Tak terasa, telah hampir satu dekade sejak Pemilu 2014 era kepemimpinan Presiden Jokowi mewarnai birokrasi Indonesia. Sejenak flashback ke masa itu, Reformasi Birokrasi adalah kata kunci yang berkali-kali dikemukakan sebagai jargon untuk memajukan Indonesia.
Benar saja, setelah menjabat, Jokowi tak pernah berhenti mengutarakan ekspektasinya kepada birokrasi sebagai institusi penyelenggara negara. Birokrasi, sebagai penanda bagaimana pemerintahan bekerja, telah “sebisa mungkin” diupayakan sederhana, ringkas, cekatan, dan melayani.
Reformasi Birokrasi: Kompleksitas dan Kemajuan
Performa birokrasi itu sendiri, menjadi penentu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Birokrasi yang berhasil ditandai dengan meningkatnya layanan publik atas kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur, komunikasi, transportasi, dsb.
Lantas, apakah kini menjelang berakhirnya masa kepemimpinan Jokowi, Reformasi Birokrasi itu telah terjadi? Orang-orang boleh berdebat soal berhasil dan tidaknya program ini. Apalagi, ketika evaluasi ini dikemukakan menjelang pergantian estafet kepemimpinan. Sensitif.
Akan tetapi, jika kita sejenak meluangkan waktu untuk berpikir secara objektif, harus diakui bahwa birokrasi di era Jokowi telah mengalami kemajuan. Terlebih, ketika Indonesia berhasil bertahan dengan baik selama masa pandemi, di mana situasi krisis kala itu turut mengakselerasi pemanfaatan teknologi informasi dalam pelayanan publik.
Kendati demikian, persoalan mengubah wajah birokrasi Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak habis-habisnya. Selain soal kompleksitas pengaturan tata kelola pemerintahan yang melibatkan lebih dari 60 kementerian/lembaga, 500-an pemerintah daerah provinsi/kab/kota, serta 74.000 desa; para ahli telah mengemukakan soal sulitnya mengubah budaya dalam birokrasi yang telah mengakar kuat berabad-abad lamanya.
Budaya dalam birokrasi ini terbentuk sejalan dengan sejarah bangsa Indonesia yang berkelok-kelok jalan takdirnya, di antaranya sebagai kerajaan-kerajaan yang pecah-bersatu dalam nusantara, hingga kebersamaan dalam perjuangan merdeka dari kolonialisme.
Sulitnya Menjaga Efisiensi Kinerja
Dalam tulisan ini, penulis menyadari belum cukup mumpuni untuk melakukan analisis yang lebih mendalam soal topik sejarah dan bagaimana mengubah birokrasi Indonesia, sebagaimana kerap diulas oleh M. Rizal dan para pengamat administrasi publik lainnya.
Namun demikian, sebagai seorang birokrat yang “baru” berkecimpung selama 15 tahun dalam pemerintahan, ada sebuah pengamatan sederhana yang barangkali menarik untuk diulas bersama. Yaitu, soal sulitnya menjaga efisiensi dalam kinerja birokrasi.
Efisiensi diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan cara yang paling tepat dari sisi alokasi biaya, waktu, atau sumber daya lainnya. Hal ini melibatkan penggunaan sumber daya yang ada dengan cara yang paling efektif untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Maka pertanyaan sederhananya, apakah kinerja birokrasi kita telah efisien? Tentu sulit menjawabnya hanya dalam sebuah artikel sederhana. Bahkan, sejauh penelusuran di dunia maya, belum dapat penulis temukan hasil kajian, evaluasi, ataupun audit yang secara komprehensif sekaligus mendetail menguraikan penilaiannya atas efisiensi berbagai institusi di negeri ini.
Tapi, tak mengapa. Sebagai individu yang setiap harinya bekerja dalam sebuah sistem yang disebut sebagai birokrasi, kita dapat sejenak mengamati dan melakukan refleksi.
Standar Layanan yang ‘Tidak Jelas‘
Study case-nya sangat sederhana, lihatlah bagaimana diskusi formal dan informal yang menjadi cara pengambilan kebijakan level strategis hingga operasional dilakukan dalam berbagai organisasi pemerintahan.
Apakah jam kerja dan sumber daya lainnya telah digunakan dengan cermat dan bijaksana hingga proses pelayanan langsung kepada masyarakat yang merupakan ujung tombak kinerja pemerintah telah bekerja dengan tangkas dan efektif?
Terus terang, penulis kesulitan mendapatkan data
soal penggunaan jam kerja, biaya, jumlah pegawai, dsb yang dilaporkan untuk menghasilkan layanan publik.
Mungkin ada, mungkin juga tidak.
Karena soal ini tidak ada standar resmi yang dalam sektor swasta yang seragam untuk menghasilkan sebuah service level agreement.
Kalaupun ada, sejauh pengamatan penulis, dituangkan dalam standard operating procedure (SOP) yang pada umumnya disyaratkan sudah ada secara tertulisnya, ada barangnya, namun entah oleh siapa dan apakah benar telah dilakukan evaluasinya.
