Penyerapan Anggaran vs Akuntabilitas Kinerja

by Aksanul Inam ◆ Active Writer | Jul 30, 2020 | Birokrasi Akuntabel-Transparan | 0 comments

Hari Kamis tgl 23 Juli 2020 jam 14.00 – 15.00 bertempat di Hotel Santika Banyuwangi, unit kerja saya, Bagian Organisasi, secara terjadwal melakukan hearing dengan Dewan Perwakilan rakyat daerah  (DPRD) sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan APBD TA. 2019.

Dari beberapa pertanyaan anggota Komisi A DPRD Kabupaten Lumajang, yang merupakan mitra kerja Bagian Organisasi, pertanyaan mendasar yang ditanyakan adalah kenapa realisasi penyerapan anggaran pada Bagian Organisasi hanya 74%.

Lalu, pertanyaan tersebut kami jawab, bahwa pagu yang telah dianggarkan tersebut tidak seluruhnya terealisasi karena terdapat beberapa kegiatan yang direncanakan oleh Bagian Organisasi “bergantung” dari keluangan waktu pihak lain dalam menghadiri kegiatan di Bagian Organisasi. Pihak lain tersebut, misalnya Biro Organisasi (Biro) dan / atau Kementerian PAN dan RB (Kemenpan).

Artinya, saat jadwal antara kami selaku pengundang tidak sinkron dengan jadwal dari Biro maupun Kemenpan, maka pihak-pihak tersebut tentunya tidak dapat menghadiri kegiatan yang telah direncanakan, sehingga maka pagu anggaran yang telah tersedia tidak akan bisa direalisasikan.

Pertanyaan selanjutnya dari anggota Komisi A adalah, ketika unit kerja yang melaksanakan fungsi pembinaan SAKIP saja tidak bisa merealisasikan seluruh anggarannya, maka Organisasi Perangkat Daerah (OPD) / unit kerja lain diduga juga tidak akan bisa merealisasikan seluruh anggarannya.

Pertanyaan tersebut juga ditambahkan dengan penegasan bahwa ketika realisasi anggaran tidak bagus, maka kinerjanya-pun juga tidak bagus.

Atas pertanyaan di atas, kami menjawab sebagai berikut. Tidak selamanya realisasi anggaran berkorelasi linier dengan capaian kinerja, karena dalam konteks akuntabilitas kinerja, sesuatu dianggap akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan) ketika anggaran memang dipergunakan untuk mencapai target kinerja yang telah diperjanjikan.

Artinya, sepanjang target kinerja yang diperjanjikan dalam Perjanjian Kinerja (PK) tercapai, maka anggaran yang direalisasikan tersebut (meski tidak seluruhnya direalisasikan) dapat dinyatakan akuntabel. Akan tetapi justru sebaliknya. Ketika persentase anggaran yang direalisasikan mencapai 100%, namun ternyata target tidak tercapai, maka hal yang demikian tersebut dapat dinyatakan tidak akuntabel.

Lho kok dianggap tidak akuntabel, kan sudah ada Surat Pertanggungjawaban (SPJ)-nya?

Jadi begini, dokumen SPJ yang dibuat oleh OPD / unit kerja bukanlah sesuatu yang ada hubungannya dengan kinerja, melainkan sesuatu yang ada hubungannya dengan laporan penatausahaan keuangan.

Ilustrasinya, misalnya, terkait kebersihan kamar mandi / toilet di OPD. Tentunya seluruh OPD / unit kerja memiliki anggaran pemeliharaan sarana dan prasarana kantor, di mana salah satu tujuan penganggaran tersebut adalah untuk menjaga kebersihan kamar mandi / toilet.

Jenis belanja yang dianggarkan untuk pemeliharaan kamar mandi / toilet misalnya alat-alat kebersihan, bahan pembersih, dan upah tenaga kebersihan (jika tenaga kebersihan statusnya adalah tenaga kontrak / non-PNS).

