Penilaian Kinerja Arsiparis: Antara Formalitas dan Manuver di Balik Meja

by | Sep 14, 2025 | Berdaya, Birokrasi Bersih | 0 comments


Dalam sistem birokrasi Indonesia, arsiparis adalah profesi strategis yang memegang kendali atas memori kelembagaan. Mereka bukan sekadar penjaga dokumen lama, tetapi juga pengawal akuntabilitas publik, penyelamat data sejarah, dan penjamin transparansi administrasi.

Arsip bukan hanya kumpulan kertas berdebu di ruang penyimpanan, melainkan sumber autentik yang memuat jejak kebijakan, bukti hukum, dan narasi sejarah suatu bangsa.

Sayangnya, di balik peran yang sedemikian vital,
penilaian kinerja arsiparis di Indonesia kerap terjebak dalam formalitas. Alih-alih menjadi instrumen untuk mengukur kualitas kerja dan mendorong perbaikan berkelanjutan, ia sering kali berubah menjadi ritual tahunan yang hanya memenuhi kewajiban administratif.

Di banyak instansi, hasil penilaian kinerja – yang biasanya tertuang dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) – tidak selalu sejalan dengan kompetensi teknis yang dimiliki.

Nilai di atas kertas bisa kalah makna dibandingkan “nilai” di mata atasan atau pimpinan, yang kerap dipengaruhi kedekatan personal, jaringan internal, atau bahkan manuver politik di lingkungan kerja.

Sekilas tentang Penilaian Kinerja Arsiparis

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya manusia didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, potensi, dan kinerja, serta integritas dan moralitas yang dilaksanakan secara adil dan wajar bukan dengan kedekatan atau koneksi.

Jika melihat regulasi arsiparis seperti Peraturan Menteri PANRB Nomor 48 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Arsiparis dan Peraturan Kepala ANRI Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pedoman Penilaian Prestasi Kerja Jabatan Fungsional Arsiparis, penilaian kinerja arsiparis seharusnya berbasis pada dua komponen utama:

  • unsur pokok (tugas inti kearsipan), dan
  • unsur penunjang (aktivitas tambahan seperti tugas tambahan, pelatihan, publikasi ilmiah, atau penghargaan).

Indikator teknis idealnya mencakup:

  1. Penyusunan dan pelaksanaan jadwal retensi arsip.
  2. Pengelolaan arsip vital dan permanen.
  3. Penyediaan layanan arsip untuk publik dan internal.
  4. Pengembangan sistem klasifikasi dan temu kembali arsip.
  5. Partisipasi dalam penyusunan kebijakan kearsipan.

Namun di lapangan, proses penilaian ini sering kali hanya sebatas mengisi tabel, mengumpulkan tanda tangan, dan “mengatur” angka agar sesuai target “baik” atau “sangat memuaskan”. Seperti sebuah pertunjukan yang rapi di permukaan, tetapi minim refleksi atas kualitas kerja yang sesungguhnya.

Formalitas yang Mengakar

Budaya formalitas dalam penilaian kinerja arsiparis tidak muncul begitu saja. Ia lahir dan bertahan karena setidaknya tiga faktor utama:

  1. Kewajiban administratif, bukan evaluasi substantif

Penilaian dilakukan karena “wajib ada” di akhir tahun, bukan sebagai sarana pembinaan. Dokumen SKP sering hanya menjadi pelengkap berkas kenaikan pangkat, tanpa diskusi mendalam mengenai kekuatan dan kelemahan pegawai.

  1. Ketiadaan parameter yang terukur dengan jelas

Banyak indikator kinerja bersifat umum dan mudah dimanipulasi. Contohnya, “menyelesaikan pengolahan arsip” yang meskipun sudah menyebut volume, kualitas, tenggat waktu namun tanpa adanya output hasil kinerja berupa laporan atau kertas kerja. Hal ini membuka ruang interpretasi subjektif.

