopang tanpa menuntut, mendukung tanpa pamrih.
Momen siang itu juga mengingatkan saya bahwa setiap tugas ada akhirnya. Saat tugas negara telah selesai diemban, tibalah waktunya kembali pada keluarga.
Ada cucu yang menanti bermain berlarian di taman, ada secangkir kopi seduhan Pak Tonny yang bisa dinikmati bersama dengan kue olahan Ibu, ada rumah yang menjadi tempat pulang dengan tenang.
Saya percaya, itulah hadiah sejati bagi seorang pengabdi bangsa, kesempatan menikmati hari-hari sederhana bersama orang tercinta, setelah bertahun-tahun memberikan tenaga, pikiran, dan cinta untuk Indonesia.
Bagi saya pribadi, ada dua warisan nilai dari momen perpisahan ini.
- Pertama, dari Bu Sri Mulyani, integritas yang tidak bisa ditawar, keberanian menghadapi badai, dan profesionalisme yang menjadikan birokrasi modern.
- Kedua, dari Pak Tonny, kesetiaan, kerelaan berbagi, dan ketulusan yang menopang segalanya.
Keduanya mengajarkan bahwa keberhasilan seorang pemimpin besar kerap ditopang oleh fondasi yang tak terlihat, oleh cinta yang sederhana tapi mendalam, oleh keluarga yang ikhlas merelakan.
Bagi kami, anak buah beliau, tersimpan pelajaran besar. Bahwa menjadi pelayan negara bukan hanya soal ”Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan”, tetapi juga soal ketulusan hati. Perpisahan ini kembali mengingatkan kita semua untuk memegang teguh pesan yang selalu beliau sampaikan “Jangan pernah lelah mencintai Indonesia.”
Proficiat, Ibu Sri Mulyani Indrawati.
Terima kasih telah menuntun kami dengan teladan, keberanian, dan cinta yang tulus. Dan kini, saat tugas negara telah selesai diemban, tibalah waktunya kembali kepada keluarga.
Saatnya Pak Tonny menunjukkan keahlian beliau, menyuguhkan secangkir kopi terbaik kesukaan Ibu, piccolo hangat, es pandan latte, atau manual brew single origin dengan proses anaerob, sambil menikmati kebahagiaan sederhana bersama cucu-cucu tercinta.
Karena pada akhirnya, cinta kepada negara dan cinta kepada keluarga adalah dua sisi yang saling melengkapi, fondasi yang menjadikan pengabdian itu utuh.
0 Comments