
Diskresi merupakan kewenangan yang dimiliki pejabat publik untuk mengambil keputusan berdasarkan kebijaksanaan sendiri, terutama dalam situasi yang belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam praktik pemerintahan, diskresi menjadi instrumen penting, khususnya ketika menghadapi kondisi darurat atau ketidaksesuaian antara regulasi dan realitas di lapangan.
Namun, dalam konteks Indonesia,
diskresi sering kali menjadi polemik karena rentan disalahgunakan untuk kepentingan
pribadi atau kelompok. Tak jarang, diskresi justru menjadi celah
masuknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, apalagi jika digunakan
oleh pimpinan yang tidak berintegritas.
Penyalahgunaan diskresi bukan hanya berdampak pada kerugian publik, tetapi juga mencoreng citra birokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, profesionalisme, dan transparansi.
Kasus-kasus korupsi, penerbitan izin yang menyimpang, pemberian hak istimewa secara diskriminatif, hingga penetapan kebijakan yang merugikan kepentingan umum, merupakan beberapa contoh nyata dari praktik penyimpangan diskresi di birokrasi Indonesia.
Diskresi yang Berbasis Kepentingan Pribadi atau Kelompok
Seringkali diskresi digunakan untuk memberikan kemudahan atau keistimewaan kepada pihak tertentu yang memiliki kedekatan emosional atau hubungan personal dengan pejabat. Contohnya adalah dalam pemberian jabatan kepada pegawai yang sebenarnya belum memenuhi syarat, namun tetap dipromosikan karena kedekatannya dengan pimpinan.
Diskresi juga sering digunakan untuk melakukan mutasi pegawai secara nonreguler atau insidental, demi menyesuaikan kepentingan individu tertentu.
Dalam beberapa kasus, diskresi bahkan digunakan untuk memperpanjang masa kerja menjelang pensiun, dengan memindahkan pegawai ke jabatan fungsional agar usia pensiunnya bertambah, meskipun SK Pensiunnya telah dalam proses.
Praktik semacam ini menimbulkan rasa tidak adil dan kecemburuan di kalangan pegawai lain yang mengikuti prosedur secara reguler. Lebih buruk lagi, jika pegawai yang menerima promosi tersebut tidak memiliki kompetensi, maka akan menurunkan kualitas pelayanan publik dan memperkuat citra negatif birokrasi.
Minimnya Pengawasan Terhadap Diskresi
Salah satu permasalahan utama dalam praktik diskresi adalah tidak adanya dokumentasi atau proses evaluasi yang transparan.
Keputusan diskresi kerap tidak didasarkan pada pertimbangan objektif atau analisis kebutuhan yang valid, dan tidak jarang terjadi konflik kepentingan. Hal ini menimbulkan kecurigaan di masyarakat terhadap motif di balik keputusan tersebut.
Idealnya, diskresi dilakukan dengan mekanisme pengawasan internal, termasuk analisis dampak dan potensi konflik kepentingan. Tanpa pengawasan yang memadai, diskresi justru berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara.
Ketidakjelasan Batasan Diskresi
Sebagian besar pejabat masih belum memahami batasan dalam penggunaan diskresi. Banyak yang menganggap bahwa selama memiliki jabatan, maka segala keputusan diskresi menjadi kewenangannya tanpa syarat.
Padahal, diskresi seharusnya digunakan semata-mata untuk kepentingan publik. Lemahnya regulasi dan pedoman teknis menjadikan diskresi sebagai ruang abu-abu yang bisa disalahgunakan.
Contohnya, promosi pegawai secara non-meritokratik yang mengabaikan penilaian kinerja dan kompetensi jelas merupakan bentuk penyimpangan diskresi. Praktik ini akan berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan publik dan menciptakan ketidakadilan struktural di dalam organisasi pemerintahan.
Solusi: Membatasi, Mengawasi, dan Menindak
- Pembatasan Diskresi Berdasarkan Kebutuhan Mendesak
Diskresi hanya boleh diberikan dalam kondisi tertentu yang memerlukan tindakan cepat dan belum diatur oleh regulasi yang ada. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara eksplisit menyebutkan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan bila peraturan tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, atau ada stagnasi pemerintahan.
Terlalu seringnya penggunaan diskresi justru menunjukkan lemahnya peraturan, sehingga harus diupayakan perumusan regulasi baru agar ruang diskresi menyempit.
