
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Tahun 2025 memang telah berlalu beberapa waktu yang lalu, namun temanya menjadi pemantik semangat perbaikan yang tak lekang oleh waktu.
Sebuah tema besar dan mulia mewarnai peringatan Hardiknas 2025: “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.”
Di balik pesan ini, tersimpan harapan agar seluruh elemen bangsa—negara, masyarakat, dunia usaha, lembaga pendidikan, hingga media—bersatu padu mendorong pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas.
Namun di tengah ajakan partisipasi kolektif ini,
muncul pertanyaan yang tidak bisa dihindari: apakah partisipasi warga selama ini tumbuh dari semangat kolaborasi, atau dari kekosongan tanggung jawab negara?
Tema Hardiknas tahun ini mengandung kata kunci penting: “semesta”, “bermutu”, dan “untuk semua”. Inklusivitas menjadi fondasi utama dalam narasi tersebut. Namun jika kita menengok praktik pendidikan inklusif di berbagai daerah, justru tampak adanya ketimpangan mendalam.
Banyak inisiatif baik hadir dari bawah—dari masyarakat, komunitas lokal, bahkan perseorangan—yang bergerak mengisi ruang kosong karena negara belum benar-benar menjalankan peran sentralnya dalam memastikan keadilan akses pendidikan.
Salah satu cermin dari persoalan ini adalah pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Secara legal, Indonesia sudah mengakui prinsip pendidikan inklusif, termasuk dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun, pelaksanaan di lapangan jauh dari harapan. Banyak anak dengan disabilitas atau kebutuhan khusus lainnya masih kesulitan mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan setara.
Di Desa Kembaran, Kebumen, lahir sebuah inisiatif akar rumput bernama Rumah Inklusif. Komunitas ini dibangun oleh warga untuk menampung anak-anak dengan kebutuhan khusus agar tetap bisa belajar bersama teman-teman seusianya.
Di sana, pendidikan tidak hanya berlangsung dalam konteks formal, tetapi juga sebagai upaya pemberdayaan dan pembebasan. Namun, mereka menghadapi banyak keterbatasan: ruang belajar sederhana, minimnya fasilitas ramah disabilitas, serta kurangnya tenaga pendidik dan pendamping profesional. Dukungan dari pemerintah hampir tidak terlihat (Mustolih, 2019).
Inisiatif seperti Rumah Inklusif sangat layak diapresiasi. Namun, jika inisiatif semacam ini muncul karena negara gagal menyediakan layanan dasar bagi kelompok rentan, maka kita sedang menghadapi masalah struktural.
Negara seharusnya bukan sekadar mendorong atau menyemangati partisipasi masyarakat, melainkan secara aktif mengambil peran utama dalam memastikan inklusivitas itu terwujud melalui kebijakan, anggaran, dan infrastruktur yang konkret.
Pemerintah memang telah menyusun Rencana Induk Pendidikan Inklusif 2019–2024. Namun kenyataannya, banyak daerah belum memahami apalagi menjalankan rencana tersebut.
Tidak sedikit sekolah yang menolak menerima ABK dengan alasan tidak memiliki guru pendamping, tidak siap secara fasilitas, atau tidak tahu cara menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dengan kondisi seperti ini, pendidikan inklusif hanya menjadi jargon dalam dokumen kebijakan, bukan praktik nyata di ruang kelas.
Salah satu komponen penting dari pendidikan inklusif adalah kesiapan guru. Guru bukan hanya menjadi fasilitator pembelajaran, tetapi juga agen utama perubahan budaya sekolah.
Di SMP Muhammadiyah 2 Malang, misalnya, guru-guru menunjukkan peran luar biasa dalam membangun kepercayaan diri siswa inklusi. Mereka tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi teman, pendamping, bahkan motivator bagi siswa berkebutuhan khusus. Lingkungan belajar pun menjadi lebih ramah, terbuka, dan menghargai perbedaan (Azizah, 2019).
Sayangnya, keberhasilan seperti ini masih menjadi pengecualian. Tidak semua sekolah memiliki guru yang mendapatkan pelatihan tentang pendidikan inklusif.
