Penguatan Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah – Bagian 2: Rekomendasi

by Muhadam Labolo ◆ Professional Writer | Sep 5, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

(Sambungan dari Bagian 1)

Pelemahan Konstitusional

Kewenangan DPD mengalami banyak diskriminasi sebagaimana terlihat dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hal itu tampak dalam Pasal 7A dan 7B ayat (1) sampai (6) perubahan ketiga tentang usulan pemberhentian yang hanya dapat dilakukan berdasarkan usulan DPR tanpa melibatkan DPD sebagai elemen penting lembaga legislatif. 

Di sisi lain, Pasal 7C dengan tegas mencantumkan larangan presiden membubarkan DPR. Padahal, dalam proses pemberhentian selanjutnya tegas-tegas melibatkan unsur DPD dalam penyelenggaraan sidang istimewa oleh MPR. 

Eksesnya, tak ada jaminan bagi DPD untuk dapat mempertahankan diri dari kezaliman lembaga kepresidenan bila sewaktu-waktu dibubarkan karena hal tersebut tidak tercantum dalam konstitusi.

Pasal 11 Ayat (1) dan (2) secara eksplisit menyatakan betapa tidak perlunya unsur DPD dalam badan legislatif. Bikameralisme setengah hati ditampakkan dalam pasal itu yang hanya melibatkan presiden dan DPR tanpa DPD untuk sebuah pernyataan perang, damai dan perjanjian internasional. 

Dengan tingkat legitimasi yang sama dengan DPR, DPD seharusnya memiliki hak dan kewenangan tak berbeda saat terlibat dalam pengambilan keputusan krusial yang dinyatakan seorang presiden sebagaimana perang dan perdamaian. 

Hal ini menimbang konsekuensi terhadap pernyataan presiden dengan sendirinya membawa dampak bagi masyarakat sipil di tingkat lokal. Dengan demikian keterlibatan masyarakat di daerah perlu disertakan dalam mengambil keputusan melalui wakil-wakilnya di DPD. 

Pernyataan damai, dan perjanjian internasional, jelas bukan aksi sepihak yang hanya membawa dampak bagi sekelompok orang di DPR, tetapi melibatkan seluruh anggota warga negara yang tinggal di berbagai daerah lainnya.

Diskriminasi terhadap DPD juga terdapat dalam perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) sehubungan pemberian amnesti dan abolisi oleh presiden yang hanya memerhatikan pertimbangan DPR dan tidak melibatkan DPD. Otoritas ekstensif yang dilakukan DPR pada saat yang sama menumpulkan peran DPD. 

Realitas ini jelas mengkhawatirkan mengingat prinsip dasar sistem presidensialisme erat kaitannya dengan mekanisme pengawasan dan perimbangan termasuk dalam MPR sendiri. Dengan konstruksi itu jelas tidak dapat diterapkan dalam kerangka aturan semacam itu.

Demikian pula dalam hal pemilihan anggota BPK yang otoritas penuh dimiliki DPR. Sementara DPD hanya sekadar pelengkap penderita yang diminta pertimbangannya bila perlu. 

Kondisi ini secara atraktif ditegaskan melalui pasal 23F ayat (1) dimana seolah-olah eksistensi DPD sebatas aksesoris demokrasi, tak lebih dan tak kurang. Dengan begitu secara fungsional eksistensi DPD sama artinya dengan tidak ada.

Pasal 20 ayat (1) secara eksplisit menghentikan gerak kewenangan bagi DPD untuk terlibat dalam pengambilan keputusan membentuk UU bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  Tanpa menyebutkan istilah DPD sekali pun menunjukkan bagaimana eksistensinya tak diperlukan. 

Kalaupun dilibatkan, statusnya hanya terbatas usulan pembentukan. Itu pun dibatasi pada isu tertentu saja seperti yang tercantum dalam Pasal 22D ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945.

