PESAN REFORMASI DARI ABAD-ABAD LAMPAU

by Aldiles V. Septian ◆ Active Writer | Jan 5, 2021 | Berdaya, Berita | 0 comments

Tidak bisa dipungkiri jika pandemi ini telah mengubah banyak aktivitas kita, tak terkecuali aktivitas ekonomi, yang tidak bisa lagi dilakukan sebagaimana kondisi normal. Kinerja pelaku ekonomi terpukul yang kemudian berdampak pada kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Kinerja Penerimaan Pajak

Dalam konferensi pers 21 Desember 2020, Kementerian Keuangan menyatakan realisasi pendapatan negara s.d. 30 November 2020 sebesar Rp 1.423 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 15,1%. Kontraksi penerimaan pajak bahkan lebih besar, yaitu sebesar 18,6%.

Realisasi penerimaan pajak s.d. 30 November 2020 sebesar 77,2% dari target sebesar Rp 1.198,8, dibandingkan realisasi s.d. 30 November 2019 sebesar 72% dengan target lebih tinggi sebesar Rp 1.577 triliun. Defisit tahun 2020 diproyeksikan jauh lebih tinggi dari 2019 (2,2%), yaitu sebesar 6,34% dari PDB sesuai Perpres 72 Tahun 2020.

Adapun s.d. November 2020, realisasi defisit kita sebesar 5,6% dari PDB. Tingginya defisit ini membawa konsekuensi negara kita akan menambah hutang, sehingga rasio hutang tahun 2020 ini diperkirakan menjadi sebesar 37,6%.

Kinerja penerimaan pajak sebagai tulang punggung penerimaan memang tidak begitu menggembirakan, bahkan sejak 11 tahun terakhir. Sampai-sampai, pada tahun 2016 lalu otoritas pajak kita mencanangkan reformasi perpajakan yang salah satu sasarannya adalah mencapai tax ratio sebesar 15% pada tahun 2024.

Penerimaan Mengikuti Logika Pengeluaran

Apabila melihat kinerja pajak terkini, tampaknya target tersebut hampir mustahil tercapai. Dengan proyeksi rasio hutang yang semakin meningkat, maka ekspektasi terhadap penerimaan pajak tentu saja juga akan semakin besar. Reformasi 2016 tampaknya masih belum cukup, sehingga pemerintah perlu menempuh terobosan untuk memperbaiki kondisi tersebut.

Menarik untuk dicermati apa yang dikatakan Ibn Khaldun (1332-1406) sekitar tujuh abad lampau. Ibn Khaldun menyatakan kebijakan pajak akan mengikuti kebijakan pengeluaran negara, di mana pengeluaran negara tersebut terkait erat dengan siklus hidup suatu negara, yang diibaratkan seperti makhluk hidup yang mengalami kelahiran, masa puncak, dan penurunan.

Pada saat negara baru berdiri, kebutuhan operasional negara biasanya tidak begitu tinggi, sehingga negara akan menarik pajak rendah kepada rakyatnya. Lama kelamaan, negara berada dalam kondisi mapan, sehingga memerlukan pengeluaran belanja yang besar (termasuk kemewahan penyelenggara negara), yang dibiayai salah satunya melalui pajak.

Pajak yang dipungut menjadi lebih besar dan agresif. Dengan demikian, pada satu titik aktivitas pemungutan pajak bukannya menambah penerimaan negara, tetapi justru mendemotivasi rakyat dalam melakukan aktivitas ekonomi, sehingga penerimaan negara pada akhirnya akan turun.

Kondisi ini pula yang menyebabkan kondisi negara semakin menurun hingga lama kelamaan hancur. Selain itu, kondisi yang menyebabkan negara hancur adalah belanja negara yang tidak perlu dan saat ikatan kebangsaan mulai retak (perpecahan).

Pajak Agresif Menghambat Perekonomian

Sesuai penjelasan diatas, pajak memang terkait erat dengan kebijakan perekonomian dan penganggaran. Pemungutan pajak menyesuaikan penetapan kebutuhan sebelumnya dan besaran pajak mempengaruhi kondisi perekonomian secara keseluruhan.

Ibn Khaldun telah memitigasi bahwa pajak tidak boleh sedemikian agresif sehingga justru menghambat perekonomian. Sedangkan kondisi perekonomian ini sendiri berdampak pada kelangsungan hidup suatu negara. Kebijakan belanja negara perlu dikondisikan seolah-olah negara tersebut baru akan mencapai puncaknya, yaitu dengan seefisien mungkin.

Dengan tingginya rasio hutang kita, maka kedepan sebaiknya mulai dipikirkan langkah efisiensi belanja disamping untuk tidak mengenakan pajak secara agresif kepada masyarakat, agar perekonomian dapat rebound dengan maksimal.

Dengan kata lain, reformasi pajak pasca pandemi dimulai bukan dengan pola pikir penerimaan, melainkan dari sisi perbaikan tata kelola dan administrasi. Pilihan tersebut bukan berarti kepentingan penerimaan diabaikan.

Ketidakmampuan otoritas pajak mencapai target bisa jadi karena target penerimaan ditetapkan diluar batas kemampuannya, sehingga standar penentuan target pajak pasca pandemi ini dapat diturunkan. Untuk menutup defisit, dalam jangka pendek  pemerintah dapat melakukan extra effort efisiensi belanja, bukan justru melalui pemajakan yang agresif.