  1. Lingkungan birokrasi yang hierarkis

Dalam budaya kerja yang mengutamakan harmoni dan senioritas, kritik atas kinerja jarang diutarakan secara terbuka. Nilai penilaian pun kerap “disesuaikan” agar tidak menyinggung pihak tertentu.

Ketika Manuver Non-Teknis Mengambil Alih

Ketika mekanisme penilaian formal sudah lemah, peluang bagi manuver non-teknis pun terbuka lebar. Arsiparis yang pandai membangun citra personal, aktif di kegiatan non-teknis, atau punya kedekatan dengan pimpinan bisa memperoleh jalur promosi lebih cepat dibandingkan mereka yang bekerja tekun di balik meja arsip.

Menurut Social Learning Theory (Bandura), menyebutkan bahwa manusia akan meniru apa yang mereka lihat. Kalo yang naik jabatan adalah mereka yang “cari muka” atau punya koneksi, maka pola itu dianggap “normal”.

Akhirnya, banyak ASN baik mulai dari level pelaksana, jabatan fungsional sampai struktural akan meniru perilaku yang salah karena cara itu yang dianggap berhasil.

Beberapa bentuk manuver non-teknis yang kerap ditemui:

  • Jaringan personal dengan pimpinan – Hubungan dekat dengan Menjadi “orang kepercayaan” pimpinan di luar konteks pekerjaan inti, dan mengikuti gaya, hobi, atau minat pimpinan demi mendapatkan simpati dapat mempengaruhi rekomendasi promosi, meski kompetensi teknis biasa saja atau malah kurang.
  • Kepiawaian tampil di ruang publik internal – Menjadi MC acara, mendampingi pimpinan, atau menjadi “wajah lembaga” dapat membuat seorang arsiparis lebih diingat oleh pengambil keputusan.
  • Keterlibatan dalam proyek non-kearsipan – Misalnya ikut tim dekorasi acara atau kegiatan sosial, yang meskipun tidak relevan dengan arsip, memberi eksposur tinggi di mata pimpinan.
  • Mengikuti Arus dan Menghindari Konflik – Menghindari sikap kritis terhadap atasan atau kebijakan meskipun ada masalah, memposisikan diri sebagai “siap pak” dan bersedia 24/7 demi dianggap loyal
  • Menggunakan Faktor Nonprofesional – Memanfaatkan kedekatan kekeluargaan, kedaerahan, atau kesamaan latar belakang organisasi untuk mempererat hubungan dengan pengambil keputusan.

Fenomena ini menggeser persepsi menjadi bahwa kompetensi teknis hanyalah pelengkap, bukan fondasi karier arsiparis.


Dampak Negatif bagi Profesi

Jika tren ini dibiarkan, setidaknya ada 5 (lima) dampak serius:

  1. Motivasi kerja teknis menurun – Arsiparis yang rajin, inovatif, dan berintegritas serta fokus pada tugas inti merasa kerja keras mereka tidak diakui secara proporsional dan akan kehilangan semangat.
  2. Penurunan kualitas kerja dan layanan publik – Ketika promosi dan penghargaan tidak berbasis kompetensi teknis, pegawai akan terdorong menghabiskan energi untuk membangun citra atau jaringan, bukan memperbaiki kinerja. Pelayanan publik dan preservasi arsip akan cenderung berjalan di standar minimum.
  3. Stagnasi inovasi dan perbaikan sistem – Budaya yang lebih mengutamakan hubungan personal akan membuat ide-ide baru, kritik membangun, atau terobosan teknis sulit berkembang karena dianggap “mengganggu harmoni” atau tidak relevan dengan kepentingan jaringan.
  4. Regenerasi kompetensi terhambat – Pegawai baru kehilangan motivasi untuk belajar jika melihat promosi didorong oleh faktor non-teknis.
  5. Citra profesi menurun – Publik memandang arsiparis hanya sebagai pelengkap birokrasi, bukan profesi strategis yang menopang akuntabilitas.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