Menurut Asshiddiqie (2002), pada pokoknya cabang kekuasaan legislatif berada di tangan DPR. Namun sejauh menyangkut kepentingan daerah, seperti terkait hal-hal yang disebut dalam Pasal 22D ayat (1), DPD diberi inisiatif memberikan rancangan undang-undang. 

Akan tetapi, rancangan undang-undang itu tetap harus diajukan kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi DPD hanyalah bersifat suplemen, embel-embel yang tidak terlalu penting. 

Peran DPD sangat minim padahal prosedur pemilihan anggotanya justru sangat rumit dan sulit. Seseorang baru dapat menjadi anggota DPD apabila ia benar-benar tokoh yang dikenal luas di daerahnya dan bukan orang partai sehingga benar-benar dapat dikenal di luar konteks mesin politik sebagaimana partai. 

Akan tetapi, setelah terpilih menjadi anggota DPD, Ia harus hidup di Jakarta dengan tugas receh, memberi pertimbangan kepada DPR dalam urusan-urusan legislasi.

Dalam pembahasan terhadap rancangan undang-undang yang disebut di sini, baik atas inisiatif DPD, DPR ataupun atas inisiatif pemerintah, dilakukan oleh DPR dengan melibatkan peran serta anggota DPD. 

Tentu saja berkenaan dengan prosedur pembahasan bersama ini mesti tegaskan dalam Tatib misalnya persidangan dilakukan secara gabungan antara DPR dan DPD, bukan sendiri-sendiri, sehingga pengertian pembahasan bersama atau ikut membahas dalam ayat ini dapat terpenuhi. Faktanya hal itu tidak terjadi.

Perbandingan Konsep dan Praktik

Dalam kaitan dengan praktik sistem sistem bikameral kita dapat melihat di Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, Jerman, Jepang, Prancis, Venezuela (pada masa Konstitusi 1961), dan negara-negara ASEAN, baik yang menerapkan sistem perwakilan bikameral maupun unikameral.

Bikameral seperti di Malaysia, Filipina, Thailand dan Kamboja, sedangkan sistem perwakilan unikameral seperti Brunei Darussalam, Laos, Myanmar, Singapura, dan Vietnam. Selain itu dapat dilihat struktur Parlemen Indonesia model bikameral, yaitu pada masa Konstitusi RIS dan pada UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat. 

International Commission of Jurist merumuskan sistem politik yang demokratis sebagai suatu bentuk pemerintah di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. 

Dalam sistem pemerintah demokratis yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. 

Mungkin ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Pertama, untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. 

Kedua, untuk membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan tertentu yang biasanya tak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah dalam lembaga legislatif. 

Hasil kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di berbagai sistem di dunia. Semua negara federal memiliki dua majelis. Negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih unikameral dan sebagian lagi bikameral. 

Cara kerja lembaga legislatif jelas berkaitan dengan hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Sebagian besar sistem presidensial adalah bikameral. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada suatu pandangan umum yang menunjukkan bahwa mendapatkan persetujuan dari dua majelis legislatif dan seorang presiden eksekutif adalah suatu prosedur yang berat atau mustahil. 

Sistem parlementarian lebih beragam. Namun karena sistem presidensial di Indonesia berbeda dengan sistem presidensial yang lain, sulit diambil kesamaan secara langsung.

Di Indonesia pernah berlaku sistem parlemen bikameral, yaitu pada masa Konstitusi RIS. Pada saat itu bentuk negara Indonesia adalah federal dan dengan sistem pemerintahan parlementer. 

Akan tetapi, bentuk parlemen bikameral saat itu tak berlangsung lama. Dengan berlakunya UUDS 1950, parlementer Indonesia kembali menjadi sistem unikameral. Senat sebagai kamar kedua atau mejelis tinggi dalam konstitusi RIS merupakan perwakilan teritorial, mewakili negara bagian yang menyuarakan kepentingan daerah.