Bahkan, sebagian besar tenaga pendidik belum pernah sekalipun mengikuti pelatihan untuk menangani siswa ABK. Di daerah-daerah terpencil, masalah ini diperparah dengan ketiadaan dukungan teknis, termasuk tidak tersedianya tenaga pendamping khusus (shadow teacher).
Masalah lain yang tak kalah mendasar adalah soal fasilitas. Pendidikan inklusif menuntut adaptasi lingkungan fisik sekolah: dari akses kursi roda, alat bantu belajar, hingga ruang-ruang khusus untuk terapi atau konseling.
Penelitian menunjukkan bahwa hingga kini belum ada standar nasional tentang fasilitas wajib di sekolah inklusi. Akibatnya, sekolah sering kali meraba-raba atau bahkan mengabaikan kebutuhan ini. Mereka mengandalkan kreativitas sendiri atau bantuan masyarakat untuk menyesuaikan kondisi ruang belajar (Utami & Putra, 2020).
Ketidakhadiran negara juga tercermin dalam minimnya data. Banyak daerah bahkan tidak memiliki data akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus di wilayahnya.
Tanpa data yang valid, tidak mungkin menyusun perencanaan program,
anggaran, atau intervensi kebijakan yang tepat sasaran. Hal ini menyebabkan anak-anak difabel di banyak tempat menjadi kelompok yang tak terlihat dalam sistem pendidikan formal
—invisible children.
Padahal, partisipasi aktif masyarakat semestinya menjadi pelengkap peran negara, bukan pengganti. Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang adil dan setara.
Ketika negara terlalu sering “mendelegasikan” urusan pendidikan inklusif kepada masyarakat, pesan yang sampai adalah pengunduran diri dari tanggung jawab publik.
Hardiknas 2025 seharusnya menjadi lebih dari sekadar seremoni tahunan. Ini adalah saat refleksi nasional untuk meninjau kembali keseriusan kita dalam membangun sistem pendidikan yang benar-benar inklusif. Sebab tanpa evaluasi jujur dan koreksi menyeluruh, kita hanya akan terus mengulang janji-janji pendidikan yang tak pernah menyentuh realitas anak-anak yang paling rentan.
Dalam konteks ini, negara perlu melakukan beberapa langkah konkret.
- Pertama, memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam menerapkan pendidikan inklusif, baik melalui pelatihan, penyediaan modul teknis, maupun asistensi implementasi.
- Kedua, meningkatkan alokasi anggaran khusus untuk penyesuaian fasilitas sekolah agar lebih ramah terhadap ABK.
- Ketiga, memperbaiki sistem pendataan anak berkebutuhan khusus secara terintegrasi antarkementerian dan pemerintah daerah.
- Keempat, menstandarisasi pelatihan guru tentang pendidikan inklusif sebagai bagian dari program peningkatan kompetensi.
Lebih dari itu, perubahan paradigma pendidikan juga penting. Pendidikan inklusif bukan sekadar tentang menyatukan anak normal dan anak berkebutuhan khusus dalam satu ruang. Ia adalah upaya sistematis untuk menghormati keragaman kemampuan, latar belakang, dan gaya belajar.
Ia menolak diskriminasi dalam bentuk apa pun, dan menegaskan bahwa semua anak—tanpa kecuali—punya hak dan potensi untuk tumbuh dalam sistem yang mendukung.
Saat negara benar-benar hadir, masyarakat akan menjadi mitra, bukan beban. Inisiatif warga seperti Rumah Inklusif bisa menjadi model yang diduplikasi dan dikuatkan oleh negara, bukan sekadar dibiarkan berdiri sendiri. Kolaborasi akan berjalan kuat ketika negara menjadi fondasi, dan masyarakat menjadi jaring penopang.
Kini, momentum Hardiknas 2025 harus dijadikan cermin nasional. Bukan hanya untuk merayakan, tetapi juga untuk bertanya: sudahkah kita benar-benar hadir untuk semua anak Indonesia?
Jawabannya, sejauh ini, masih belum. Namun, masih ada waktu untuk memperbaiki.
0 Comments