Dalam pasal 24 Undang-undang 30 Tahun 2014 disebutkan dengan detail persyaratan diskresi yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
- sesuai dengan tujuan Diskresi (melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum);
- tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- sesuai dengan AUPB (kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.);
- berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
- tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
- dilakukan dengan iktikad baik
Ketika pimpinan memberikan “golden ticket” promosi terhadap keluarga atau kenalannya, maka itu sudah melanggar huruf c, d, dan e dalam persyaratan diskresi terlebih ketika ternyata pegawai tersebut tidak memiliki kompetensi maka hal itu juga melanggar huruf f.
Kemudian ketika berbicara contoh:
adanya mutasi pegawai yang akan pensiun untuk menambah usia pensiunnya, walau SK Pensiun yang bersangkutan tengah diproses. Hal tersebut melanggar huruf c dan kemungkinan
huruf f, karena patut diduga ada iktikad buruk dalam prosesnya.
Ketika misalnya berbicara mengenai diskresi mutasi atau promosi pegawai, maka seharusnya diskresi tersebut baru dapat dilakukan jika memang akan ada dampak besar bagi organisasi, jika tidak rasanya diskresi tidak perlu dilakukan sama sekali.
Penerapan diskresi yang tidak memenuhi kriteria tersebut—seperti promosi terhadap kerabat atau mutasi pegawai untuk memperpanjang masa kerja tanpa dasar objektif—jelas merupakan penyalahgunaan wewenang.
- Pengawasan Diskresi oleh Unit Independen
Diskresi harus melewati tahap verifikasi dari unit independen, seperti inspektorat atau unit kepatuhan internal. Unit ini harus diberi kewenangan memadai dan dilindungi dari tekanan pimpinan, agar dapat menjalankan fungsi pengawasan secara efektif.
Berdasarkan pengamatan penulis di sejumlah Kementerian/Lembaga, seringkali unit pengawas berada dalam posisi sulit ketika harus mengoreksi pimpinan. Oleh karena itu, perlu mekanisme perlindungan bagi unit pengawas agar dapat menjalankan tugas secara objektif tanpa takut terhadap konsekuensi pribadi.
- Penerapan Sanksi Tegas
Pejabat yang menyalahgunakan diskresi harus dikenai sanksi administratif hingga pidana, dan keputusan diskresinya dapat dibatalkan. Langkah ini penting sebagai deterrent effect agar tidak sembarangan menggunakan kewenangan diskresi.
Penerapan sistem seperti Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak (SPTJM) bisa menjadi solusi. SPTJM menyatakan bahwa pejabat yang mengambil diskresi bertanggung jawab penuh, termasuk kesiapannya menerima sanksi jika kemudian terbukti terjadi penyalahgunaan. Hal ini dapat memperkuat integritas dan akuntabilitas dalam pengambilan diskresi.
- Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Semua keputusan diskresi perlu dicatat secara tertulis dan diumumkan secara internal atau publik, disertai justifikasi dan dasar hukum yang jelas. Terlebih di era digital, publikasi keputusan diskresi bisa meningkatkan pengawasan publik dan membangun budaya transparansi di lingkungan birokrasi.
Dalam konteks promosi atau mutasi, diskresi harus didasarkan pada kebutuhan organisasi dan dikomunikasikan secara terbuka agar pegawai memahami alasan di balik keputusan tersebut. Keterbukaan ini penting untuk menjaga semangat kolegialitas dan kepercayaan terhadap sistem birokrasi.
Diskresi dalam bentuk apapun dan dalam bidang apapun seharusnya dapat disampaikan kepada publik dengan gamblang. Jangan ada diskresi dalam suatu kebijakan publik yang menguntungkan pribadi atau golongan tertentu dan mengorbankan banyak birokrat di Indonesia yang sepanjang hidupnya bekerja dengan penuh integritas.
Kesimpulan
Diskresi merupakan instrumen penting dalam pemerintahan, namun penggunaannya harus berada dalam koridor yang jelas dan terukur.
Untuk mencegah penyalahgunaan diskresi di birokrasi Indonesia, perlu adanya regulasi yang ketat, pengawasan independen, serta penerapan sanksi tegas bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya. Dengan demikian, keadilan dan transparansi dalam birokrasi dapat terwujud.
0 Comments