Penyederhanaan Birokrasi sebagai motor Fungsionalisasi
Hampir 3 tahun berjalan semenjak istilah penyederhanaan birokrasi dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 ketika pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia di periode kedua. Praktis kemudian berbagai level instansi pemerintahan melaksanakan titah ini.
Penyederhanaan birokrasi dilakukan dengan menghilangkan 2 level yaitu Eselon 3 dan Eselon 4, menyetarakannya dengan jabatan fungsional (JF), sehingga jumlah ASN JF menjadi lebih banyak. Tidak heran jika dalam berbagai forum dan diskusi, instansi pembina JF menyatakan terjadinya lonjakan cukup besar jumlah pejabat fungsional saat ini.
Pada tulisan saya sebelumnya, dijelaskan bahwa dalam JDIH Kementerian PAN RB tercatat kurang lebih sejumlah 104 Peraturan Menteri PAN RB tentang Jabatan Fungsional sejak November 2019 hingga Desember 2021.
Menyikapi fenomena ini, Menteri PAN RB dalam surat Nomor B/639/M.SM.02.00/2021 mengeluarkan surat kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat selaku Pimpinan Instansi Pembina Jabatan Fungsional perihal moratorium pengusulan jabatan fungsional baru.
Hal ini dilakukan untuk meredam animo instansi pemerintah mengusulkan JF baru sembari Kementerian PAN RB melakukan penataan ulang jabatan fungsional yang telah ada.
Penyederhanaan yang tidak sederhana
Pada tataran kementerian, penyederhanaan birokrasi dilakukan dengan menyetarakan eselon III dan IV selama tahun 2020. Sedangkan di pemerintah daerah penyederhanaan dilaksanakan hingga akhir 2021 dengan menyetarakan baru level eselon IV saja.
Adapun bagi pejabat administrasi yang telah diangkat melalui penyetaraan dalam jabatan fungsional namun belum memiliki kesesuaian antara kualifikasi, kompetensi, dan unit kerjanya; dapat dilakukan penyesuaian ke dalam jabatan fungsional sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.
Bukan hanya itu, terdapat fakta bahwa masih ada lembaga instansi pusat yang (dalam tanda kutip) masih mempertahankan struktur eselon III dan IV yang tidak jauh berbeda dengan sebelum era penyederhanaan birokrasi, karena alasan tertentu.
Permasalahan penilaian Angka Kredit
Semua narasi penyederhanaan yang pada awalnya bertujuan untuk meningkatkkan layanan publik ini tidak bisa dianggap enteng untuk diimplementasikan.
Penyetaraan jabatan seringkali menghadapi dilema: apakah benar-benar untuk mendorong profesionalitas ASN atau hanya dianggap ganti baju saja dari jabatan struktural menjadi jabatan fungsional, atau justru menambah masalah baru dalam penataan SDM Aparatur.
Sebelum adanya penyederhanaan ini saja, salah satu permasalahan dalam pembinaan jabatan fungsional sudah kompleks: seperti banyaknya dokumen yang dilampirkan dalam penilaian angka kredit, dokumen pendamping seperti surat tugas/ surat keterangan.
Di samping itu, ada permasalahan di kualitas Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional yang sarat dengan subjektifitas serta adanya penilaian yang cenderung transaksional.
Dan setelahnya, banyaknya jumlah pejabat fungsional ini tentu memunculkan permasalahan baru yaitu jumlah penilai dan kompetensi penilaian yang tidak sebanding dengan usulan penilaian angka kredit, hingga berbelitnya birokrasi penilaian angka kredit.
Keistimewaan JF yang tak lagi istimewa
Sebelumnya, jabatan fungsional dikenal sebagai jabatan yang istimewa. Pasalnya, regulasi memungkinkan kenaikan pangkat setiap 2 tahun sekali, berbeda dengan kenaikan pangkat reguler bagi pejabat pelaksana setiap 4 tahun sekali. Kenaikan pangkat 2 tahun sekali ini ternyata menyebabkan penumpukan pejabat fungsional pada jenjang middle yaitu jenjang ahli muda.
Hal ini menginspirasi Kementerian PAN RB mengeluarkan Peraturan Menteri PAN RB Nomor 13 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa pejabat fungsional hanya dapat dinilaikan Angka Kreditnya sebanyak 150% dari Angka Kredit yang harus dicapai setiap tahunnya.
Praktis, kenaikan pangkat 2 tahun sekali tidak akan ada lagi setelah ini dan secara kalkulasi pejabat fungsional hanya akan lebih cepat 1 tahun dari pejabat administrasi yang mendapat kenaikan pangkat reguler.
Artinya, seorang pejabat fungsional yang menunjukkan kinerja yang maksimal, kenaikan pangkatnya tidak jauh berbeda dengan pejabat administrasi.
