Epilog
Suatu ketika, saat sedang menikmati kopi hangat, saya tiba-tiba mendengar dering telepon dari seorang teman. Katanya, istrinya baru saja kedatangan seorang jaksa (intelejen) di kantornya. Istrinya itu kebetulan adalah seorang pejabat struktural pada sebuah instansi pemerintah daerah. Saya pikir, itu hanyalah kedatangan biasa saja, sebagaimana seorang jaksa yang menjalankan tugas negara.
Rupanya, cerita teman saya lagi, saat kedatangannya itu sang jaksa sudah mengancam istrinya bahwa ia akan membawa auditor instansi tertentu untuk membuktikan adanya kerugian negara pada pengadaan barang/jasa di instansi istrinya itu. Istrinya itu kebetulan penanggung-jawab suatu pengadaan barang/jasa di instansinya; atau biasa dikenal sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).
Cukup lama saya tidak pernah mendengar kabar lanjutan tentang kedatangan jaksa tersebut. Sampai kemudian, beberapa minggu rasanya, saya mendapatkan pesan dari obrolan elektronik dengannya (electronic chats). Katanya, istrinya sudah langsung mendapatkan panggilan resmi untuk datang ke kejaksaan negeri dengan status tersangka!
Selanjutnya, di kejaksaan negeri itu, sang jaksa mengancam akan menahan istrinya. Akhirnya, dengan negosiasi ulet lewat pengacaranya, disepakatilah tidak adanya penahanan tersebut. Tentu kita sudah tahu, agar istrinya tidak ditahan ia akan membutuhkan biaya yang besar (dengan berbagai justifikasi tentunya), yang jumlahnya tidak perlu saya sebutkan dalam tulisan ini.
Inti cerita ini adalah beginilah realita proses penegakan hukum (law enforcement process) di Indonesia, di tengah kompleksitas pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah. Selanjutnya, mari kita tengok gagasan sederhana penanganannya.
Proses Penegakan Hukum yang Korup
Kasus yang saya uraikan di epilog telah menjadi momok bagi banyak pegawai dan pejabat instansi publik, terutama sekali mereka yang terlibat langsung dalam urusan pengadaan barang/jasa. Karena begitu seringnya terjadi, malah hal ini sudah dianggap biasa saja. Tampaknya, belum ada upaya serius yang cukup berhasil untuk mengatasi persoalan yang sudah menjadi parasit ini.
Tidak aneh jika begitu banyak pegawai dan pejabat publik yang cenderung menghindar dan tidak mau lagi berurusan dengan pengadaan barang/jasa di instansinya. Mencari siapa yang bersedia menjadi penanggung-jawab pengadaan barang/jasa dan kompeten di sebuah instansi pemerintah, karenanya, bukanlah pekerjaan mudah.
Padahal, belanja dari sektor publik melalui pengadaan barang/jasa itu menjadi sumber utama untuk menggerakkan perekonomian di Indonesia, seperti banyak di negara lainnya. Untuk mendorong perekonomian negara dan warganya, kita membutuhkan profesional birokrasi yang mau melakukan belanja sektor publik melalui pengadaan barang/jasa tersebut.
Memang, kita harus akui, pengadaan barang/jasa ini pun masih sering dikorupsi. Sebagai contoh, lihat kasus anyar pengadaan eKTP. Repotnya, banyak aparat penegak hukum (APH) yang mestinya menjalankan amanah sebagai orang yang dipercaya (trustee) menegakkan hukum malah memanfaatkan dugaan korupsi pengadaan barang/jasa untuk kepentingan dirinya (self-interest). Mereka malah menyalahgunakan kewenangan legitimasi (legitimate power) yang dipegangnya.
Saya rasa hal yang saya uraikan ini bukan rahasia umum lagi dan kita semua sudah sangat paham. Tentu kita sudah sering mendengar begitu banyak cerita buram dari rekan kita, tetangga kita, dan saudara kita ketika berurusan dengan APH dalam proses penegakan hukum, terutama sekali mereka yang terlibat dalam dugaan kasus korupsi pengadaan barang/jasa.
Karenanya, jika masih ada peluang, masyarakat cenderung akan menghindarkan diri dari berurusan dengan proses penegakan hukum di Indonesia. Mereka bahkan berdoa dan bersedia mengeluarkan biaya besar agar dijauhkan dalam urusan proses penegakan hukum, baik sebagai saksi, apalagi jika mesti sampai menjadi tersangka. Jika telah menjadi tersangka, seseorang akan berusaha agar proses penegakan hukum atas dirinya bisa berhenti dan statusnya tidak berubah menjadi terdakwa.
