Penguatan Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah – Bagian 1: Pemaknaan, Latar, dan Dilema

by Muhadam Labolo ◆ Professional Writer | Sep 3, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Pemaknaan

Secara konseptual semua lembaga perwakilan rakyat disebut lembaga legislatif. Di negara lain disebut pula dengan istilah parlemen. Legislatif sendiri merupakan salah satu cabang kekuasaan sekaligus ciri negara demokrasi. 

Cabang kekuasaan ini berfungsi memproduksi undang-undang sebagaimana istilah etimologis yang diembannya, leg atau lex (hukum). Maknanya sepadan dengan lembaga pembuat undang-undang. Parlemen sendiri berasal dari bahasa latin parliamentum atau parler, yaitu tempat di mana para wakil rakyat berbicara satu sama lain tentang hal penting bagi rakyat. 

Dalam konteks ini fungsi dasarnya adalah mewakili (represent; standing for, designate, to serve to express) sekaligus mengonversikan pembicaraan ke dalam bentuk sistem hukum yang kongkret dan bersifat mengikat bagi warga negara seperti undang-undang (Ndraha, 2002). 

Dalam ciri negara demokrasi, kekuasaan pelaksana atas undang-undang yang diproduksi oleh legislatif adalah eksekutif. Sedangkan cabang kekuasaan yudikatif sebagai benteng terakhir dalam menegakkan undang-undang yang diproduksi legislatif selaku representasi rakyat. 

Artinya, undang-undang apapun yang dibuat, idealnya merupakan cerminan kehendak rakyat yang diwakili oleh lembaga legislatif atau parlemen.

Latar Historis

Dalam UUD 1945 awal, dikenal eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keduanya merepresentasikan lembaga legislatif sebagaimana dijelaskan UUD 1945. 

Menurut Harun Alrasyid (2003), kedua lembaga tersebut secara historis merupakan transformasi dari aparatur negara di era Hindia Belanda. Jabatan Presiden dan Wakil Presiden merupakan transformasi dari Gouverneur General dan Luitenant Gouverneur Generaal. 

Directeur van een Department menjadi Menteri. Raad van Nederlands-Indie menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Volksraad menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Algemene Rekenkamer menjadi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Hooggerechshof menjadi Mahkamah Agung (MA). 

Sementara untuk menggantikan posisi tertinggi (Raja dan Ratu Belanda) sebagai subjek pertanggungjawaban gubernur jenderal dalam hal ini dibuatlah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memegang kedaulatan tertinggi rakyat. 

Dengan demikian, presiden sebagai pelaksana pemerintahan bertanggung jawab penuh kepada institusi tertinggi penjelmaan seluruh rakyat.  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri merupakan wadah bagi wakil-wakil partai politik (parpol) hasil pemilu. 

Akan tetapi, menimbang tidak semua orang bisa masuk parpol, maka DPR pada realitanya tidak mewakili seluruh rakyat.  Dengan pertimbangan itu maka didesainlah lembaga yang lebih besar bernama MPR. Badan ini terdiri dari anggota DPR ditambah wakil rakyat non parpol yaitu utusan daerah dan golongan.

Dilema Perubahan

Pemilihan struktur badan legislatif di Indonesia berhadapan dengan pilihan dilematis antara sistem unikameral atau bikameral. Persoalan ini kembali hangat pasca amandemen UUD 1945. 

Dalam sidang-sidang MPR selama tiga tahun terakhir telah dihasilkan berbagai macam perubahan konstitusi. Perubahan ini diwujudkan dalam empat dokumen UUD 1945 dan berbagai ketetapan MPR. 

Selain itu, terjadi perubahan mendasar pada struktur ketatanegaraan melalui kewenangan organ-organ negara. Perubahan demikian merupakan suatu hal yang dapat dimaklumi sepanjang sesuai dinamika dan kebutuhan bangsa di tengah transisi kekuasaan. 

Sekalipun perubahan tersebut merupakan hasil kesepakatan MPR, namun dirasakan kurang berakar. Salah satunya adalah mengurangi kekuasaan MPR sebagai penjelmaan kekuasaan tertinggi rakyat dengan sendirinya mendistorsi makna kedaulatan di tangan rakyat sebagai sumber daulat tertinggi dan azali. 

Eksesnya presiden menjadi setara dengan legislatif yang notabene merupakan pelaksana kedaulatan tertinggi rakyat melalui MPR. Pada tingkat teknis, pemilihan presiden secara langsung mengakibatkan trikotomi kekuasaan secara horizontal dijalankan dengan semangat pengawasan dan perimbangan yang lebih tegas, termasuk di dalamnya perimbangan badan legislatif berupa bikameralisme agar tercipta checks and balances system.