Di samping itu juga, dengan meningkatnya jumlah pejabat fungsional maka daya kritis pejabat fungsional akan besaran angka kredit yang dicapai setelah menyelesaikan pekerjaan tentu juga makin meningkat.
Bahkan beredar isu bahwa ada perilaku pejabat fungsional yang memilih-milih pekerjaan karena tahu bahwa suatu pekerjaan tertentu memiliki angka kredit yang sangat kecil yaitu 0,00 sekian.
Tak heran jika ada narasi beredar bahwa pejabat fungsional cenderung bekerja sendiri-sendiri dan hanya mementingkan angka kredit bukan mementingkan tujuan organisasi.
Kemudian lahirlah sebuah wacana menghapuskan angka kredit jabatan fungsional yang akan berganti sumber, dari butir kegiatan ke penilaian kinerja (SKP) yang tujuannya boleh dibilang untuk meminimalisir pejabat fungsional yang selektif mengerjakan tugas.
Angka Kredit, Penilaian SKP, dan Kuadran Kinerja
PermenPAN RB No. 6 Tahun 2022 mengatur tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai Aparatur Sipil Negara. Sebelumnya pada tahun 2021, Kementerian PAN RB juga mengeluarkan kebijakan yang disesuaikan kebutuhannya pada PermenPAN RB 6 Tahun 2022 dimaksud.
Perbedaan keduanya tidak terlalu jauh, khususnya ekspektasi perilaku kerja, penilaian yang bersifat kualitatif dari pejabat penilai, penilaian bagi ASN yang menjalani tugas belajar dan evaluasi kinerja pegawai, hingga pola distribusi predikat kinerja pegawai berdasarkan capaian kinerja organisasi.
Yang menarik, dalam Permenpan RB Nomor 6 Tahun 2022 dijelaskan penilaian kinerja menggunakan kuadran kinerja dengan metode cascading yang merupakan panduan dalam menyusun kinerja dan tanpa ada persyaratan pembobotan tertentu pada kinerja.
Kinerja Jabatan Fungsional (JF) tidak lagi dikaitkan dengan butir kegiatan dan angka kredit. Memang praktiknya, butir kegiatan harus selaras dengan kinerja pegawai yang terukur dan dinamis sifatnya yang tidak bisa ditentukan di awal tahun.
Kuadran kinerja dalam Permenpan RB Nomor 6 Tahun 2022 ini sendiri berusaha melakukan sinkronisasi dengan Permenpan RB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta yang terkait dengan 9 box talent management.
Dalam berbagi diskusi atas wacana penghapusan angka kredit didapatkan informasi bahwa pencapaian Angka Kredit akan berdasarkan Pencapaian nilai SKP pejabat fungsional berdasarkan kuadran kinerja.
Kuadran kinerja yang terkait dengan manajemen talenta ini mengambil konsep dari 9 box talent management di mana pegawai dibagi menjadi sembilan kelompok, berdasarkan kinerja dan potensi mereka.
Pada proses penilaian kinerja dalam konsep kotak talent management, pimpinan memerhatikan seberapa baik kinerja pegawai saat ini dan di masa depan, khususnya tentang potensi pertumbuhan mereka.
Misalnya, seorang pekerja keras yang menjalankan tugasnya dengan baik tetapi memiliki potensi pertumbuhan yang kecil sangat bagus untuk diupayakan berkembang lebih baik.
All-stars, di kotak nomor 9, berkinerja baik dan memiliki potensi besar akan cocok untuk mendapatkan posisi manajerial. Namun, pegawai berkinerja rendah dengan potensi rendah akan membutuhkan banyak perhatian manajemen.
Pegawai-pegawai ini membutuhkan pendekatan yang berbeda sebagaimana tertuang dalam Lampiran PermenPAN RB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta. Pemetaan kinerja inilah yang menjadi dasar pemberian Angka Kredit bagi JF.
Semisal hasil penilaian kinerja (SKP) seorang pejabat fungsional berada pada kotak 5 dengan kotak 7 tentu akan memiliki pencapaian Angka Kredit yang berbeda. Namun, apakah transformasi ini akan efektif?
Mencegah Dampak Tranformasi Angka Kredit
Penerapan transformasi penilaian kinerja periodik berdasarkan PermenPAN RB Nomor 6 Tahun 2022 akan memiliki konsekuensi yang, bisa saja, tidak berpihak pada ASN Pejabat Fungsional. Tentunya, kementerian dan lembaga yang menilai kinerja membina JF ini perlu berhati-hati menyikapi dampak yang akan muncul.
