
Usulan perpanjangan usia pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga 70 tahun yang diajukan Dewan Pengurus Korpri Nasional kepada Presiden memicu kontroversi di tengah masyarakat.
Alasan utama yang dikemukakan adalah meningkatnya angka harapan hidup masyarakat Indonesia, yang saat ini telah menyentuh angka 74 tahun.
Namun, pertanyaan pentingnya:
Apakah bertambahnya usia harapan hidup secara otomatis berarti ASN bisa
tetap sehat dan produktif hingga usia 70 tahun?
Ada fakta menarik yang perlu disorot: meskipun angka harapan hidup (life expectancy) di Indonesia sudah menyentuh angka 74 tahun, ternyata angka harapan hidup sehat (Healthy Adjusted Life Expectancy atau HALE) hanya sekitar 63 tahun.
Artinya, setelah umur 63 tahun, banyak warga Indonesia mulai mengalami penyakit kronis dan penurunan fungsi tubuh.
HALE: Aspek yang Kerap Diabaikan
Usulan memperpanjang masa kerja ASN hingga usia 70 tahun perlu ditinjau secara kritis, terutama dari aspek kesehatan. Bayangkan seorang pejabat publik yang harus mengelola layanan digital, sistem big data, atau transformasi e-government di usia 68 tahun dalam kondisi fisiknya tak lagi prima.
Mungkinkan kebijakan ini justru membuat birokrasi semakin “ketinggalan zaman?”
Secara biologis, lansia memang rentan mengalami penurunan fungsi organ tubuh. Penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung, diabetes, hingga demensia menjadi ancaman nyata.
Penurunan kognitif seperti melemahnya daya ingat dan konsentrasi tentu akan berdampak pada aktivitas dan kemampuan pengambilan keputusan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa meningkatnya usia harapan hidup tidak serta-merta berarti meningkatnya kualitas hidup. Untuk itu, WHO menggunakan indikator Healthy Adjusted Life Expectancy (HALE), yakni perkiraan usia seseorang hidup dalam kondisi sehat.
Di Indonesia, usia harapan hidup telah mencapai 74 tahun, namun HALE baru sekitar 63 tahun. Artinya, setelah usia tersebut, mayoritas penduduk mulai menghadapi berbagai masalah kesehatan kronis dan disabilitas.
Pengalaman memang sangat berharga dalam dunia birokrasi. Namun, stamina, ketajaman berpikir, serta kemampuan beradaptasi dengan perkembangan teknologi juga sama pentingnya.
Oleh karena itu, kebijakan perpanjangan batas usia pensiun seharusnya tidak hanya berpijak pada umur biologis, tetapi juga mempertimbangkan secara serius kapasitas fungsional dan kebugaran mental-fisik ASN.
Di Balik Wacana: Kecemasan Soal Pensiun
Dalam perdebatan ini, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: aspirasi siapa sebenarnya yang sedang diakomodasi oleh usulan ini?
Tidak semua ASN mendukung gagasan ini. Sebagian besar ASN di lapisan pelaksana justru memiliki kekhawatiran sendiri—bukan soal usia pensiun, tetapi tentang kesejahteraan saat memasuki masa pensiun.
Kenyataan pahit yang jarang dibicarakan adalah bahwa banyak pensiunan ASN hidup dalam kondisi serba terbatas. Uang pensiun yang diterima setiap bulan sering kali tidak mencukupi kebutuhan dasar hidup.
Tanpa dukungan dari anak atau penghasilan tambahan, masa pensiun bisa menjadi periode penuh kecemasan dan ketidakpastian.
Maka, tak heran jika muncul kecenderungan para pejabat struktural untuk beralih ke jabatan fungsional menjelang masa pensiun, bukan demi pengabdian, tetapi untuk menunda masa pensiun dan mempertahankan penghasilan aktif.
Fenomena ini bukan rahasia umum di kalangan ASN.
Banyak yang tidak benar-benar ingin terus bekerja, melainkan terpaksa bertahan karena post-power syndrome atau karena takut menghadapi masa tua dengan penghasilan yang tidak layak.
Jadi, apakah usulan perpanjangan masa kerja benar-benar demi meningkatkan pelayanan publik? Atau hanya menjadi bentuk pelarian dari sistem pensiun yang belum manusiawi?
Perlukah Usia Pensiun ASN Diperpanjang?
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut bahwa usia pensiun 58 tahun memang terbilang rendah, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Banyak ASN yang justru mencapai puncak kematangan profesional di usia tersebut.
Namun demikian, ia menekankan bahwa kebijakan kenaikan batas usia pensiun harus dilakukan secara hati-hati, karena memiliki dampak jangka panjang terhadap struktur birokrasi, regenerasi aparatur, dan beban keuangan negara.
Alih-alih memperpanjang usia pensiun secara general, langkah yang lebih tepat dan mendesak adalah melakukan reformasi sistem pensiun ASN secara menyeluruh. Negara seharusnya memastikan bahwa siapa pun yang telah mengabdi puluhan tahun dalam birokrasi bisa pensiun dengan tenang, aman, dan bermartabat.
Dengan pensiun yang lebih layak, ASN tak perlu mencari-cari celah untuk tetap bekerja, tetapi bisa tetap produktif di luar sistem birokrasi, misalnya menjadi mentor, pelatih, konsultan, atau bahkan membangun usaha kecil.
hal ini bukan hanya membuka ruang regenerasi bagi talenta baru di birokrasi, tetapi juga menjaga semangat pelayanan publik yang adaptif terhadap zaman.
Epilog
Jika pemerintah benar-benar ingin memperkuat kapasitas ASN, solusinya bukan pada perpanjangan umur kerja, tetapi pada perbaikan sistem. Penguatan jabatan fungsional serta pembaruan skema pensiun yang adil dan berkelanjutan adalah langkah strategis yang harus diutamakan.
Selain itu, data HALE harus menjadi dasar pertimbangan utama dalam menentukan usia pensiun yang realistis. Pemerintah bisa mengkaji kebijakan negara-negara dengan kondisi demografis serupa.
Jangan sampai kita mengadopsi kebijakan tanpa memperhitungkan kapasitas kesehatan riil dari tenaga kerja birokrasi kita sendiri.
Pensiun seharusnya bukan menjadi ketakutan, tapi fase kehidupan yang disiapkan dengan matang oleh negara. ASN yang telah puluhan tahun mengabdi berhak untuk menikmati masa tua yang layak, bukan malah terjebak dalam sistem yang mendorong mereka untuk terus bekerja tanpa akhir.
0 Comments