Jika dikalkulasi, biaya atas “bisnis” illegal atau kejahatan kriminal pasar gelap (black market) untuk menghentikan proses penegakan hukum ini tentu sangatlah besar di Indonesia. Bahkan, mungkin bisa lebih besar dari nilai pengadaan barang/jasa yang dikorupsi.
Istilah awam yang berkembang, seseorang bisa tinggal “kolor” jika berurusan dengan proses penegakan hukum di Indonesia. Pengacara yang mestinya berperan memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan baik, malah kadang cenderung menjadi “perantara” (broker) untuk berhubungan dengan APH dalam bisnis illegal tersebut.
APH pun sering menjadikan tekanan publik (seperti LSM) sebagai justifikasi untuk memproses sebuah aduan pengadaan barang/jasa yang sebenarnya tidak layak diproses. APH sepertinya sering tidak peduli terhadap kelayakan pengaduan tersebut. Yang terpenting bagi mereka adalah keuntungan apa yang bisa diperoleh dari bisnis illegal proses penegakan hukum tersebut.
Ketika menjelang Pilkada atau setelah Pilkada, di sinilah kita melihat APH “panen” dalam bisnis illegal tersebut karena menerima begitu banyaknya pengaduan dari para pihak. Karena lemahnya dasar pengaduan tersebut, pegawai atau pejabat publik sering sekedar menjadi “bancakan” APH.
Di sisi lain, atas pengaduan yang sudah cukup bukti, APH masih saja ada yang membuat proses penegakan hukum berlarut-larut. Sebab, semakin berlarut-larut, maka akan semakin membuat para pihak yang terlibat semakin “tersiksa”. Mereka pun kadang mesti mengeluarkan biaya besar sekedar agar proses penegakan hukum bisa berjalan fair, efisien, dan cepat.
Melihat Fokus Kerja KPK
Di tengah proses penegakan hukum yang korup di Indonesia, sebenarnya kita masih mempunyai harapan dari keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, peran KPK dalam menangani proses penegakan hukum yang korup masih kurang bergigi. Karenanya, tidak aneh jika seorang anggota DPR pernah mengeluh tentang kinerja KPK. Ia membandingkannya dengan kinerja Independent Comission Against Corruption (ICAC) di Hongkong.
Ia menyatakan bahwa KPK tidak memiliki fokus kerja yang jelas. Ini dapat dimaklumi karena KPK sepertinya masih mengikuti gendang irama tekanan publik. Hal ini berbeda sekali dengan ICAC di Hongkong. Mereka mempunyai fokus yang jelas, yaitu pemberantasan prilaku korup para APH, terutama sekali polisi.
Walaupun berbeda dengan ide dibentuknya ICAC, saya rasa KPK harus mau memfokuskan kembali perannya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu fokus atas proses penegakan hukum yang korup, terutama sekali pada proses penegakan hukum dugaan korupsi pengadaan barang/jasa.
Harus diakui, kita memiliki begitu banyak persoalan korupsi di Indonesia. Namun, dengan keterbatasan sumber daya KPK, kembali fokus mengatasi proses penegakan hukum yang korup penting sekali.
Memang, tidak ada salahnya KPK untuk terlibat langsung dalam pemberantasan korupsi yang bersifat umum di Indonesia. Akan tetapi, KPK sebaiknya fokus pada kasus yang melibatkan pejabat negara (seperti presiden, menteri, kepala daerah, dan anggota parlemen) dan APH saja.
Dengan sumber daya terbatas, tidaklah mungkin KPK bisa menyelesaikan semua persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat sekelas pemimpin proyek sebaiknya diserahkan ke APH lain.
KPK cukup melakukan supervisi terhadap proses yang dilakukan APH tersebut. Jika dalam proses tersebut kemudian ditemukan adanya keterlibatan pejabat negara atau APH, barulah KPK perlu mengambil-alih proses penegakan hukumnya.
Unit Khusus Pemberantasan Penegak Hukum yang Korup
KPK perlu fokus memberantas proses penegakan hukum yang korup dengan membentuk unit khusus (special task force). Hal ini untuk memastikan agar proses penegakan hukum seperti yang dihadapi oleh istri teman saya tersebut dapat berjalan secara fair, efisien, dan cepat.
Yang saya maksud pembentukan unit khusus ini tentu tidak sekedar dibuatnya menu pengaduan di website KPK yang sudah ada saat ini. Yang saya maksud adalah adanya semacam unit khusus yang menangani kejahatan APH, seperti halnya unit yang menangani terorisme. Jika perlu, KPK melibatkan para perwira militer dalam unit khusus tersebut, dan tentu juga melibatkan kantor kepresidenan. KPK juga perlu berafiliasi dengan badan internasional untuk menguatkan unit khusus ini.