Masyarakat sebagai pengguna layananpun tidak punya akses untuk melihat SOP tersebut. Ada pun 1 atau 2 level teknis dari suatu proses bisnis layanan pemerintah mempublikasikan SOP-nya lebih karena tuntutan regulasi yang lebih tinggi dan menjadi sorotan publik, misalnya prosedur pembuatan e-KTP atau pendaftaran pasien di rumah sakit dengan jaminan BPJS.
Namun untuk mayoritas layanan pemerintah lainnya, sulit menemukan SOP tersebut. Bahkan, kalaupun sudah ada SOP, isinya belum tentu menunjukkan pelayanan prima, cekatan, dan “memuaskan”.
Bagaimana Meetings Berlangsung
Bicara soal kinerja birokrasi dengan berbagai elemennya, artinya bicara soal mengorkestrasi berbagai unit, level struktur, personil, bahkan institusi. Dalam bahasa sederhananya, orang-orang dalam birokrasi bekerja dalam sistem dan saling terhubung melalui komunikasi.
Rapat koordinasi, briefing, supervisi, monitoring, evaluasi bulanan, doa bersama, atau apapun namanya menjadi aktivitas wajib di setiap unit kerja dan instansi, dalam setiap pekerjaan.
Ya, birokrasi itu ibarat mesin yang semua part-nya harus bekerja bersama-sama, tidak bisa sendiri-sendiri. Ada instruksi, diterjemahkan, lalu dijalankan.
Lalu, bagaimana pertemuan yang menjadi media komunikasi dalam birokrasi itu berlangsung? Mari kita lihat grafik berikut:
Dari gambar sederhana di atas kita bisa melihat bahwa negara-negara Asia Timur dan Tenggara (tentunya termasuk Indonesia), dalam hal ini diwakili oleh Jepang, memiliki kebiasaan berbasa-basi dalam pertemuan yang mereka lakukan. Tidak straight to the point.
Berbeda dengan negara-negara yang sangat menjunjung efisiensi seperti Jerman dan Amerika Serikat, negara Asia Timur dan Tenggara cenderung menganggap bahwa bicara to the point tanpa basa-basi itu tidak sopan, frontal, dan di kalangan generasi milenial ke atas menjadi sumber konflik sehingga hasil yang diharapkan dari pertemuan itu justru menjadi semakin bias.
Keadaan ini mungkin tampak sepele, namun dampaknya terasa dalam lingkungan birokrasi Indonesia. Kebiasaan berbelit-belit dan basa-basi dalam pertemuan bukan hanya membuang waktu berharga, tetapi juga menjadi salah satu sumber masalah dalam upaya perbaikan di dalamnya.
Sulit dan Lambatnya Mengambil Keputusan
Perdebatan yang panjang, diskusi yang berlarut-larut tanpa hasil yang jelas, dan kebingungan mengenai langkah selanjutnya seringkali terjadi dalam pertemuan di birokrasi. Sebagai akibatnya, keputusan sulit diambil, program tertunda, dan inovasi terhambat.
Fatalnya, tidak semua hal dibicarakan terang-terangan dalam forum pertemuan resmi. Seringkali, masalah yang menjadi inti tidak tercapainya kesepakatan justru diperoleh ketika suasana informal di kantin atau warung kopi.
Ada rasa sungkan untuk membahas langsung dan terang-terangan, walaupun disadari bisa jadi ketika dibahas dengan tuntas, akan ada konflik namun dengan kepala dingin dapat segera terselesaikan.
Situasi ini juga mencerminkan ketidakmampuan birokrasi untuk beradaptasi dengan kecepatan perubahan yang terjadi di dunia saat ini. Di era di mana perubahan teknologi, ekonomi, dan sosial terjadi begitu cepat, birokrasi yang lambat dan berbelit-belit akan tertinggal jauh.
Maka dari itu, penting untuk menyadari bahwa upaya perbaikan di birokrasi Indonesia tidak hanya perlu fokus pada regulasi, struktur, dan prosedur administratif, tetapi juga pada budaya kerja dan cara berkomunikasi. Kebiasaan berbelit-belit dan basa-basi dalam pertemuan harus diubah menjadi pendekatan yang lebih efisien dan efektif.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengabaikan nilai-nilai budaya timur yang penting, seperti sopan santun dan menghormati orang lain. Namun, kita perlu menemukan keseimbangan antara nilai-nilai ini dengan tuntutan efisiensi dan produktivitas dalam lingkungan birokrasi.
Efisiensi untuk Perbaikan Birokrasi
Sebagai bagian dari birokrasi Indonesia, kita semua memiliki peran dalam perubahan ini. Mungkin ini hanya langkah kecil, tetapi perubahan dimulai dari mengefisienkan rapat-rapat. Misalnya dengan dimulai tepat waktu, fokus pada hasil dan kesepakatan, dan pembahasan yang tepat sasaran.
Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih efisien dalam pertemuan, kita dapat membantu mempercepat proses perbaikan di birokrasi dan pada gilirannya, meningkatkan kualitas layanan publik yang kita berikan kepada masyarakat.
Seiring masa kepemimpinan berikutnya yang akan datang, semoga Reformasi Birokrasi terus berlanjut, dan kita semua dapat menjadi bagian dari perubahan positif ini.
Bersama-sama, kita dapat membentuk birokrasi yang lebih efisien, responsif, dan melayani dengan baik, sehingga Indonesia dapat terus maju ke arah yang lebih baik.
Salam!
0 Comments