Perbedaan Status

Dalam kasus Indonesia, jika kita imajinasikan sebagaimana praktek sistem bikameral di berbagai negara, kamar pertama atau majelis rendah dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sedangkan kamar kedua atau majelis tinggi disebut Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Akan tetapi, perubahan struktur MPR menjadi bikameral dengan dua kamar itu menjadi perdebatan di kalangan anggota MPR dengan sikap ambiguitas. Hasilnya, pada 7 November 2001 sebanyak 190 anggota MPR menolak sistem bikameral dalam bentuk apapun baik soft maupun strong. 6 

Dengan demikian bentuk bikameralisme dalam Rancangan perubahan keempat UUD 1945 alternatif kedua merupakan bentuk yang disetujui oleh sebagian besar peserta sidang melalui voting pada sidang paripurna tahun 2002.  

Harus diakui dalam hal pembentukan DPD belum disepakati jumlah representatif anggota DPD setiap provinsi. Menurut Arinanto (2002), perubahan MPR menjadi sistem bikameral dengan perubahan strukturnya yang terdiri dari DPR dan DPD membawa implikasi terhadap kedudukan dan kewenangan MPR. 

Dalam perubahan keempat UUD 1945 dan dalam Peraturan Tata Tertib MPR, implikasi bikameralisme antara lain berkaitan dengan; pertama, kewenangan MPR membentuk Ketetapan MPR yang materi muatannya bersifat fundamental semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 

Kedua, kewenangan MPR untuk mendengar dan membahas laporan kemajuan (progress report) dari lembaga negara dalam pelaksanaan tugasnya. Ketiga, perlu tidaknya presiden memberikan laporan pertanggungjawaban kepada MPR pada akhir masa jabatannya. Keempat, kewenangan DPD dalam mengesahkan RUU, termasuk tentang boleh tidaknya presiden membubarkan DPD.  

Kehadiran DPD seharusnya memberikan solusi terhadap sistem politik yang sentralistik sepanjang lima dasawarsa terakhir. Akan tetapi, eksistensi DPD tidak mempunyai fungsi seperti yang diharapkan karena tak lebih dari sekadar asesoris demokrasi dalam sistem perwakilan. 

Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal yang mengatur tentang kewenangan DPD. Kewenangan DPD didiskriminasi di tengah ekspektasi masyarakat dalam upaya turut berpartisipasi secara luas dan kompetitif.

Pelemahan Konstitusional

Dalam hal jumlah anggota sebagaimana tercantum dalam Pasal 22C ayat (2) amandemen ketiga UUD 1945 ditegaskan bahwa jumlah keseluruhan anggota DPD tidak melebihi sepertiga anggota DPR. 

Hal ini menurut Agus Haryadi dalam tulisannya tentang Bikameralisme Setengah Hati dalam harian Kompas (2002), dapat mengakibatkan dominasi DPR dalam memutuskan hal-hal krusial di MPR. 

Dengan komposisi itu agaknya sulit untuk tidak menyatakan bahwa eksistensi DPD lebih merupakan unsur suplemen daripada lembaga yang benar-benar mengakomodasi kepentingan masyarakat di tingkat lokal. 

Selain itu, dengan kalkulasi politik tidak lebih dari sepertiga jumlah total keanggotaan MPR sama artinya melumpuhkan segenap potensi kritis dan kekuatan perimbangan antarbadan dalam MPR. Ini jelas menciptakan legislative heavy (DPR) di tengah kepentingan daerah dalam mengartikulasi aspirasi mereka, meski tingkat legitimasi kedua dewan sama.

Oleh sebab DPD lahir melalui mekanisme elektoral (Pasal 22C dan Pasal 22E perubahan ketiga UUD 1945) maka kesenjangan kuantitatif berdampak pada minimnya pengaruh DPD terhadap proses agregasi pembuatan keputusan.  

Sebenarnya, sekalipun jumlah anggota mungkin tidak selalu memengaruhi kekuatan kamar kedua dalam sistem bikameralisme namun bila kewenangannya dilucuti dengan sendirinya tidak terjadi keseimbangan. 

Dalam pengambilan keputusan yang diambil secara voting mungkin bisa kalah, tetapi bila terdapat kekuasaan besar yang diberikan kepada DPD oleh konstitusi sebagaimana praktek di Amerika, Inggris dan Perancis, tentu saja DPD akan lebih bergigi. 

(bersambung ke Bagian Kedua https://birokratmenulis.org/penguatan-eksistensi-dewan-perwakilan-daerah-bagian-2-rekomendasi-penguatan/ )

2
0
Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara
Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.

Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Muhadam Labolo ◆ Professional Writer

Author

Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post