Sesuai Perubahan Keempat UUD 1945, Pasal 2 ayat (1), Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara teoritik memperlihatkan sistem dua kamar. Kamar kedua atau majelis tinggi untuk perwakilan teritorial bertugas menyuarakan aspirasi kepentingan masyarakat daerah (DPD). 

Namun demikian pasal-pasal tentang DPD yang terdapat dalam Perubahan Ketiga dan Keempat UUD 1945 hanya memberikan kekuasaan kepada DPD sebatas berkenaan dengan isu otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 

Dalam hal tersebut DPD dapat mengajukan RUU, ikut membahas RUU yang berkaitan dengan hal tersebut dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tersebut (Pasal 22D ayat (1) dan (2) Perubahan Ketiga UUD 1945). 

Kewenangan selain hal itu dapat ikut membahas RUU dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama.

Dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada kamar kedua sebagai majelis tinggi Indonesia ini (DPD), tampak bahwa kekuasaan yang diberikan konstitusi sebagaimana perubahan sebanyak empat kali tidaklah merepresentasikan fungsi dan tugas ideal sebagaimana lembaga yang mewakili aspirasi masyarakat di daerah, termasuk praktik di berbagai negara di dunia.

Rekomendasi Penguatan 

Dengan pemahaman di atas diperlukan penguatan terhadap kewenangan DPD sebagai bagian dari kamar kedua sekaligus menempatkannya sebagai majelis tinggi yang merepresentasikan aspirasi masyarakat di daerah. 

Penegasan sistem bikameral dengan sendirinya akan memperkuat posisi DPD yang lemah sebagai bagian dari MPR. MPR dalam hal ini adalah kongres tertinggi selaku pemegang kedaulatan rakyat. 

Dengan demikian kedaulatan rakyat direpresentasikan betul oleh seluruh rakyat Indonesia baik melalui mekanisme dipilih langsung oleh rakyat (partai politik), maupun dengan mekanisme tidak langsung yang dipilih mewakili komunitas minoritas, utusan golongan, adat, koperasi, ormas, birokrasi, TNI/Polri dan seluruh elemen bangsa. 

Mekanisme pemilihan wakil daerah dapat diajukan oleh komunitas, organisasi maupun golongan dimaksud yang kemudian dipilih oleh DPRD untuk mewakili daerah masing-masing. Jadi seleksinya bisa berlapis, melalui komunitas itu sendiri kemudian dipilih akhir oleh DPRD untuk diajukan menjadi anggota DPD RI. 

Bila diasumsikan dua orang mewakili daerah, maka kedua orang tersebut adalah hasil seleksi berlapis hingga sampai di kamar kedua majelis tinggi (DPD RI). Mekanisme ini sekaligus mengganti mekanisme lama yang dipilih langsung (liberal-federalistik).

Untuk mengubah status DPD RI menjadi lebih kuat maka redaksi pasal 2 ayat (1) sebaiknya berbunyi, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara demokratis

Penghilangan kata anggota dan penambahan kata demokratis sebagaimana redaksi di atas, dimaksudkan untuk menegaskan eksistensi DPD sebagai organ/institusi representatif yang diakui bagian dari MPR. 

Sedangkan kata demokratis ditambahkan untuk memberi pilihan dalam mekanisme di tingkat undang-undang sehingga anggota DPD dapat diangkat atau dipilih secara tidak langsung, bukan sebagaimana praktik saat ini. 

Dengan kejelasan status DPD RI selaku majelis tinggi, bagian dari MPR, serta mewakili keseluruhan ruang di daerah, dengan sendirinya diperlukan perubahan mendasar terhadap pasal-pasal lain guna menguatkan kewenangan DPD yang setaraf, atau bahkan lebih tinggi dibanding DPR. 

Perubahan itu dapat dilakukan misalnya pada pasal 2 ayat (1), pasal 7 (A & B), pasal 11 ayat (1-2), Pasal 14 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), pasal 22C, 22D, 22E, dan pasal 23F.

2
0
Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara
Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.

Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Author

Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post