Terlebih dengan diterapkannya UU Cipta Kerja yang cenderung pro dunia usaha dan trade off denganpenerimaan. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah mereviu kembali ketentuan-ketentuan yang berpotensi membuat compliance cost kita tinggi, misalnya penyederhanaan administrasi dan pelaporan.

Pilihan kebijakan ini tentu saja dapat berubah dimasa mendatang. Ketika tiba saatnya, negara dapat kembali menerapkan kebijakan pemajakan lebih agresif dan pengawasan ketat terhadap Wajib Pajak, yaitu ketika perekonomian sudah kembali berjalan normal dan nilai lebih yang dinikmati pelaku usaha juga semakin meningkat.

Melihat yang Tak Terlihat

Dari sisi pengeluaran negara, kita bisa menengok apa yang pernah diutarakan Frederic Bastiat (1801-1850) dua abad lampau. Bastiat menekankan kepada kita untuk memperhatikan hal-hal yang tidak terlihat alih-alih hanya pada yang terlihat. Bastiat mengilustrasikan, ada seorang anak yang memecahkan kaca jendela ayahnya, sehingga sang ayah harus memperbaiki jendela tersebut.

Biaya perbaikan ini tentu menggerakkan ekonomi dari tukang servis, yang mengganti, memperbaiki dan dibayar untuk itu. Ada nilai yang dibelanjakan yang berbanding dengan output yang dihasilkan, itulah yang terlihat.

Namun, jika kaca jendela tersebut tidak pecah, sang ayah dapat membelanjakan uangnya untuk, misalnya membeli sepatu. Di sini ada kesempatan yang hilang dari sang ayah dan anak untuk menikmati (mengonsumsi) sepatu. Inilah yang tidak terlihat.

Jika kaca tersebut adalah sektor yang sudah berkembang, maka sepatu bisa dianggap sebagai sektor yang seharusnya bisa berkembang jika sumber daya dialokasikan dengan efektif dan tidak ada pemborosan. Belanja pemerintah memang bisa mendorong perekonomian, namun jika belanja tersebut efektif, maka potensi diversifikasi dan inovasi akan lebih besar, yang berarti akan lebih menyehatkan perekonomian di jangka panjang.

Pemborosan belanja berbahaya karena berarti akan menambah hutang di saat penerimaan negara tidak dalam kondisi prima. Mewariskan hutang adalah mewariskan beban untuk generasi masa mendatang.  Generasi mendatang “dipaksa” untuk kreatif mencari solusi, agar perekonomian selalu sehat dan berkembang.

Perekonomian sehat membuat penerimaan negara juga sehat, yang berarti kemampuan membayar hutang juga semakin besar. Jika generasi mendatang ini ternyata tidak cukup kompatibel dengan beban-beban tersebut, yaitu tidak inovatif untuk menghasilkan output yang bernilai tambah tinggi, maka langkah paling mudah adalah mengeruk kekayaan alam kita.

Seperti seorang anak yang diwarisi hutang dan tanah pertanian luas oleh bapaknya, jika anak tersebut tidak memiliki nilai produktivitas yang memadai, maka untuk membayar hutang adalah dengan menjual tanah warisannya. Akibat terburuknya adalah hilang ruang hidup, yang berarti mengancam eksistensi dan peradaban kita.

Namun demikian, hutang bukan berarti mutlak haram. Ia boleh dengan syarat, yaitu dibarengi dengan kreativitas dan inovasi untuk menghasilkan output yang bernilai tinggi. Oleh karenanya, daripada sekedar berpolemik mengenai hutang, lebih baik kita meningkatkan kompetensi diri agar dapat menghasilkan output yang lebih bernilai dimasa depan.

Tujuan output inilah yang menjadi logika mekanisme ekonomi kita saat ini dan sepertinya belum ada sistem alternatif yang cukup kuat menggantikannya. Jika existing ini tidak diantisipati, tentu bisa menghisap manusia dan merusak alam.

Epilog

Terakhir, mengutip Ibn Khaldun kembali, bahwa negara terjajah biasanya akan mengikuti mode kehidupan dan ciri penjajahnya. Sedangkan penjajahan di era modern ini sudah sedemikian samarnya, salah satunya melalui ketergantungan ekonomi.

Hutang yang menumpuk akan membuat potensi ketergantungan kita semakin besar, terutama jika hutang tersebut diberikan oleh kreditur dari bangsa lain, karena setiap negara (dan entitas) memiliki kepentingan masing-masing yang bisa jadi tidak sejalan dengan kepentingan kolektif kita.

Jika anggaran negara (pendapatan dan belanja) diyakini sebagai salah satu instrumen mewujudkan kemandirian, maka mengelola uang negara dengan bijak, membayar pajak, berhemat, berfikir kreatif, dan berinovasi tentu bernilai lebih dari sekedar keekonomiannya. Manfaat lebih jauh, justru hal tersebut sekaligus dapat mencegah perpecahan dan mempertahankan eksistensi jati diri kita sebagai bangsa.

Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Aldiles V. Septian ◆ Active Writer

Author

“Penulis adalah ASN yang bermukim di Depok dan berkantor di Jakarta. Terbuka untuk diskusi dan dapat dihubungi di [email protected]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post