Kawasan EKORIPARIAN merupakan ruang terbuka hijau yang pengembangannya diinisiasi sejak tahun 2017 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Ditjen PPKL).
Menurut Radnawati dan Makhmud (2020) konsep ekoriparian merupakan konsep perencanaan riparian yang memiliki upaya untuk menurunkan beban pencemaran dari limbah domestik dan menjadikan daerah pengembangan tersebut menjadi pusat edukasi dan konservasi lingkungan.
Dengan kata lain, ekoriparian adalah memanfaatkan sepadan sungai yang semula menjadi tempat pembuangan sampah dengan membangun fasilitas pengendalian pencemaran sesuai dengan sumber pencemar yang ada, serta fasilitas lingkungan lainnya yang tidak menganggu ekosistem yang ada, dan menjadi tempat wisata yang dikelola oleh masyarakat sehingga meningkatkan ekonomi masyarakat.
Penggunaan konsep ekoriparian diyakini juga dapat memecahkan permasalahan-permasalahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang berada di lingkungan tersebut.
Meski demikian manfaat lain dari pengembangan ekoriparian adalah sebagai media penyediaan ruang terbuka hijau, sebagai kawasan rumah pangan keluarga, pemanfaataan air limbah olahan, sebagai ruang edukasi pendidikan lingkungan hidup, serta ruang pemberdayaan masyarakat (KLHK, 2022).
Meskipun terdapat arahan Menteri LHK untuk memperluas pemulihan sepadan sungai dengan konsep ekoriparian ke semua wilayah di Indonesia, terutama pada kawasan 15 (lima belas) Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas, namun total pembangunan ekoriparian yang telah terbangun sejak tahun 2017 berjumlah sebanyak 11 (sebelas) tempat.
Lokasi ekoriparian tersebut tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia dengan rincian sebagai berikut:
Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa pengembangan ekoriparian di kota-kota besar Indonesia menimbulkan permasalahan sosial yang sangat kompleks.
Permasalahan yang ditimbulkan lebih banyak berdimensi pada konflik pemanfaatan ruang, sedangkan kepemilikan ruang publik belum semuanya dikuasai oleh pemerintah. Lemahnya “Law Enforcement” menjadikan ruang publik berubah fungsi menjadi ruang privat dengan dalih perkembangan kota (Purwanto, 2010).
Belum lagi perencanaan dan perancangan kota yang disusun ke dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) belum menyentuh secara detail tentang ruang publik.
Lesson learned: Pengembangan Konsep Ekoriparian Babakan Pasar, Bogor
Pengembangan ekoriparian yang berada dalam lokasi pemukiman padat penduduk dan tinggi aktivitas diperlukan konsep perencanaan yang dapat menyelaraskan kegiatan manusia dan alam.
Menurut Radnawati dan Makhmud (2020), dalam perencanaan lanskap ekoriparian Babakan Pasar, Bogor digunakan pendekatan sebagai berikut:
- Menjaga keharmonisan hidup antara manusia, alam, dan budaya melalui desain yang alami dan tertata;
- Menciptakan desain tata hijau yang dapat meningkatkan nilai keindahan dan konservasi serta memberikan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat sekitarnya;
- Mengembangkan kawasan sebagai ruang terbuka hijau (ruang publik) berbasis kawasan rekreasi dan edukasi yang dapat menampung berbagai kegiatan yang ada di dalam tapak.
Ketiga fungsi ini tentunya disesuaikan dengan kondisi eksisting sempadan sungai di kawasan yang akan dibangun ekoriparian. Selain itu, dengan memanfaatkan potensi air sungai secara optimal dapat sekaligus menjaga dan mengembangkan kelestarian lingkungan biotik dan abiotik yang ada di wilayah sungai.
Lebih lanjut lagi Radnawati dan Makhmud (2020), menganalisis lokasi sempadan sungai Babakan Pasar – Bogor. Dalam perencanaannya, lanskap ekoriparian dibagi menjadi 3 zona yaitu:
- Zona penyangga, terdiri dari ruang agroforestry dan pembibitan;
- Zona pengembangan/pemanfaatan, terdiri dari ruang penerima dan ruang interaksi;
- Zona Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL), terdiri dari fasilitas pengolahan air limbah, node yang merupakan ruang peralihan antara satu ruang dengan lainnya, berupa fasilitas plaza.
Ekoriparian yang Ramah Aksesibilitas bagi Difabel
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta orang. Karena itu, perlu adanya fasilitas memadai untuk mengakomodir serta mempermudah akses dan aktivitas mereka.
Penyediaan aksesibilitas bagi difabel merupakan suatu keharusan untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan antara penyandang disabilitas dan masyarakat non disabilitas. Aksesibilitas yang dimaksud salah satunya meliputi aksesibilitas terhadap ruang terbuka publik.
