Pengharapan Bernama Pemerataan

by Raihan Fadhila ◆ Active Writer | Jul 4, 2024 | Birokrasi Melayani | 0 comments

a statue of a lady justice holding a scale

Prioritas tiap insan bisa mengandung sejuta sebab yang melatarbelakanginya. Konteks ‘prioritas’ yang dimaksud penulis, ialah pilihan jalan hidup yang merujuk kepada satu kondisi; kesuksesan. 

Segelintir orang menganggap
menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah pilihan bijak. Segelintir orang lainnya
justru mencari celah untuk keluar dari lingkup pemerintah. Apapun pilihannya,
tidak ada yang lebih benar atau lebih salah selama pilihan tersebut membawa
pemerataan pendapatan yang lebih baik di Indonesia.

Berbicara mengenai pemerataan, ada satu kondisi yang cukup menarik perhatian. Dewasa ini, beberapa kali penulis jumpai gelora suara rakyat yang menyerukan pemerintah untuk mendorong pembangunan di luar Jawa. 

Jalur yang Tepat Menuju Pemerataan

Melalui fasilitas yang memadai, roda ekonomi kelak berputar lebih kencang dan mendongkrak ekonomi masyarakat pada akhirnya. Kenyataannya, asumsi ‘pembangunan harus dititikberatkan di daerah non-Jawa’ tidak sepenuhnya sahih. 

Pernyataan barusan merupakan hasil opini penulis yang berangkat dari data “10 provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia pada Maret 2024”, yang dipublikasikan melalui databoks.katadata.co.id bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). 

Di dalam publikasi data tersebut, disebutkan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi dengan penduduk miskin terbanyak dengan ‘capaian’ 3,98 juta orang (9,79% dari total penduduknya). 

Di sisi lain, disebutkan bahwa Kalimantan Utara merupakan provinsi dengan penduduk miskin paling sedikit dengan ‘capaian’ 47,83 ribu orang (6,32% dari total penduduknya). 

Terkadang, masyarakat lupa bahwa terdapat masalah yang lebih banyak di dalam lingkup yang lebih besar. Dalam hal ini, banyaknya penduduk Jawa Timur secara beriringan mengandung jumlah penduduk miskin yang banyak pula.

Penulis yakin, pemerintah telah berada di jalur yang tepat menuju pemerataan, khususnya dalam hal ekonomi. BPS mengungkapkan, melalui perhitungan rasio gini didapatkan bahwa ketimpangan ekonomi penduduk Indonesia mencapai 0,379 poin pada Maret 2024. 

Angka ini mengalami penurunan (yang berarti perbaikan) jika dibandingkan dengan poin pada Maret 2023, meskipun memang sangat tipis (0,009 poin). Mengacu pernyataan BPS, poin gini per Maret 2024 tersebut merupakan yang terendah sejak September 2017. 

Pemerataan: Tidak Hanya dalam Aspek Ekonomi

Dalam kurun waktu tersebut, masyarakat mengalami banyak pergolakan. Tidak mengherankan bila rasio gini sempat berfluktuasi atau meningkat, terlebih dengan merebaknya Covid yang berdampak buruk bagi perekonomian. Meski demikian kita berhasil bangkit, bukan?

Atas dasar penjelasan sebelumnya, besarnya jumlah penduduk miskin di Jawa tidak menjadikan penulis beranggapan bahwa fokus bantuan pemerintah haram diberikan kepada masyarakat nan-jauh di perbatasan. 

Alangkah baiknya, bersama-sama kita memandang data penduduk miskin bukan sebagai angka; mana yang besar atau mana yang kecil. Dewasa ini dibutuhkan pemikiran muda yang mengedepankan kemajuan negara berlandaskan azas pemerataan. Jatuh bersama, bangkit bersama, dan maju bersama.

Pemerataan tidak hanya menyangkut ekonomi,
melainkan juga dalam aspek lain seperti teknologi. Baru-baru ini, tersebar luas
kabar peretasan server Pusat Data Nasional (PDN). 

Sebelum berbicara lebih jauh, mula-mula kita sepakati bersama bahwa keamanan data menjadi pekerjaan rumah yang amat besar bagi kementerian dan lembaga terkait. Setidaknya, kini hal tersebut (seharusnya) menjadi fokus utama pemerintah. 

Diasumsikan keamanan data nasional telah diperbaiki. Apa selanjutnya? Baik masyarakat yang menjadi bagian dari tata kelola pemerintah maupun yang tidak, perlu mendapatkan pemahaman yang baik mengenai regulasi penggunaan server PDN itu sendiri. 

Mengapa demikian? Agar tidak terjadi salah-menyalahkan antarpihak yang seharusnya berwenang menangani kasus yang sama (bila terjadi lagi). 

Selain itu, entah melalui penerbitan kebijakan baru, perbaikan kebijakan yang sudah ada, atau sebatas publikasi informasi, penegasan regulasi akan menjadi bentuk internalisasi kembali di lingkungan pemerintah. 

Dalam kasus ini, bila pada kemudian hari terjadi peretasan, pihak yang bertanggung jawab sudah tau pasti apa yang mesti dilakukan.

Setelah perbaikan keamanan data dan penegasan regulasi, barulah pihak yang berwenang (yang dalam hal ini ditulis secara general: pemerintah), mulai kembali mendorong kuat upaya pemerataan akses teknologi di daerah seperti akses internet. 

Seperti Covid, Setelahnya Kita Bangkit Kembali

Bila dipikirkan lebih dalam, sejatinya penggambaran kasus peretasan PDN ini dapat dianalogikan secara sejajar dengan kasus Covid. Pada masa virus belum memasuki Indonesia, tentu pemerintah memiliki prioritas program kesehatan yang sedang dijalankan. 

Namun dengan masuknya Covid, mau-tidak mau pemerintah perlu mengerahkan segenap fokus prioritasnya untuk penanganan Covid tersebut. 

Setelah beberapa tahun berperang, akhirnya masyarakat tiba pada situasi di mana jasa pemeriksaan swab antigen tidak lagi begitu mudah ditemukan. Dalam arti lain, pada akhirnya kita berhasil bangkit kembali. 

Setelah urusan Covid tampak selesai, barulah pemerintah bersama masyarakat beranjak menuju fokus-fokus pembangunan di bidang kesehatan lainnya.

Sama halnya dengan peretasan PDN. Kini, penanganan peretasan tersebut pastinya menjadi fokus utama. Penulis yakin, pada akhirnya situasi kebangkitan sebagaimana yang kita capai pada era Covid dapat kita raih. 

Setelahnya, barulah pemerintah bersama masyarakat menata kembali tata kelola data pemerintah, sembari berupaya mencapai segala capaian yang diharapkan oleh seluruh masyarakat, dari ujung timur hingga ujung barat. 

Banyak Celah untuk Disempurnakan

Penulis berpandangan, dalam aspek teknologi, masih terbuka cukup banyak celah untuk disempurnakan. Beberapa celah dimaksud mulai dari; ketersediaan akses internet, ketersediaan fasilitas perangkat keras dan lunak di sekolah guna mendukung pembelajaran, kapabilitas pemerintah memberikan sistem presensi PNS yang meminimalisir risiko kecurangan, dan lain sebagainya.

Singkatnya, bila keseluruhan penjelasan di atas dikonversi menjadi dua kalimat, kurang lebih akan menghasilkan premis berikut: “Anak kecil aja tau, bahwa sebelum bermain layangan ia harus menyelesaikan pekerjaan rumahnya terlebih dahulu. Kita para dewasa, jangan mau kalah.”

2
0
Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.

Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post