“Nanti kita alokasikan kegiatan kita di provinsi ini aja ya, saya belum pernah ke sana. Supaya sebelum memasuki masa purna tugas, saya sudah pernah mengunjungi seluruh provinsi di Indonesia”.
Kalimat tersebut pastinya sering atau pernah kita dengar, terutama untuk Anda yang berada di instansi pusat, terlebih ketika memasuki masa kuartal terakhir.
Pada masa menjelang pergantian tahun ini, memang sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap instansi pemerintah “berlomba-lomba” berkinerja, menyerap “sisa” anggaran dengan berbagai kegiatan – terutama perjalanan dinas ke berbagai lokasi. Pertanyaan yang sering mengikuti biasanya adalah “boleh atau tidak?” Padahal seharusnya pertanyaan yang diajukan adalah, “etiskah?”
Pasal 8 ayat 5 di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 secara tegas menyatakan bahwa “Hukuman disiplin ringan diberikan kepada PNS yang melanggar ketentuan untuk mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang dan/atau golongan”.
Namun, pernahkah kita melihat PNS yang dijatuhi hukuman disiplin ringan karena mengatur lokasi perjalanan dinas demi kepentingan pribadi? Retoris.
‘Alasan’ Sampling
Keterbatasan sumber daya kadang memang memaksa adanya skala prioritas dalam pengambilan keputusan pada saat penetapan lokasi penugasan. Penetapan lokasi pada beberapa jenis penugasan memiliki sifat yang krusial. Karena adanya keterbatasan tersebut, sampling seringkali menjadi solusi yang dipedomani.
Masalah kemudian muncul ketika penggunaan sampling diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengambilan kesimpulan. Jumlah sampel harus representatif dan metode pemilihannya dapat dianggap mewakili keseluruhan populasi (Margono1, 2004). Lalu bagaimana dengan Purposive Sampling?
Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa Purposive Sampling adalah “teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif”. Justifikasi “pertimbangan tertentu” tersebut menjadi andalan punggawa negara yang merangkap sebagai pemburu rente.
Seperti dikutip dalam laman statistikian, purposive sampling memiliki kelemahan bahwa hasilnya tidak dapat digunakan secara generalisasi untuk mengambil kesimpulan statistik. Dengan demikian, tidak tepat jika pemilihan lokasi dengan metode purposive sampling menjadi sebuah sarana untuk menarik kesimpulan bagi keseluruhan (generalisasi).
Lagi lagi, alasan ‘purposive sampling‘ dengan berbagai kriterianya tetap saja sebagai pembenaran mengapa beberapa punggawa negara menentukan lokasinya di daerah wisata, jika pada akhirnya hasil kunjungan digunakan untuk menarik kesimpulan secara generalisasi.
Berdasarkan wawancara dengan salah satu pegawai yang diberi mandat sebagai subkoordinator yang menangani urusan umum di salah satu unit kerja yang juga menjadi tujuan wisata, mereka sudah menganggap kunjungan ke unit kerja mereka sebagai hal yang lumrah.
Sebagai bentuk antisipasinya, mereka bahkan telah menganggarkan dana untuk berbagai keperluan dalam rangka menjamu tamu yang datang berkunjung. Lalu bagaimana dengan sifat kunjungannya?
Ternyata ada beberapa kunjungan yang tujuannya penarikan kesimpulan. Diperlukan wawancara yang lebih dalam terhadap pihak yang menetapkan daerah wisata sebagai wilayah sampel mereka untuk bisa mengatakan apakah tepat atau tidak.
Metode Penentuan Lokasi: Faktor Risiko
Selain alasan sampling, terdapat juga satu metode lain dalam menentukan lokasi kunjungan, yakni faktor risiko. Institusi Pemerintah kini sedang sibuk bermain (dipermainkan?) dengan konsep manajemen risiko.
Berbeda dengan sektor privat, sektor publik kini dihadapkan dengan konsep pengendalian internal dan manajemen risiko. Pengendalian Internal yang sudah ada lebih dulu dalam PP 60 Tahun 2008 menempatkan pengelolaan risiko sebagai bagian dari kerangkanya.
Berbeda dengan akademisi yang akan berdebat mengenai kaitan pengendalian internal dan manajemen risiko, apakah seperti gambar 1 huruf a atau huruf b, para hulubalang hanya akan bertanya apakah hal tersebut merupakan dua hal yang terpisah atau tidak, dan seberapa banyak kerjaan tambahan yang perlu mereka lakukan.