Pertama, penilaian kinerja ASN masih diselimuti oleh penilaian yang berdasarkan subjektivitas dari pimpinan yang menilai. Hal ini akan meresonansi anggapan bahwa fungsionalisasi akan berujung seperti Jabatan Administrasi 2.0 atau versi lite yang naik pangkat terjadwal 4 (empat) tahun sekali.
Terlebih, wacana angka kredit akan disinkronisasi dengan penilaian SKP ini perlu pembenahan struktural sebelum wacana tersebut benar-benar dilaksanakan.
Kedua, angka kredit maksimal untuk kegiatan pengembangan profesi dan penunjang dapat direstrukturisasi bagi setiap jabatan fungsional. Tujuannya, agar fokus JF lebih kepada pemenuhan tugas jabatan, bukannya diskoneksi antara tujuan organisasi dan kenaikan pangkat atau jenjang.
Ketiga, pembenahan dialog kinerja serta perumusan reward yang memadai bagi pegawai yang menunjukkan kinerja prima sebagai upaya sinkronisasi kinerja pejabat fungsional dengan tujuan organisasi.
Keempat, dorong organisasi profesi terbentuk pada setiap jabatan fungsional. PermenPAN RB Nomor 13 Tahun 2019 mengamanatkan hal ini, dengan mendorong disusunnya kode etik bagi JF.
Kode etik ini akan memberi ruang bagi pembina JF untuk menindak penyelewengan sistematika dalam angka kredit yang ada saat ini, kemudian dapat menghubungkannya secara langsung dengan mekanisme hukuman disiplin pegawai.
Kelima, jika jalan terakhir adalah benar bahwa Transformasi Angka Kredit melalui penilaian Kinerja (SKP) perlu dilakukan, maka alangkah bijaksana jika KemenPAN RB melakukan percobaan pada setidaknya beberapa instansi yang mewakili permasalahan pengelolaan JF.
Percobaan ini misalnya pada daerah dengan kompleksitas tinggi, kompleksitas sedang, dan kompleksitas rendah. Transformasi angka kredit juga dapat dilakukan mulai dari jenjang teratas (jenjang utama atau madya) jika dirasa kinerja mereka yang seharusnya paling mendukung tercapainya tujuan organisasi.
Resolusi: Penyederhanaan Birokrasi, Kemuliaan bagi Pelayanan Publik
Semangat penyetaraan jabatan melalui penyederhanaan birokrasi pada amanat Presiden Joko Widodo perlu disikapi sebagai masa transisi yang harusnya digunakan untuk menyesuaikan kondisi ke arah pembaharuan, bukannya tetap bertahan pada pola lama atau justru malah kembali ke pola lama.
Struktur organisasi berjenjang (hierarkikal) digantikan dengan model agile, peningkatan tingkat maturitas pembinaan jabatan fungsional, serta penataan tata kerja yang masih banyak problematika di lapangan.
Tentu semangat penyederhanaan birokrasi ini tidak boleh dimaknai sebagai upaya yang sia-sia, namun harus tetap didukung sesuai dengan tujuan awal yaitu pelayanan publik yang tidak berbelit-belit, serta sistem manajemen SDM aparatur yang menghargai keahlian dan menghargai kompetensi, dan itulah yang perlu menjadi fokus kita bersama.
Seorang pegawai pemerintahan yang sedang belajar mengenai Manajemen SDM Aparatur. Tulisan merupakan opini pribadi dan tidak mewakili institusi penulis bekerja.
Kebijakan yang tidak didukung dengan SDM kepegawaian yang hebat…. Sampai saat ini saja yang namanya SKP tidak ada yang membuat… Aplikasi nya juga masih belum ada… Pekerjaan juga masih di lakukan secara berjenjang menggunakan pola lama, pejabat lama… Masih belum ada perubahan yg signifikan….
Ini sih kemunduran ke 15 tahun yang lalu , ini terjadi karena gejolak dari eselon 3 dan 4 nya gak mau mengumpulkan angka kredit, buat mereka seperti nya berat kalau harus mengumpulkan angka kredit, apalagi kalau sampai harus buat laporan (DUPAK ) seperti pada JF perencana. mereka berharap tanpa mengumpulkan angka kredit dapat naek jenjang. saat ini dengan penilai angka kredit sudah tepat untuk seorang ASN, dia dapat meningkatkan kapasitas nya sesuai dengan bidang nya.
Selamat pagi, izin bertanya terkait statement diatas yaitu “Adapun bagi pejabat administrasi yang telah diangkat melalui penyetaraan dalam jabatan fungsional namun belum memiliki kesesuaian antara kualifikasi, kompetensi, dan unit kerjanya; dapat dilakukan penyesuaian ke dalam jabatan fungsional sampai dengan tanggal 31 Desember 2022.”
Adakah peraturan yang membahas mengenai ini Pak? Terimakasih banyak