Sebab, saat ini Indonesia sudah dalam darurat proses penegakan hukum yang korup. Sementara itu, mengatasi proses penegakan hukum yang korup (seperti pemerasan oleh APH) memerlukan pendekatan tersendiri. APH sangat paham bagaimana agar tidak tertangkap basah ketika melakukan deal. Karenanya, sekedar menyadap alat komunikasi APH sebagaimana sering dilakukan KPK sudah usang.
APH sudah semakin mengerti bagaimana caranya agar alat komunikasinya tidak dapat disadap ketika melakukan pemerasan. Ini pun tentu sudah cukup dipahami oleh KPK.
Strategi Unit Khusus KPK
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang mesti dilakukan oleh unit khusus KPK tersebut? Gagasan sederhananya adalah mencari cara apa yang mesti dilakukan sehingga dapat menciptakan proses penegakan hukum menjadi fair, efisien, dan cepat.
Cara sederhananya adalah unit khusus ini membuat jalur komunikasi dua arah dengan para pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Sebab, menunggu saja pengaduan dari para pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum tidaklah cukup. Mereka yang sedang menjadi “pesakitan” tentu sedang berada dalam tekanan dan karenanya cenderung akan bermain aman dan menghindari jalur pengaduan satu arah yang ada di website KPK.
Dengan jalur komunikasi dua arah, unit khusus KPK ini mesti aktif mengumpulkan data langsung ke lapangan, yaitu berinteraksi dengan pihak-pihak yang sedang terlibat dalam proses penegakan hukum, baik para saksi, tersangka, atau terdakwa yang terlibat dalam dugaan korupsi pengadaan barang/jasa yang diproses oleh APH. Unit khusus ini juga bisa berinteraksi dengan keluarga, saudara, atau rekan para pihak yang terlibat.
Unit khusus KPK ini perlu menanyakan kepada mereka yang dijadikan saksi, tersangka, atau terdakwa dalam dugaan korupsi pengadaan barang/jasa apakah mereka telah menjalani proses penegakan hukum yang dirasakan fair, efisien, dan cepat? Apakah hak-haknya sebagai tersangka telah dipenuhi oleh APH? Apakah ada ancaman penahanan dari APH yang dirasa tanpa didukung dasar yang kuat?
Setiap hasil pendataan lapangan mesti didalami oleh unit khusus KPK. Berbeda dengan kebiasaan, gagasan sederhana ini menyarankan agar dari hasil pendalaman data lapangan itu unit khusus KPK mau membangun dialog langsung dan jika perlu memberikan peringatan (alert) ke APH yang diadukan.
Artinya, unit khusus KPK sudah sejak dini turut aktif berperan menyadarkan APH agar mau menjalankan proses penegakan hukum secara fair, efisien, dan cepat dan tidak mengancam pihak yang terlibat. Selanjutnya, KPK dapat melakukan surveillance atas APH yang diadukan tadi, terutama ketika di peradilan dan kesehariannya, yang saya tahu sudah dilakukan saat ini.
Kalau KPK bisa menjalankan gagasan sederhana ini, tentu akan terasa sekali peran KPK dalam pemberantasan korupsi yang sudah begitu masifnya di Indonesia, yaitu dalam memberantas proses penegakan hukum yang korup, terutama atas dugaan kasus korupsi pengadaan barang/jasa. Keterlibatan KPK akan menghindari upaya APH “menggantung” nasib para pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum.
Dengan adanya unit khusus ini, KPK dapat berperan sebagai alert system dalam proses penegakan hukum, yaitu melakukan tindakan secara soft dan hard ke para APH. Karenanya, berbeda dengan pendekatan penyadapan selama ini, KPK tidak bisa lagi disalahkan sekedar seperti polisi lalu-lintas yang mengendap di balik pohon dalam pelanggaran lalu-lintas yang cenderung seperti menjebak.
Para pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, seperti tersangka, pun mestinya dibina oleh unit khusus KPK sehingga mereka mau mengikuti seluruh proses penegakan hukum, termasuk sampai dengan persidangan di peradilan jika diperlukan. KPK perlu memberikan penyadaran ke para pihak agar tidak mau mengeluarkan biaya penyuapan ke APH. Jika perlu, sedikit peringatan diberikan ke mereka bahwa upayanya memberikan penyuapan ke APH bisa mengakibatkan sanksi hukum yang lebih berat.
Intinya dari gagasan sederhana ini adalah bagaimana agar para pihak secara sadar mau mengikuti proses penegakan hukum di Indonesia karena proses penegakan hukum telah dijaga bisa berjalan secara fair, efisien, dan cepat.
*) Sebuah perenungan untuk negeri ini pada pagi yang cerah dari mantan pemegang sertifikasi ahli pengadaan. Tulisan ini bersifat independen dan tidak terafiliasi pada pihak mana pun.
Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis.
Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI).
Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”.
Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia).
Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management.
Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.
0 Comments