Penyederhanaan Birokrasi menjadi Dua Level Hierarkhi: Rasionalkah?

by Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer | Jun 11, 2021 | Birokrasi Efektif-Efisien | 3 comments

Baru-baru ini birokrasi pemerintahan Indonesia digegerkan dengan wacana pemerintah yang akan melakukan pemangkasan birokrasi menjadi dua hierarki. Sebuah wacana yang mencanangkan hilangnya jabatan struktural esselon III dan IV (jabatan administratur jika merujuk Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).

Sudah dapat diduga sebelumnya, tak banyak kalangan birokrat yang antusias. Mayoritas bahkan menolak dan cenderung skeptis atas wacana tersebut.

Argumentasi dan alasan kemudian bermunculan ke permukaan atas tidak rasionalnya rencana pemerintah itu. Dari obrolan warung kopi hingga seminar bertaraf nasional, suara sumbang tentang wacana ini ramai didengungkan. Tentu saja kebanyakan datang dari para birokrat yang terancam kehilangan jabatan yang sudah melekat pada diri mereka.

Wacana ini kemudian mulai menemukan bentuk saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) menerbitkan Surat Edaran Nomor 384, 390, dan 391 Tahun 2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi yang memerintahkan seluruh kementerian lembaga dan pemerintah daerah melakukan sembilan langkah strategis untuk memulai kebijakan ini.

Hasil dari surat edaran tersebut adalah pemetaan jabatan yang diusulkan dipangkas dan jabatan fungsional baru sebagai penggantinya. Output pemetaan tersebut kemudian harus diserahkan ke Kementerian Pan-RB pada akhir Desember 2019.

Selanjutnya pada tahun 2020 Kemenpan RB memberikan arahan agar K/L segera melakukan pemangkasan birokrasi. Hampir seluruh jabatan pada level esselon III dan IV dihilangkan. Namun, masih terdapat beberapa jabatan yang dipertahankan, yakni jabatan yang bersifat sekretariat atau supporting staf seperti bagian Tata Usaha dan lain-lain.

Hasilnya, hingga Februari Tahun 2021, sekitar 39.000 jabatan setingkat eselon III dan eselon IV sudah dialihkan ke jabatan fungsional. Beberapa artikel tentang hal ini dapat dibaca di sini.

Penyederhanaan Birokrasi Daerah

Berdasarkan hal tersebut pemerintah merasa sukses melaksanakan penyederhanaan birokrasi di pemerintah pusat dan mulai melangkah menuju penyederhanaan birokrasi di pemerintah daerah. Meskipun sebenarnya, menurut penulis hal tersebut masih terlalu dini.

Kemenpan RB kemudian menggandeng Kementerian Dalam Negeri untuk mulai melaksanakan penyederhanaan di birokrasi pemerintah daerah. Sebagai langkah mula-mula terbitlah Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 800/2603/OTDA tertanggal 22 April 2021.

Surat yang ditujukan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini perihal Penyederhanaan Birokrasi pada Jabatan Administrasi di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Surat tersebut berisi usulan konsep penyederhanaan birokrasi yang akan dilaksanakan di lingkungan pemerintah daerah.

Dalam surat tersebut diusulkan tipe-tipe jabatan yang akan dilakukan pemangkasan dan tipe-tipe jabatan yang akan dipertahankan. Kemenpan RB juga saat ini sedang menggodok peraturan terkait penyetaraan dan pengalihan jabatan administrasi ke jabatan fungsional. Selain itu juga telah dan akan ditetapkan jabatan-jabatan fungsional baru sebagai pengganti jabatan administrasi yang dipangkas.

Level Perencanaan Tidak Dipangkas

Terlepas dari bagaimana akhirnya kebijakan ini berakhir, penulis sebagai seorang PNS yang pernah menggeluti persoalan struktur dan kelembagaan pemerintah daerah menilai bahwa kebijakan ini memiliki nilai rasionalitas yang rendah. Terutama dalam konteks pemerintah daerah. Beberapa hal yang membuat penulis menarik kesimpulan seperti itu akan diuraikan satu persatu.

Pertama, pengorganisasian atau penyusunan struktur kelembagaan adalah bagian dari fungsi manajemen tahap kedua setelah perencanaan. Hal tersebut berarti struktur sangatlah tergantung pada perencanaan yang sudah ditetapkan.

Pada saat ini, sesuai dengan Undang-Undang Perencanaan Pembangunan Nasional, konsep perencanaan disusun secara hirarkhial mulai dari sasaran strategis, arah kebijakan, tujuan, program dan kegiatan. Level perencanaan tersebut selanjutnya dibagi menjadi level tanggung jawab jabatan.

Dengan demikian, menjadi jelas tanggung jawab setiap level jabatan yang ditetapkan. Oleh karena itu, jika struktur kelembagaan saja yang dipangkas sementara level perencanaan tidak dipangkas akan terjadi kekosongan penanggung jawab terhadap sasaran yang sudah ditetapkan dalam perencanaan baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Tujuan Efisiensi Tidak Rasional

Kedua, tujuan efisiensi tidaklah rasional. Sebagaimana dikemukakan semenjak mula kebijakan ini didengungkan, bahwa tujuan dari penyederhanaan birokrasi adalah efektivitas dan efisiensi. Secara faktual jika tujuannya adalah efisiensi anggaran, hal ini tidaklah benar. Sebab, seiring perpindahan jabatan dari jabatan administrasi ke jabatan fungsional, penghasilan pegawai yang bersangkutan tidaklah berubah malah cenderung meningkat.

