Perihal Moral dan Media Sosial

by Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer | Jul 26, 2021 | Literasi | 1 comment

“Neuromancer”, sebuah novel karya William Gibson (1984), mungkin menjadi media pertama yang memperkenalkan istilah dunia maya (cyberspace) kepada publik. Melalui novel itu, Gibson meramalkan terciptanya jaringan sosial (social network) bersifat global, yang mendorong pergeseran besar pada pola komunikasi dan hubungan antar-manusia.

Dunia maya memiliki sifat menduplikasi media lainnya. Namun, ia tidak terlepas dari karakteristik utamanya sebagai media yang mampu membangun konsep digital character. Salah satunya, keterikatan manusia dengan komunitasnya dengan preferensi yang serupa. Di ranah ini, media sosial kemudian lahir.

Implikasi Kebutuhan Makhluk Sosial

Media sosial tumbuh sebagai implikasi dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial: selalu terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi. Keterhubungan tersebut dibangun melalui mekanisme kelekatan berbagai hal. Kelekatan ini misalnya terjadi melalui social network yang menghubungkan secara langsung antarindividu, ataupun melalui komunitas yang terbangun karena minat dan afiliasi serupa.

Dalam beberapa literatur, istilah media sosial dimaknasi serupa dengan istilah “social software”. Salah satunya diungkapkan Jon Dron dan Terry Anderson dalam bukunya, “Teaching Crowd: Learning and Social Media” (2014).

Dalam gagasan Dron dan Anderson, media sosial dibutuhkan sebagai instrumen untuk mendukung pencapaian kebutuhan social software tersebut, yaitu kebutuhan interaksi manusia dengan komunitasnya.

Selain mendorong interaksi, penggunaan media sosial juga membantu manusia melakukan perencanaan, serta berperan dalam pengambilan keputusan dalam hidupnya dengan menghilangkan batasan waktu, tempat, bahasa, dan bahkan budaya. Media sosial bermuara pada pencapaian modal sosial.

Selain komunikasi dan interaksi, dunia maya juga mendukung terbentuknya pengetahuan yang bersifat kolektif dan dinamis. Aktivitas di dunia maya akan menyisakan jejak dan artefak, yang jika diakumulasikan, tidak sekadar membangun pemahaman manusia akan sifat individu lain, tetapi juga memperkaya wawasan dan pengetahuan karena pertukaran gagasan yang terjadi.

Inilah mengapa kemudian, media sosial bertransformasi tidak lagi sekadar sebagai media berbagi dan berkomunikasi, tetapi juga media pendidikan dan sarana belajar. Bagaimanapun, belajar juga merupakan aktivitas sosial.

Tanpa Batasan Moralitas

Masalahnya, dengan sifatnya yang terbuka dan tanpa batasan, media sosial justru tumbuh tanpa rambu-rambu dan intervensi yang mengikat di dalamnya. Semua orang berhak menciptakan karakternya sendiri melalui media sosial yang dimiliki, bebas berbicara, menyampaikan gagasan, bahkan menilai secara bebas dan lugas akan berbagai hal dari sudut pandangnya.

Tidak ada batasan moralitas di dalamnya, meskipun, media sosial erat berkait dengan budaya dan etika setempat. Ini yang kemudian menyebabkan pelanggaran etika di media sosial, seperti penyebaran berita bohong, pencemaran nama baik, cyberbullying, hate speech, online shaming, dan pornografi.

Lalu, menjadikannya pekerjaan rumah yang tidak pernah benar-benar tertuntaskan. Moralitas dalam media sosial, seringkali hanya dibatasi pada sanksi sosial yang sifatnya mudah dilupakan, parsial, dan banal.

Media sosial dapat menjadi “rumah” bagi berbagai kreativitas dalam beragam format dan kemasan. Oleh karenanya, karakteristik yang juga dominan dari media sosial adalah menarik banyak kalangan untuk meleburkan diri di dalamnya.

Masifnya Pengguna Medsos

Laporan Bank Dunia tahun 2020, misalnya menyebutkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia meningkat sebanyak 13 persen dari tahun 2018 ke 2019, atau bertambah sekitar 17,3 juta pengguna baru. Artinya, sebagian besar masyarakat “melek” dan memiliki akses pada media sosial.

Dapat dibayangkan kemudian, media sosial berpotensi menjelma sebagai gudang pengetahuan. Semua orang dapat bertukar gagasan, meningkatkan kapasitas diri, dan menjalin relasi sosial dengan beragam kalangan dan keahlian. Media sosial menjadi “media tanam” yang mampu menyuburkan prinsip belajar dan bernalar.

