Tahun 2023 yang sebentar lagi kita tapaki, adalah awal rangkaian tahun politik menuju kontestasi Pemilu Raya 2024. Tidak hanya tahun kompetisi bagi Partai Politik, pun bagi para kandidat calon Presiden serta ratusan calon Kepala Daerah akan saling bersaing menjadi sang Pemenang.
Reformasi ’98 secara nyata telah membuka pintu bagi seluruh anak bangsa untuk berpeluang menjadi sosok-sosok pemimpin pada apapun tingkatan yang diingini. Presiden RI yang ketujuh Joko Widodo setidaknya dapat menjadi contoh bahwa siapapun bisa berkesempatan menjadi pemimpin di negeri ini.
Jokowi yang dalam narasi latar belakangnya digambarkan sebagai seorang yang bukan siapa-siapa, bukan yang berasal dari militer, dan bukan pula seorang tokoh politik namun terbukti mampu menapaki karier politik yang gemilang.
Dimulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden RI selama 2 periode. Bila ditarik jauh ke belakang, katakanlah di masa Orde Baru, tentu hal seperti itu mustahil rasanya bisa terjadi.
Peluang Terbuka tidak Linier dengan Kualitas
Di sebuah masa di mana peluang bagi siapapun mewujudkan mimpinya untuk menjadi pemimpin kini begitu terbuka luas, rupanya tidak selalu linier dengan kualitas para pemimpin itu sendiri.
Tak jarang kita mendengar bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Tentu ini sebuah ironi yang memprihatinkan. Dalam lingkup yang lebih kecil, tidak sedikit daerah-daerah yang mengalami kondisi serupa.
Ketidakmampuan pemimpin menjadi role model atau standar norma dan perilaku bagi masyarakat atau anggotanya.
Kemudian disusul dengan begitu banyaknya pemimpin atau pejabat di pusat dan daerah yang tersangkut kasus-kasus korupsi kerap menjadi fenomena objektif yang melatarbelakangi simpulan tersebut.
Ada pula yang menuding, iklim dan realitas perpolitikan bangsa dan negara ini tak luput bahkan mungkin menjadi faktor dominan yang menciptakan kondisi tersebut.
Birokrasi sebagai alat atau instrumen penyelenggara pemerintahan, tentu tidak bisa lepas dari paparan realitas-realitas itu. Menjadi hal yang sah atau wajar kiranya, bila akhirnya saya katakan bahwa korupsi merupakan patologi yang inheren dalam birokrasi.
Birokrasi Krisis Kepemimpinan
Menurut data yang dirilis dalam laman KPK, selama periode mulai 2004 sampai dengan 3 Januari 2022 jumlah Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi tak kurang dari 183 orang yaitu Gubernur 22 orang dan Bupati/Walikota sebanyak 161 orang.
Sementara itu, pejabat eselon I/II/III sebanyak 297 orang untuk periode yang sama. Dalam tahun 2022 ini saja, 18 orang Bupati/ Walikota tersangkut kasus Tindak Pidana Korupsi. Dan untuk Pejabat Eselon I/II/III sebanyak 31 orang.
Miris tentunya ketika euforia demokrasi dan ambisi untuk menjadi seorang Kepala Daerah begitu tinggi, di sisi lain kasus korupsi yang melibatkan Kepala Daerah juga tetap tinggi.
Hal yang sama berlaku juga bagi para aparatur birokrasi. Jabatan eselon I/II/III tentu menjadi sebuah harapan yang wajar untuk digapai tiap pegawai.
Kemauan dan kemampuan untuk membangun kapasitas diri, baik kecakapan intelektual, pemahaman teknis tata kelola kepemerintahan, hingga pengetahuan dan ketrampilan yang memadai tentang tata kepemimpinan, tentunya harus pula disandarkan pada komitmen atas integritas, standar norma, moral, dan spiritualitas yang cukup.
Nilai-nilai itulah yang selayaknya dibangun dan dikembangkan para calon pemimpin. Bukan sekedar ‘Menjual Diri’ untuk menjadi seorang pejabat.
Joseph D. Franklin (2008) dalam bukunya ‘Building Leaders The West Point Way’, bisa menjadi salah satu alternatif literatur untuk memperkaya tacit knowledge seorang pemimpin.
Telaah yang cukup aplikatif, bersumber dari pengalaman bagaimana membentuk calon-calon pemimpin dalam kemiliteran angkatan darat Amerika, memberikan 10 prinsip dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi orientasi tugas, kehormatan, iman, keberanian, ketekunan, percaya diri, kemampuan untuk dapat didekati, kemampuan beradaptasi, kewelasasihan, dan visi.
Kurangnya Pelatihan Kepemimpinan
Menjadi sebuah tantangan tersendiri kiranya, ketika prinsip-prinsip dasar kepemimpinan yang dikenalkan Franklin (2008) tersebut dihadapkan dengan gerak peradaban saat ini yang bertolak pada sesuatu yang cepat atau instan.
Tentu tidak seluruh nilai atau prinsip dasar tersebut dapat dibentuk dalam waktu yang singkat, misalnya terkait iman dan kewelasasihan.
Dalam tata birokrasi, secara prosedural, pelatihan–pelatihan kepemimpinan yang harus diikuti tiap pegawai rasanya tidak bisa dikatakan kurang. Secara ketentuan, seorang yang akan atau telah duduk dalam tingkat jabatan tertentu, wajib mengikuti diklat kepemimpinan atau sertifikasi sesuai jenjangnya.