Ruang publik atau publik space adalah ruang milik bersama di mana publik dapat melakukan berbagai macam aktivitas dan tidak dikenakan biaya untuk memasuki area tersebut. Aktivitas yang terjadi dapat berupa rutinitas sehari-hari, kegiatan pada musim tertentu atau sebuah event (Carr et.all, 1992).
Dari sisi akademik menurut Purwanto (2008), aspek-aspek yang harus dipahami untuk dapat menjelaskan ruang publik, yaitu:
- Ruang publik adalah sebagai wahana interaksi antarkomunitas untuk berbagai tujuan, baik individu maupun kelompok. Di samping itu, ruang publik juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta memberikan “image” dari suatu kota;
- Ruang publik seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga kota yang membutuhkan;
- Penyediaan ruang publik sebaiknya dapat mempertimbangkan berbagai kelas dan status kebutuhan masyarakat yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat baik kelas atas sampai bawah, dari yang normal sampai difabel, dari anak-anak sampai dewasa dan pria atau wanita;
- Ruang publik disebut bermakna bila ada kepublikan atau publicness. Kalau tidak ada publicness, maka tidak akan ada yang memanfaatkan ruang publik. Kepublikan itu mensyaratkan adanya tingkat kolektivitas tertentu. Di dalam ruang publik berbicara tentang sosial intercourse atau pergaulan sosial antar manusia dalam sistem produksi.
Penguatan lainnya juga diisyaratakan dalam Pasal 103 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas bahwa pertamanan dan permakaman yang mudah diakses dilengkapi dengan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
Sayangnya, keberadaan pengembangan ekoriparian belum difasilitasi aksesibiltas bagi difabel. Hal ini sangat jelas sekali di beberapa pembangunan Ekoriparian. Jalur trotoar khusus yang dilengkapi ubin penuntun tuna netra belum tersedia di jalur pedestrian.
Padahal, infrastruktur yang satu ini menjadi salah satu fasilitas yang sangat penting disediakan selain juga penyediaan ramp, kursi roda, atau toilet khusus yang dirancang untuk difabel/manula.
Penyediaan fasilitas aksesibiltas difabel seperti diuraikan di atas sangat memungkinkan untuk direplikasi di pembangunan ekoriparian di wilayah lainnya.
Meskipun pengadaan berbagai fasillitas aksesibiltas difabel sangat mudah dilakukan oleh pemerintah, namun tidak dapat dimungkiri bahwa fasilitas ini membutuhkan pendanaan yang cukup besar terutama untuk pengadaan barang dikawasan desa tertinggal atau terkecil.
Gambar 5: Tampak Depan Ekoriparian Mega Regency
Sumber : KLHK, 2022
Gambar 6: Contoh Penyediaan Fasilitas Disabilitas
Sumber: https://www.liputan6.com/photo/read/4515705/foto-melihat-fasilitas-disabilitas-di-pengadilan-negeri-jakarta-pusat?page=1
Saran
Pengembangan konsep ekoriparian terbukti telah memberikan banyak manfaat selain kepada lingkungan itu sendiri juga bermanfaat bagi masyarakat umum. Oleh sebab itu, perlu penambahan pembangunan ekoriparian di wilayah Indonesia lainnya.
Fasilitas yang belum ada seyogyanya segera dilengkapi dan direncanakan agar bisa memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlu membangun kolaborasi antar multisektor dalam pengembangan pembangunan ekoriparian, agar rasa memiliki, menjaga, dan melestarikan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama.
Referensi
https://ms-my.facebook.com/DitjenPPKL/photos/pcb.1143808029475096/1143807812808451/?type=3&theater
Purwanto, Edi, 2008, Social Capital in Urban Space-Learning from Malioboro Jogjakarta, Proceeding International Symposium “Architecture, Development And Urbanization” Towards Sustainable Cities In Nusantara, p.561- 578
Purwanto, Edi, 2010, Daya Hidup Ruang Jalan Pahlawan Semarang, Artikel Wacana Lokal Harian Suara Merdeka, 27 September 2010 hal. 7
Radnawati, D., & Makhmud, D. F (2020). Desain Lanskap Ekoriparian Babakan Pasar, Bogor. Jurnal Lanskap Indonesia, 12 (1), 23-32. https://doi.org/10.29244/jli.12.1.2020.23-33
Stephen Car-Mark Francis-Leanne G. Rivlin-Andrew M Stone, Publik Space, Cambridge University Press, USA, 1992, ch.3, pp.SO-84.
Analis Kebijakan Muda pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
0 Comments