Lalu, bayangkan situasinya adalah, seluruh anggaran terserap seluruhnya, dan ada dokumen SPJ-nya, namun kamar mandi / toilet dalam keadaan kotor atau tidak bersih. Nah, inilah yang saya maksud bahwa belum tentu realisasi anggaran berkorelasi linear dengan capaian kinerja.

Semua harus “dikembalikan” pada tujuan dari penganggaran itu sendiri. Jika anggaran ditujukan untuk kebersihan kamar mandi / toilet, maka ketika anggaran tersebut terealisasi seluruhnya, tentunya kebersihan harus terwujud. Itu yang dinamakan akuntabel, yakni keselarasan perencanaan anggaran dengan ketercapaian kinerja.

Lalu, bagaimana jika situasinya adalah, anggaran tidak terealisasi seluruhnya, tetap ada SPJ-nya, namun target kinerja ternyata tetap tercapai? Apakah itu juga dapat dikatakan sebagai akuntabel?

Jawabannya iya, karena inti dari akuntabel adalah tercapainya target kinerja yang diperjanjikan. Namun, tetap harus ada evaluasi atas hal tersebut, karena dimungkinkan ada kesalahan perencanaan anggaran.

Kenapa demikian? Oke, kembali kepada ilustrasi diatas tentang kebersihan kamar mandi / toilet. Sebagaimana telah saya sampaikan di atas, bahwa untuk menjaga kebersihan diperlukan anggaran untuk belanja alat-alat kebersihan, bahan pembersih dan upah tenaga kebersihan ketika tenaga kebersihan merupakan tenaga kontrak.

Anggaplah situasinya begini, di pertengahan tahun pelaksanaan anggaran, ternyata OPD / unit kerja tersebut mendapatkan 1 orang PNS dengan spesifikasi tenaga kebersihan, maka tentunya anggaran untuk upah tenaga kebersihan tidak perlu direalisasikan seluruhnya.

Artinya tenaga kontrak tersebut dapat diberhentikan karena OPD / unit kerja sudah mendapatkan 1 orang tenaga PNS dengan spesifikasi tenaga kebersihan. Dengan demikian, anggaran yang telah direncanakan tidak terealisasi seluruhnya, tetapi kebersihan kamar mandi / toilet tetap terwujud.

Inilah yang dinamakan akuntabilitas kinerja, sesuatu yang menurut saya lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan sekedar pengelolan keuangan.

Itulah kenapa opini BPK atas laporan keuangan menggunakan frasa “Wajar” (baik tanpa pengecualian maupun dengan pengecualian), karena ketika kita merealisasikan anggaran, ya memang sudah semestinya harus disertai bukti formil dan materiilnya. Namun, belum tentu keberadaan atas bukti formil maupun materiil tersebut berkorelasi dengan target kinerjanya.

Oleh karena itu, penguatan akuntabilitas kinerja bukanlah pekerjaan yang harus ditangani sendiri oleh Bagian Organisasi, melainkan pilar akuntabilitas lainnya, yaitu Inspektorat, Badan Prencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan juga Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).

Keempat OPD / unit kerja ini harus selalu sinergis dan harmonis serta bekerjasama (tidak perlu merasa paling tahu dan pintar sendiri, karena semuanya sejatinya adalah pembantu Kepala Daerah).

Tanpa itu, mustahil rasanya mewujudkan peningkatan kategori sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP). Menurut saya, langkah pertama atas hal tersebut adalah mulai memiliki cara pandang bahwa “persentase realisasi anggaran tidak selalu ada kaitannya dengan kinerja organisasi”.

4
0
Aksanul Inam ◆ Active Writer

ASN pada Bagian Organisasi, Setda Kabupaten Lumajang, Jawa Timur

Aksanul Inam ◆ Active Writer

Aksanul Inam ◆ Active Writer

Author

ASN pada Bagian Organisasi, Setda Kabupaten Lumajang, Jawa Timur

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post