Penguatan Peran Internal Audit Dalam Pemberantasan Korupsi: Catatan Kritis Reformasi

by Tri Wahyono ◆ Active Writer | Nov 14, 2022 | Birokrasi Bersih | 0 comments

Prolog

Setiap kali ada kejadian korupsi di Indonesia, semua kompak menyalahkan internal audit yang gagal melakukan pencegahan karena selama ini dianggap telah mati suri. Sayangnya, perghakiman sepihak itu tidak dibarengi dengan solusi konkret bagaimana mengurai akar permasalahan yang sedang terjadi.

Seolah sudah puas mendapatkan kambing hitam, hari berlalu dan keadaan kembali normal, sampai terungkap kejadian korupsi berikutnya dan siklus menyalahkan internal audit berulang lagi.

Karena alasan itulah, artikel ini akan menguraikan permasalah yang sebenarnya terjadi, utamanya dari perspektif tata kelola pemerintahan agar memberikan analisis yang lebih berimbang.

Apakah Benar Internal Audit di Indonesia Lemah?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu belajar sejarah. Pada era orde baru, tidak ada yang menyangkal bahwa internal audit di Indonesia sangatlah kuat, bahkan lebih kuat dari eksternal audit waktu itu. Mengapa bisa terjadi?

Karena saat itu sistem pemerintahannya sentralisasi. Sebagaimana lazimnya sistem komando, instruksi dari atas harus dibarengi dengan pengawasan yang kuat sehingga tidak terjadi deviasi di lapangan.

Sejak reformasi bergulir, sistem pemerintahan berubah, bukan lagi sentralisasi, namun desentralisasi melalui sistem otonomi daerah. Konsekuensinya, internal audit juga ikut terdesentralisasi, kewajiban membangun pengendalian internal diserahkan kepada pimpinan organisasi melalui Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) masing-masing.

Dalam sistem tata kelola ini, dipersyaratkan pengawasan eskternal yang lebih independen dan kuat karena perisai akuntabilitas terakhir akan bergantung kepadanya. Sejak saat itu, peran internal audit tidak lagi dianggap penting karena tanggung jawab pengendalian intern telah diserahkan kepada pimpinan organisasi masing-masing.

Sejarah inilah yang seringkali dilupakan, bahwa dengan sistem tata kelola pemerintahan pasca reformasi, posisi internal audit menjadi tidak independen karena bertanggung jawab langsung kepada pimpinan organisasi.

Seharusnya, ketika terjadi korupsi, yang pertama diminta pertanggungjawaban adalah pimpinan organisasi. Miris dan sayangnya justru kebanyakan pimpinan organisasilah yang menjadi pelaku korupsinya.

Betul sudah ada upaya yang diinisiasi KPK dan Kementerian Dalam Negeri agar pengangkatan dan pemberhentian pimpinan internal audit tidak lagi dilakukan oleh pimpinan organisasi, namun hal ini berpotensi tidak efektif karena akar permasalahan utamanya belum tersentuh.

Mengurai Akar Permasalahan Lemahnya Pengawasan

Sebetulnya masalah yang terjadi adalah kekosongan pengawasan, khususnya yang bersifat represif (penindakan). Hal ini dikarenakan internal audit berada pada posisi yang tidak independen sehingga hanya bisa diharapkan pada tataran pencegahan atau preventif, itupun ketika mendapatkan dukungan dari pimpinan, jika tidak, maka kembali lagi peran internal audit tidak akan efektif.

Memang betul sudah ada KPK, namun tentunya sumber dayanya juga terbatas, sehingga hanya dapat menangani kasus yang besar-besar saja. Padahal, sangat mungkin bahwa kasus riil di lapangan lebih banyak daripada yang berhasil terungkap oleh KPK.

Kembali pada keterbatasan sistem tata kelola pemerintahan pasca reformasi, tumpuan utama pengawasan hanya pada auditor eksternal. Sayangnya, undang-undang pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara hanya diartisempitkan sebagai pemberian opini atas laporan keuangan.