Sayangnya, institusi pendidikan tak jarang abai menanamkan praktik bagaimana pentingnya etika dalam bersosial media secara sehat. Tidak semua instruksi tentang aktivitas belajar melalui dunia maya, juga diimbangi dengan informasi dan pendampingan tentang bagaimana seharusnya media sosial digunakan di luar urusan belajar mengajar.

Padahal, masifnya penggunaan media sosial sebagai media belajar sudah cukup memperlihatkan peningkatkan intensitas keterhubungan anak-anak usia sekolah pada dunia maya. Artinya, potensi pelanggaran dan kekerasan melalui media sosial pada anak, juga meningkat.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2020, misalnya, menyatakan bahwa selama tahun 2011 hingga 2019, pornografi dan cybercrime menempati peringkat ketiga kasus pengaduan anak, dan umumnya terjadi melalui media sosial. Sayangnya, data ini tidak hanya menempatkan anak sebagai objek kekerasan, tetapi juga sebagai pelaku kekerasan dan tindakan pelanggaran etika itu sendiri.

Sarana Pembelajaran Paling Sentral

Bagaimanapun, di luar berbagai pengaturan yang sifatnya formal, sesungguhnya media sosial telah menjadi salah satu sarana paling sentral yang memungkinkan terjadinya pembelajaran seumur hidup. Tidak ada yang meragukan bahwa media sosial mampu memperkuat kemampuan manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

Itulah mengapa, agaknya terlalu sia-sia jika media sosial hanya sekadar dimanfaatkan untuk melampiaskan kemarahan, menyampaikan ujaran kebencian, atau pemenuhan kebutuhan akan hiburan semata.

Ada banyak sumber belajar dan ragam pertukaran gagasan yang terbuka dan bebas didapatkan serta dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas diri. Media sosial mampu menjadi media belajar dan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.

Belajar seringkali diasosiasikan dengan perubahan. Melalui belajar, kita dapat mengubah ide, sikap, kapasitas, keterampilan dan merespons tantangan dan kesempatan yang ada. Itu mengapa, sering kali media sosial memberikan efek perubahan yang besar dalam sebuah tatanan kehidupan.

Pada akhirnya, kita perlu kembali pada Albert Bandura melalui apa yang ditulisnya dalam Principles of Behavior Modification. Bahwa kebanyakan laku manusia dipelajari dengan mengamati, mengimajinasi, dan meniru.

Jika kemudian kita bersepakat bahwa media sosial adalah sarana belajar, maka sudah saatnya perhatian pada pendidikan dalam bermedia sosial menjadi bagian penting dalam aktivitas belajar.

Guru perlu lebih banyak melengkapi bahan ajarnya dengan informasi teknis tentang bagaimana seharusnya anak berinteraksi melalui media sosial, tidak sekadar bagaimana menggunakan teknologi atau mencari bahan belajar dari internet.

Kesetaraan komunikasi penting untuk diintroduksi orang dewasa pada setiap anak. Tanpa komunikasi yang setara, aturan dan pembatasan penggunaan media sosial menjadi memaksa dan justru membuat anak “terpenjara”.

Perlu kebebasan dan kepercayaan untuk membangun kesadaran dari dalam diri anak, bahwa penggunaan apapun yang berlebihan, justru akan mengurangi manfaat suatu hal. Anak perlu diberikan ruang dan kesempatan leluasa untuk menceritakan aktivitas yang dilakukan dengan media sosial mereka, tanpa mendiskreditkan tindakan mereka.

Epilog: Membangun Keadaban

Dari sekian hal, yang terpenting, orang dewasa harus menjadi pelopor pengguna media sosial yang sehat dan bermanfaat. Penetrasi media sosial yang merambah ke segala aspek, bermakna bahwa akan ada banyak anak yang berpotensi meniru apa yang mereka lihat dan dapatkan dari media sosial di mana mereka menjadi bagian di dalamnya.

Tidak ada standar moral dalam media sosial. Sama halnya tidak ada satu pun orang yang berhak menjadi “polisi moral” bagi setiap kelahiran media sosial sebagai ruang-ruang perjumpaan yang otonom, terbuka, dan membebaskan.

Akan tetapi, sebagai miniatur perangkat ajar, selayaknya media sosial dibangun melalui keadaban yang berpijak pada sikap peduli, empati, menghormati, dan toleran terhadap keragaman yang dikemas dalam moralitas dan kesantunan.

2
0
Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer

Diyan Nur Rakhmah ◆ Professional Writer

Author

Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.

1 Comment

  1. Avatar

    Artikel ini sangat menarik! Saya setuju bahwa moral dalam penggunaan media sosial sangat penting, terutama bagi para birokrat yang memiliki tanggung jawab publik. Harapan saya, semakin banyak pihak yang menyadari dampak besar dari tindakan mereka di dunia maya dan bertindak lebih bijak. Terima kasih untuk tulisan yang memprovokasi pemikiran ini!

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post