COSO dalam kerangka COSO ERM4 mengatakan untuk melihat manajemen risiko dan pengendalian internal seperti dua sisi mata uang pada satu uang koin, pada dasarnya adalah hal yang sama dengan pendekatan yang berbeda.
Narasi tersebut mengindikasikan bahwa pertanyaan tingkat hulubalang seharusnya cukup terjawab bahwa manajemen risiko dan pengendalian internal saling terintegrasi dan seharusnya tidak cukup banyak tambahan beban kerja yang diperlukan.
Kaitan MR-PI dan Penentuan Lokasi
Lalu apa kaitan Manajemen Risiko dan Pengendalian Internal dengan penentuan lokasi?
Dengan memerhatikan risiko per wilayah atau unit kerja pada saat penetapan lokasi diharapkan dapat memastikan pemenuhan sampel dapat lebih representatif yang pada ujungnya bisa memastikan ketercapaian tujuan institusi.
Para pengambil keputusan hendaknya melihat unit kerja atau wilayah yang dalam dashboard risiko mereka berwarna kuning atau merah. Kalaupun belum memiliki sistem informasi terkait pengelolaan risiko, mereka bisa meminta daftar risiko sampai dengan pemantauan risiko dari masing-masing wilayah maupun unit kerja sebagai pertimbangan dalam melakukan kunjungan dinas.
Apabila pengambil keputusan merasa bahwa apa yang tercantum dalam dokumen pengelolaan risiko masih belum mewakili kondisi yang sebenarnya, atau dalam istilah latah sekarang biasa disebut “maturitasnya” masih rendah, alias masih belum matang, pengambil keputusan dapat menggunakan faktor risiko dari unit kerja atau wilayah berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Faktor risiko yang mungkin biasa dikenal dalam dunia investasi akan sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan. Pengelolaan risiko yang terlahir dari dunia asuransi dan dibesarkan dalam dunia perbankan memang terbiasa mendampingi para pengambil keputusan dalam dua dunia tersebut.
Kinilah saat yang tepat bagi pengambil keputusan dalam dunia sektor publik, terutama non-jasa keuangan untuk mulai menggunakan alat yang sama. Untuk institusi jasa keuangan tentunya sudah lebih dulu mengenal dan mungkin mengimplementasikannya secara efisien. Semoga.
Klasifikasi unit kerja ataupun wilayah menggunakan faktor risiko pada dasarnya membagi unit kerja ke dalam tingkat risikonya menggunakan parameter yang sama. Parameter yang biasa digunakan dan paling utama adalah jumlah anggaran yang dikelola, karena secara inheren, semakin besar anggaran akan semakin berisiko.
Faktor Risiko berikutnya adalah jarak dari unit atau wilayah dari pusat, semakin jauh tentunya akan semakin berisiko karena pada dasarnya pengawasan melekat efektif ketika dekat. Langkah berikutnya adalah dengan memberikan skor sebagai dasar agregasi.
Epilog: Kombinasi Faktor Risiko
Dengan mengombinasikan beberapa faktor risiko, akan didapatkan urutan prioritas wilayah atau unit dengan pertimbangan risiko. Harapannya didapatkan wilayah/unit yang lebih objektif dalam daftar kunjungan sehingga uang negara tidak semata dihabiskan untuk mengunjungi tempat wisata.
Namun, seperti kutipan populer dari Einstein yang mengatakan bahwa “God does not play Dice”, Manusialah yang secara alamiah bermain dengan angka. Permainan bobot dan angka mudah disalahgunakan, hanya dijadikan sebagai kedok, justifikasi atas gelora pribadi. Sehingga di akhir, semuanya kembali kepada masing-masing hati nurani.
Just a regular auditor with too much hobby and not enough time.
Anti-Fraud and Risk Management Oriented. contact: [email protected]
yang dibahas permasalah sampling tentang apa ya?. Dalam kegiatan kunjungan dinas atau dalam konten pelaporan kegiatan?. Apakah dalam penentuan sampel dari populasi juga ragam modelnya dan apakah dipedoman tetulis kewajiban dalam penentuan sampling?. Namun, mungkin bisa sebagai refleksi saja dalam penentuan lokasi sepanjang ada pengabsahan secara reasonable dan berpulang dari masing2 kebijakan instansi.