Efisiensi mungkin hanya berlaku dalam proses pengambilan keputusan. Dengan struktur yang lebih pendek proses ini bisa berjalan lebih singkat. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi bumerang karena jauhnya rentang kendali. Adapun yang paling rasional adalah terjadinya efisiensi proses bisnis. Alur berkaitan dengan perizinan akan lebih mudah dilakukan karena tidak ada hirarkhi yang panjang di dalamnya.

Akan tetapi, hal tersebut terkendala oleh budaya dan mindset pegawai. Bukankah selama ini yang sesungguhnya memperlambat proses perizinan bukanlah struktur tapi lebih kepada budaya dan mindset pegawai yang cenderung memperlambat proses ketimbang mempercepat? Belum lagi rendahnya kompetensi mereka.

Adaptasi Kebijakan Baru: Sulit Dilakukan oleh Daerah

Ketiga, sulitnya pemerintah, terutama pemerintah daerah, untuk beradaptasi dengan kebijakan baru. Pasca beralih dari orde baru ke orde reformasi, sistem pemerintahan di Indonesia berubah total dari sentralistis ke desentralistis. Hal tersebut membuat kebijakan yang bersifat sentralistis menjadi relatif sulit diterapkan secara sempurna ke tingkat daerah.

Meskipun tidak secara terang-terangan, pemerintah daerah cenderung menentang kebijakan-kebijakan yang mengganggu kepentingan mereka. Salah satu bukti dari hal ini adalah pemberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang perangkat daerah.

Banyak ketentuan dari peraturan pemerintah ini yang akhirnya tidak terimplementasi dengan baik di daerah. Salah satunya adalah penetapan struktur rumah sakit yang berada di bawah dinas kesehatan sebagai unit pelaksana teknis. Masih banyak daerah yang menetapkan rumah sakit daerah sebagai perangkat daerah, bukannya unit pelaksana teknis daerah.

Belum lagi jika berbicara tentang ketentuan-ketentuan lain yang lebih teknis seperti pembentukan kepala bidang atau kepala seksi, banyak yang belum menerapkan prinsip tepat struktur dan tepat fungsi (rightsizing) sebagaimana prinsip kebijakan tersebut.

Jika peraturan yang tidak secara drastis menganggu kepentingan personal seperti PP 18 saja sulit untuk diimplementasikan, bagaimana mungkin kebijakan penyederhanaan birokrasi menjadi 2 level yang secara jelas-jelas menghapuskan jabatan. Rasanya jauh panggang dari api.

Rujukan yang Lemah dan Cultural Change Management

Keempat, kebijakan penyeberhanaan birokrasi menjadi dua level secara teoritis dan praktis belum memiliki rujukan. Secara teoritis kita mengenal setidaknya teori Mintzberg yang membagi fungsi organisasi menjadi tiga level yakni strategic apec, middle line, dan operating core. Tiga, bukan dua.

Adapun dari aspek praktis penulis bahkan belum menemukan benchmarking yang tepat. Setidaknya belum ditemukan dalam penjelasan maupun bahan dari pemerintah terkait pelaksanaan konsep ini di tempat lain yang berhasil. Justru di organisasi yang paling efisien semacam bankpun memiliki biro-biro untuk membagi tugas-tugas mereka.

Kelima, yang paling sulit adalah membuat para pegawai beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Sebagaimana dikupas sekilas sebelumnya, bahwa keberhasilan kebijakan ini bukanlah sebanyak apa jabatan yang dialihkan atau dipangkas, melainkan seberapa efektif dan efisien kebijakan ini akhirnya berdampak.

Jikapun akhirnya kebijakan ini berhasil dilaksanakan, pekerjaan rumah bagi pemerintah selanjutnya adalah bagaimana merubah kebiasaaan, budaya, dan mindset pegawai supaya selaras dengan tujuan kebijakan ini. Jangan sampai kebijakan ini hanya berhasil di permukaan yang membuat kondisi “jabatan fungsional serasa jabatan struktural”. Hal ini tentu tidak akan menyebabkan perubahan antara birokrasi lama dengan birokrasi baru.

Epilog

Masih banyak argumentasi yang bisa penulis kemukakan untuk memperkuat kesimpulan penulis tentang rasionalitas kebijakan ini. Beberapa di antaranya seperti penyiapan ketentuan tentang jabatan fungsional pengganti yang belum sepenuhnya siap.

Bagaimana uraian tugasnya? Bagaimana angka kreditnya? Bagaimana tim penilai angka kreditnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak penulis. Atau tentang mengoordinasikan tugas antarjabatan fungsional dalam satu unit kerja yang sulit jika harus dilakukan oleh setaraf esselon II, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, kelima fakta yang telah diuraikan sebelumnya adalah latar belakang utama penulis menarik kesimpulan. Selanjutnya, ada sebuah rekomendasi yang perlu penulis ungkapkan sebelum penulis menutup tulisan ini.

Jika diberikan kesempatan untuk memberikan opsi lain dari penyederhanaan birokrasi, maka penulis menawarkan untuk memperkuat pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah atau SAKIP dan penerapan collaborative governance, alih-alih menyederhanakannya menjadi dua level.

Penyederhanaan birokrasi yang berbasis pada prioritas pembangunan dan pengurangan beban pekerjaan pemerintah daerah dengan menggandeng civil society dan unsur lain akan lebih rasional diterapkan. Penjelasan tentang hal ini akan penulis kupas dalam tulisan selanjutnya.

Wallahu A’lam Bisshawwab.

7
0
Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Muhamad Badar Hamid ◆ Professional Writer

Author

Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.

3 Comments

  1. Avatar

    Terimakasih bpk telah memberikan gambaran informasi bagi saya sebagai pegawai baru terkait penyederhanaan birokrasi pada pemda..

    Reply
  2. Avatar

    Kang badar emang jos

    Reply
    • Muhamad Badar Hamid

      Terima kasih mas

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post