Masalah ini tidak sepenuhnya salah individu. Ada faktor struktural seperti:

  • Budaya birokrasi yang mengutamakan harmoni daripada evaluasi objektif.
  • Sistem penilaian yang belum berbasis hasil (output) dan dampak (outcome).
  • Minimnya pemahaman pimpinan akan pentingnya arsip.
  • Tidak adanya insentif yang memadai untuk kinerja teknis unggul.
  • Pemahaman dan penegakan disiplin pegawai rendah

Pelajaran dari Negara Lain

Di negara seperti Britania Raya, melalui Archives and Records Association (ARA), arsiparis harus melewati Registration Scheme yang mengharuskan portofolio kompetensi profesional dengan pengalaman minimal 3 (tiga) tahun. Penilaian mencakup:

  • Jumlah dan kualitas arsip yang diolah.
  • Inovasi dalam sistem temu kembali arsip.
  • Tingkat kepuasan pengguna layanan.
  • Kontribusi pada kebijakan transparansi publik.

Setiap indikator harus dibuktikan dengan laporan, user feedback, atau audit independen. Promosi didasarkan pada skor kinerja, sertifikasi, dan wawancara panel independen – bukan sekadar penilaian atasan langsung.

Jalan Keluar: Reformasi Penilaian Kinerja

Untuk membuat penilaian kinerja arsiparis lebih bermakna, enam langkah reformasi berikut bisa dipertimbangkan:

  1. Indikator kinerja yang terukur – Misalnya target jumlah arsip yang diolah dengan batas toleransi kesalahan tertentu.
  2. Melibatkan pihak independen – Tim lintas unit atau penilaian sejawat (peer review), Tim penilai kinerja yang beranggotakan ANRI untuk meminimalkan bias.
  3. Integrasi dengan insentif nyata – Seperti kesempatan pelatihan, publikasi karya ilmiah, penugasan strategis, atau penghargaan resmi.
  4. Mengurangi bias senioritas – Promosi berbasis kompetensi, bukan urutan masuk atau kedekatan personal.
  5. Edukasi pimpinan – Agar pimpinan memahami keterkaitan langsung antara kualitas arsip dan kredibilitas lembaga diperlukan forum eselon tentang manajemen arsip, simulasi kerugian akibat kehilangan arsip serta masukan capaian kearsipan dalam laporan kinerja Lembaga.
  6. Perkuat pemahaman dan penegakan disiplin – Pelatihan disiplin ASN, sistem poin Pelanggaran dan penghargaan yang terintegrasi dengan penilaian kinerja serta penegakan sanksi tanpa pandang bulu dengan dokumentasi resmi.

Tantangan Implementasi

Meski terdengar ideal, reformasi ini menghadapi hambatan seperti resistensi dari pejabat senior, keterbatasan sumber daya manusia, dan minimnya komitmen politik birokrasi. Namun, tanpa perubahan, profesi arsiparis akan terus berada di bayang-bayang formalitas.

Penutup: Saatnya Arsiparis Dinilai dari Arsipnya

Menilai kinerja arsiparis bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, tetapi memastikan memori bangsa dikelola oleh tangan profesional. Selama penilaian masih kalah oleh manuver non-teknis, kualitas pengelolaan arsip akan stagnan, dan citra profesi ini akan terus tergerus. Reformasi bukan hanya keadilan bagi individu, tetapi investasi bagi sejarah bangsa.

0
0
Bayu Arditya Andono ♥ Associate Writer

Bayu Arditya Andono ♥ Associate Writer

Author

ASN yang diamanai tugas fungsional Arsiparis Ahli Muda pada sebuah lembaga negara di Jakarta. Meyakini bahwa rezeki itu bukan hanya materi, tetapi juga kesehatan, kebahagiaan, dan ketenangan hati dari Yang Maha Pemberi (Ar Razzaq).

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post