Baik jabatan struktural maupun fungsional, tentu mensyaratkan hal itu. Namun pada kenyataannya, realitas yang tampak tidaklah menggambarkan buah keberhasilan yakni melimpahnya sosok–sosok pemimpin.
Meski masih sumir, dapat diduga bahwa diklat–diklat kepemimpinan atau sertifikasi tersebut lebih berfokus pada pemenuhan pengetahuan dan keterampilan teknikal serta manajerial.
Bilapun dasar–dasar kepemimpinan juga dikenalkan, namun kiranya berhenti hanya di titik pengetahuan, belum atau tidak sampai ke pemahaman dan lebih dalam lagi untuk diinternalisasi pasca diklat diselesaikan.
Merujuk pada 10 prinsip dasar kepemimpinan yang dikenalkan Franklin (2008), dikatakan bahwa visi adalah prinsip kepemimpinan yang paling penting dan menantang.
Visi menuntut seorang pemimpin untuk terus menerus menciptakan lingkungan di mana para bawahan berfungsi pada tingkatan yang tinggi, dan melaksanakan tugas yang dipersyaratkan dalam organisasi.
Selain itu, secara berkesinambungan bersiap untuk berbagai perubahan yang niscaya terjadi. Dapat dikatakan pula, visi merupakan karakteristik yang paling mudah diamati untuk menilai kualitas seorang pejabat (pemimpin).
Karakter itu pula yang akan membedakan seorang pejabat, apakah dia sosok pemimpin ataukah sesosok atasan. Dalam istilah lain yang saya gunakan, seorang pemimpin adalah sosok yang ‘Visionable’. Sedangkan atasan, akan lebih tampak sebagai sosok yang ‘Fashionable’.
Pemimpin yang Visionable atau Fashionable?
Seorang ‘Visionable’ memiliki horizon pemikiran yang luas dan jauh ke depan. Tak jarang mampu menciptakan hal baru yang melampaui zamannya. Kemampuannya untuk melihat masa depan, tidak hanya akan memudahkan bagaimana menanggapi perubahan yang terjadi (adaptif).
Seorang ‘Visionable’ memungkinkan untuk menghadirkan dan memandu arah perubahan itu sendiri. Berbeda halnya dengan seorang ‘Fashionable’.
Penting dipahami bahwa istilah yang saya pakai ini tidak sepenuhnya dapat diartikan secara denotatif sebagai modernitas atau mengikuti atau sesuai mode yang terbaru (makna adjektiva).
‘Fashionable’ merupakan karakter yang lebih mengutamakan pada sesuatu yang tampak. Seorang ‘Fashionable’ akan lebih berpikir pada hal–hal yang formal normatif.
Secara relatif, kecenderungannya untuk mengikuti perubahan hanya tertuju pada sesuatu yang terlihat, bukan pada substansi gerak perubahan itu sendiri.
Dalam hal melihat kedudukan (jabatan), seorang ‘Visionable’ memposisikan jabatan sebagai alat merealisasi ide, namun bagi seorang ‘Fashionable’ akan melihatnya sebagai buah capaian (goal).
Lebih dari itu, dalam menggerakkan organisasi, seorang ‘Visionable’ dituntun oleh serangkaian gagasan. Sedangkan seorang ‘Fashionable’ lebih dipandu oleh kekuasaan (power).
Kemudian dalam hal pengambilan keputusan, seorang ‘Visionable’ akan lebih melihat pada hal-hal yang substantif-strategis, sedangkan ‘Fashionable’ lebih menggunakan pendekatan normatif-pragmatis.
Pada gilirannya, seorang ‘Visionable’ ataupun seorang ‘Fashionable’ akan menampilkan warna yang berbeda dalam hal pencapaian tujuan dan kultur organisasi, maupun perilaku dan paradigma anggota organisasi tersebut.
Penghujung
Krisis moneter ‘97/98 yang bermanifestasi menjadi krisis multidimensi menjadi titik tolak perjalanan bangsa ini memilih reformasi sebagai langkah yang harus ditempuh. Tentu sudah banyak persoalan-persoalan yang sedikit demi sedikit bisa diurai dan diselesaikan saat ini.
Di sisi lain, tak dapat dipungkiri pula masih ada persoalan-persoalan yang telah mengurat hingga kadang menghadirkan keputusasaan, apatisme hingga sikap-sikap pragmatis apriori.
Korupsi kiranya menjadi satu persoalan yang telah mendarah daging, yang entah kapan dan bagaimana mengakhirinya. Krisis kepemimpinan bangsa ini menjadi persoalan lain yang berkelindan dengan persoalan korupsi tersebut.
Dalam hal krisis kepemimpinan, harus diakui bahwa birokrasi kita lebih banyak hanya menghasilkan para atasan, bukan para pemimpin.
Di tengah peradaban instan dan praktis ini, fenomena bahwa lebih banyak para birokrat yang mengejar karier (jabatan) secara instan, menjadi fakta yang tak dapat disangkal. Pada akhirnya produk birokrasi adalah para pejabat yang ‘Fashionable’ bukan ‘Visionable’.
Memang benar bahwa semuanya akan kembali pada masing-masing pribadi menurut personality dan talenta yang dimiliki. Namun amat penting dicatat, bahwa siapapun yang berkehendak menjadi seorang pemimpin, membangun kapasitas diri, memperkaya tacit knowledge, serta menegakkan integritas, standar norma, etika, moral dan spiritualitas akan menunjukkan anda sebagai seorang ‘Visionable’, dan bukan hanya seorang ‘Fashionable’.
0 Comments