Aduh pak, disitu sakit sekali. Dan si pemijat justru malah mengulang-ulang pijitannya. Dia bilang justru ini sumber penyakitnya, pas kena syarafnya. Itulah pijat refleksi, memijat titik atau simpul syaraf yang langsung berhubungan dengan sebuah penyakit/masalah tertentu.
Birokrasi, dan yang saya maksud disini adalah birokrasi pemerintahan, adalah sebuah tubuh yang tidak lepas dari berbagai macam penyakit. Sebuah tubuh sosial dengan relasi yang kompleks yang tidak luput dari banyak masalah. Penyakit diderita, namun terkadang kita tidak mampu menemukan dimana sumber penyakitnya. Sering kita hanya tau rasa sakitnya lalu berusaha menghilangkan rasa sakit itu tanpa peduli dengan sumbernya. Dan selalu, yang dijumpai adalah bagaimana menghilangkan rasa sakit dengan segera dan sebisa mungkin tanpa melalui rasa sakit-sakit yang lain. Dikiranya, kalau rasa sakit hilang berarti penyakit ikut sirna. Mungkin juga merasa telah menemukan sumber penyakitnya, tapi cara memusnahkannya menggunakan bom atom yang akhirnya justru membunuh banyak sel-sel baik yang bersemayam dalam tubuh birokrasi, atau kalau tidak terbunuh ya terkena radiasi, lalu terjadilah penyakit lain.
Maka dari itu diperlukan sebuah kemauan dan juga kemampuan untuk menemukan gangguan syaraf yang membuat penyakit selalu ada di dalam tubuh. Kemauan berupa kesediaan untuk menahan sakit (pijatan), dan kemampuan untuk menemukan titik syaraf yang tepat.
Rangsangan (pijatan) refleksi dalam tubuh birokrasi saya coba hadirkan untuk menemukan simpul syarafnya. Apa yang sudah, sedang dan terus akan saya tuliskan memang bertumpu pada sebuah teori sosial kritis. Sebuah perspektif yang bukan bermaksud sekedar mengkritisi sebuah kejadian atau kebijakan, namun lebih jauh dari itu, teori kritis adalah mengkritisi cara berpikir linear. Jika kita sering dididik dengan pola berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan ilmu yang telah diperoleh sebelumnya yang lalu menjelma menjadi sebuah kepastian dan kebenaran, maka dengan hiasan teori kritis, kita mampu memahami persoalan tidak lagi secara linear, tidak lagi memandang dari yang seharusnya, apalagi yang biasanya. Yang biasanya dan yang seharusnya itu seolah-olah sudah selalu benar dan mapan adanya, namun selalu ada celah untuk membongkar, melakukan rekonstruksi ulang atas pemahaman menjadi lebih jernih dan menyadarkan. Terkadang kita perlu berhenti sejenak untuk kemudian merenung dan berkaca, untuk tau apa, mengapa, dan bagaimana sebuah fenomena terjadi, tentu saja di lingkup birokrasi.
Apa iya kepentingan individu itu mengganggu kepentingan organisasi/negara, apa benar aturan yang mendisiplinkan dan sangsi tegas mampu menyadarkan pegawai, apakah memang diperlukan kategorisasi pegawai malas-rajin atau pegawai baik-buruk, apa sebenarnya maksud dari pakaian seragam, apakah keberhasilan kinerja harus selalu dapat diprediksi dan harus bisa diukur, bagaimana bisa individu tidak merasa dirinya telah terasing dalam pekerjaannya, apa benar tubuh individu yang diam dan patuh itu berarti tidak melawan, dan apa betul kekuasaan itu bisa dipegang dan hanya dimiliki oleh para pimpinan. Berbagai macam pertanyaan itu hanya sebagai contoh betapa sebuah refleksi diperlukan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada tubuh birokrasi.
Tulisan berat namun ringan, akan selalu menghiasi tema refleksi untuk birokrasi, dan berharap mampu dipahami sebagai penyeimbang (kalau tidak bisa dibilang penyejuk) pikiran bagi aparat sipil negara maupun siapapun yang peduli dengan kehidupan birokrasi di pemerintahan.
Seperti gambaran pijat refleksi di awal tadi, terkadang pada saat dipijat di bagian tertentu akan terasa panas dan sakit. Namun sakitnya pijatan itu mampu mengena pada syaraf yang menjadi sumber penyakit. Dan terkadang pijatan-pijatan itu perlu diulang beberapa kali agar penyakit mampu sembuh dengan sempurna. Pijatan yang terasa sakit namun menyehatkan.
Mari kita rajin melakukan (pijat) refleksi di tubuh birokrasi.
0 Comments