Musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta ke Pangkal Pinang dengan pesawat Boeing 737 Max 8 nomor register PK-LQP, di tanggal 29 Oktober 2018 lalu, masih menyisakan duka mendalam.
Banyak cerita sedih dan mengharukan tentang 189 korban tragedi PK-LQP. Sebut saja tentang dokter Rio yang akan kembali ke Pangkal Pinang untuk melangsungkan pernikahannya, juga belasan pegawai negeri sipil Direktorat Jenderal Pajak yang kembali ke Pangkal Pinang setelah menghabiskan akhir pekan bersama keluarga, hingga kisah penyelam Badan SAR Nasional yang kehilangan nyawa ketika ikut membantu mencari korban di kedalaman laut karawang, dan masih banyak cerita sedih lainnya yang membuat kita merasa adalah bagian dari korban tragedi ini.
‘Korban’ Perjadin
Satu kisah korban yang terkait dengan keseharian saya adalah kisah ‘3 Dewi Kementerian ESDM’, yaitu Inayah Fatwa Kurnia Dewi, Dewi Herlina, dan Jannatun Cintya Dewi. Mereka adalah tiga dari 189 orang korban kecelakaan pesawat Lion Air PK LQP JT 610 tersebut. Mereka bertiga adalah pegawai Direktorat Hilir Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Kementerian yang sama tempat saya mengabdi.
Mereka berangkat secara resmi dalam rangka perjalanan dinas (perjadin) ke Pangkal Pinang dengan maksud melakukan tugas monitoring pelaksanaan pencampuran B20 non-PSO Pertamina. Penugasan itu sebagai bagian dari program B20 yang dicanangkan oleh pemerintah untuk menekan laju impor minyak yang semakin dalam, yang memperburuk kondisi keuangan negara.
Dari informasi yang saya dapatkan, kegiatan monitoring tersebut rencana dilaksanakan pada hari Senin 29 Oktober 2018. Hal yang lazim ketika kita, ASN, dalam menjalankan perjadin luar kota untuk sampai di tempat sehari sebelum kegiatan agar dapat melakukan persiapan, minimal persiapan tubuh agar bisa maksimal.
Namun, beberapa dari kita juga banyak yang memilih untuk berangkat di hari yang sama dengan pelaksanaan tugas dengan menggunakan penerbangan paling pertama agar dapat memiliki waktu bersama dengan keluarga lebih lama meski dengan resiko tubuh yang tidak terlalu fit.
Saya merasa yakin, karena alasan tersebutlah, 3 dewi Kementerian ESDM memilih mengurangi jumlah hari di perjadin mereka dan memilih penerbangan paling pagi dari ke Jakarta ke Pangkal Pinang.
Sebuah pilihan yang tepat dan beralasan menurut saya. Mereka merelakan benefit yang lebih dari perjadin tersebut agar dapat menghabiskan waktu lebih lama bersama keluarga.
Dinanti Atau Dihindari?
Perjalanan dinas, atau yang biasa disingkat menjadi Perdin, Perjadin, atau DL (dinas luar kota), menurut Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No 45/PMK.02/2007, adalah perjalanan keluar tempat kedudukan baik perseorangan maupun secara bersama-sama yang jaraknya sekurang-kurangnya 5 (lima) kilometer dari batas kota, yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan negara atas perintah pejabat yang berwenang.
Perjalanan dinas termasuk juga perjalanan dari tempat kedudukan ke tempat meninggalkan Indonesia untuk bertolak ke luar negeri dan dari tempat tiba di Indonesia dari luar negeri ke tempat yang dituju di dalam negeri.
Perjadin itu sendiri disertai dengan pendanaan berupa biaya penginapan/hotel, uang makan, uang saku, transport lokal, ditambah uang representatif bagi pejabat negara dan ASN tertentu. Sejumlah uang tersebut dihitung secara kombinasi antara lumpsum (diberikan sekaligus) dan at cost (berdasar pengeluaran riil).
Maka tidaklah heran jika banyak ASN yang menanti atau bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan banyak perjadin dengan harapan mendapatakan tambahan penghasilan di luar gaji dan tunjangan yang akan sangat membantu perekonomian keluarga.
Meskipun demikian, saya yakin sebenarnya lebih banyak ASN yang menganggap perjadin adalah bagian dari pengabdian, bukan tambahan penghasilan apalagi pelesiran.
Bahkan, bagi sebagian ASN, perjadin adalah sesuatu yang sebisa mungkin dihindari. Beberapa ASN tersebut beralasan bahwa perjalanan keluar kota, apalagi jika berhari-hari, akan mengurangi jatah waktu berkumpul dengan keluarga.
Maka pada tugas yang tidak bisa dielakan, terkadang kita memilih untuk mengefisienkan hari perjalanan dinas demi bisa memiliki lebih banyak malam tidur bersama anak maupun istri/suami. Efisiensi itu dapat dilakukan dengan cara beramgkat di hari dimulainya acara, dan pulang di hari saat acara berakhir.
Konsekuensi dari ‘strategi’ tersebut adalah badan menjadi lebih lelah ketika bertugas dan jumlah uang perjadin menjadi lebih sedikit dibanding jika berangkat lebih awal dan pulang lebih akhir.
Memang untuk semua pilihan tentu ada konsekuensinya. Untuk 3 dewi yang saya ceritakan di atas, konsekuensi tersebut akhirnya dibayar dengan hilangnya nyawa, meskipun tidak ada satu orang pun yang dapat menduganya. Hal itu dilakukan demi untuk mencium kening anak dan suami ketika mengantar mereka tidur di malam sebelumnya.
Epilog
Demikianlah, perjadin kadang menjadi sebuah hal yang dinanti, tapi di lain sisi, bagi sebagian orang, justru dihindari. Dinanti ataupun dihindari, sudah semestinya kita meletakkan makna perjadin sebagai sebuah panggilan tugas negara, yang sudah semestinya juga dilaksanakan dengan tuntas dan senang hati.
Salam hormat saya bagi semua abdi negara yang telah tulus untuk bersedia mengorbankan waktu bersama keluarga dan merelakan tubuh yang lelah demi menunaikan dharma baktinya untuk negara.
Bagi ASN yang masih ‘salah niat’ dengan perjadin semoga segera diberikan ‘hidayah’ dan kembali ke ‘jalan yang benar’.
Khusus teruntuk 3 dewi Kementrerian ESDM yang telah gugur dalam menjalankan tugas negara, saya berikan penghormatan setinggi-tingginya. Semoga mereka bertiga mendapatkan tempat mulia di sisi-Nya. Izinkan saya dan teman-teman untuk meneruskan perjuangannya.
Abdi negara di kementerian yang mengurusi energi. Juga berkicau di twitter @RArisyadi.
Allahummaghfirlaha war hamha wa’afiha wa’fu’anha.
Sungguh Allah telah menuliskan, kapan rejeki itu telah terhenti dari diri kita.