Ketika dipertanyakan peran auditor eksternal dalam pemberantasan korupsi, selalu berdalih bahwa yang diperiksa adalah kesesuaian laporan keuangan dengan standar, dan sistem audit menggunakan sampling sehingga tidak ada kaitan langsung antara opini laporan keuangan dan korupsi.

Kembali lagi yang disalahkan adalah pengendalian korupsi yang lemah dan yang paling bertanggung jawab adalah internal audit.

Berhenti Menyalahkan, Fokus pada Solusi

Strategi pemberantasan korupsi memerlukan sinergi harmonis antara tindakan represif (penindakan) dan preventif (pencegahan). Ibarat mendidik anak saat melakukan kesalahan berat, ada peran untuk menghukum (represif), tapi ada peran untuk merangkul (preventif) agar perbuatan tidak berulang.

Pemberian hukuman penting agar anak sadar bahwa perbuatannya salah, tapi perlu segera dirangkul karena pada hakikatnya tujuannya adalah perbaikan. Memperhatikan peran dan posisinya saat ini, internal audit akan lebih sesuai untuk menjalankan peran untuk merangkul.

Merangkul artinya mendampingi untuk belajar dari pengalaman (organisasi sendiri, maupun organisasi lain), membimbing apa saja yang bisa diperbaiki agar kesalahan tidak berulang kembali.

Peran menghukum inilah yang di Indonesia masih lemah, seolah semua berusaha lepas tangan, karena peran menghukum ini pasti akan dimusuhi banyak pihak, sebagaimana peran yang dilaksanakan oleh KPK saat ini.

Tentunya peran menghukum perlu dibekali dengan alat yang memadai, artinya diberikan kewenangan melalui undang-undang yang jelas, sehingga tidak mudah dipermainkan oleh pelaku korupsi yang terus mencari celah hukum untuk pembenaran.

Pertanyaannya kemudian, “Siapa yang tepat?” Memperhatikan kondisi saat ini, yang paling mungkin diperankan menghukum adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Tentunya setiap pilihan ada konsekuensinya.

Ketika memilih BPK, maka peran investigasinya harus diperkuat. Selain itu, potensi intervensi dari DPR perlu diantisipasi karena anggota BPK dipilih oleh DPR yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi independensinya.

Jika yang dipilih adalah BPKP, maka perlu menyiapkan payung hukum yang lebih kuat, yaitu setingkat undang-undang karena pengawasan melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dengan demikian perlu payung hukum yang kuat agar tidak berbenturan dengan regulasi yang lain. Sayangnya, Rancangan Undang-Undang Pengawasan sampai dengan saat ini belum juga tuntas.

Epilog

Akar permasalahan lemahnya pengendalian internal di Indonesia adalah sistem, maka perbaikannya juga memerlukan perbaikan sistem tata kelola pemerintahan.

Tulisan ini bukan untuk mengkritisi bahwa sistem tata kelola pemerintahan pasca reformasi tidak baik, tapi lebih kepada perlu penyesuaian agar peran pengawasan internal semakin kuat, tidak hanya pengawasan eksternal saja yang diperkuat. 

Penulis yakin penguatan dan sinergi keduanya akan membuat Indonesia semakin maju.

0
0

Penulis adalah seorang ASN dengan latar belakang pendidikan bidang Pengurusan Piutang Lelang Negara, Akuntansi Pemerintahan, Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Internal Audit, serta Public Policy yang sekaligus menjadi bekalnya dalam menekuni ketertarikannya terhadap ekonomi perilaku dan kebijakan publik. Tiga kata yang menggambarkan dirinya adalah kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan.

Tri Wahyono ◆ Active Writer

Tri Wahyono ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah seorang ASN dengan latar belakang pendidikan bidang Pengurusan Piutang Lelang Negara, Akuntansi Pemerintahan, Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Internal Audit, serta Public Policy yang sekaligus menjadi bekalnya dalam menekuni ketertarikannya terhadap ekonomi perilaku dan kebijakan publik. Tiga kata yang menggambarkan dirinya adalah kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post