Pemilu Terpisah: Harapan Baru atau Beban Tambahan?

by | Sep 1, 2025 | Politik | 0 comments

Penyelenggaraan pemilu serentak yang dimulai sejak 2019 dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, serta memperkuat sistem presidensial. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 mendorong model pemilu serentak untuk memastikan hubungan yang seimbang antara eksekutif dan legislatif. 

Namun dalam praktiknya,
pemilu serentak menimbulkan sejumlah tantangan. Beban kerja penyelenggara pemilu meningkat tajam, dibuktikan dengan banyaknya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia akibat kelelahan.

Selain itu, pemilih juga menghadapi kompleksitas dalam memilih lima jenis surat suara sekaligus, yang dapat berdampak pada kualitas pemilihan.

Melihat banyaknya permasalahan yang timbul akibat penyelenggaraan pemilu serentak maka  Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilakukan secara serentak. Pemilu nasional akan difokuskan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD. 

Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pada waktu berbeda. 

Pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu di tingkat daerah, yang dimulai pada tahun 2029, dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu.

  • Dengan pemisahan ini, beban teknis penyelenggara dapat dikurangi. 
  • Logistik, distribusi surat suara, pelatihan petugas, dan pengawasan dapat difokuskan lebih baik.
  • Selain itu dapat meningkatkan kualitas partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi.
  • Lebih jauh, pemilu terpisah dapat memperkuat akuntabilitas pemerintah daerah. Isu-isu lokal dapat lebih dominan dalam kontestasi daerah oleh para calon kepala daerah dan legislatif lokal. 
  • Dan yang paling penting adalah beban kerja para petugas harus lebih manusiawi dan profesional agar mengurangi risiko kematian petugas Pemilu seperti yang pernah terjadi saat pemilu sebelumnya.

Publik menyambut baik putusan MK ini, namun ada juga yang pesimis terhadap putusan ini. Sebagian yang menentang pemisahan pemilu menganggap tidak efektif dan efisien. Dengan melaksanakan dua kali pemilu dalam rentang waktu berdekatan berarti menggandakan alokasi anggaran. 

Pemerintah harus menyediakan logistik, pelatihan, pengamanan, dan lainnya dua kali lipat. Dalam situasi fiskal yang terbatas, kebijakan ini berpotensi membebani anggaran negara secara signifikan. Lebih lanjut Pemisahan pemilu akan memperpanjang siklus politik dan meningkatkan potensi polarisasi sosial. 

Masyarakat akan terus berada dalam suasana kampanye dan kompetisi politik, yang bisa memperlemah stabilitas sosial dan ekonomi. Dampak selanjutnya, adalah risiko menurunnya partisipasi pemilih akibat kejenuhan dalam memilih dua kali pemilu dalam waktu yang tidak terlalu jauh.

Pandangan yang Mendukung Pemisahan Pemilu

Kelompok masyarakat yang mendukung pemisahan jadwal pemilu meyakini bahwa langkah ini akan meningkatkan mutu demokrasi di tingkat lokal.

Dengan fokus yang terpisah, pemilih dan media akan lebih mudah mencermati isu-isu lokal secara mendalam saat pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD berlangsung, tanpa terganggu euforia pemilu nasional.

Dari sisi teknis, beban penyelenggara juga dinilai akan jauh berkurang. Pengalaman Pemilu 2019 menunjukkan betapa rumit dan melelahkannya proses rekapitulasi suara ketika semua jenis pemilihan digelar serentak. Dengan memisahkan waktu pelaksanaan, proses teknis bisa lebih efisien dan tertangani secara lebih manusiawi.

Selain itu, pemisahan pemilu juga dianggap mampu
meningkatkan kualitas pendidikan politik. Masyarakat akan lebih mudah memahami siapa calon yang mereka pilih dan dalam konteks pemilihan seperti apa.

Isu-isu nasional seperti kebijakan makro dan ideologi partai bisa lebih fokus dibahas saat pemilu pusat, sementara isu lokal dan kebutuhan masyarakat daerah dapat menjadi pusat perhatian pada pemilu daerah.

Terakhir, pemisahan ini diyakini mampu meredam polarisasi politik yang terlalu dini dan berkepanjangan. Dengan tidak menumpuk semua kontestasi dalam satu waktu, ketegangan politik dapat terdistribusi dan tidak terlalu intens dalam satu momen, sehingga dinamika demokrasi berlangsung lebih sehat dan proporsional.

Pandangan yang Menolak Pemisahan Pemilu

Sebaliknya, pihak yang menentang pemisahan pemilu menyoroti potensi pemborosan anggaran sebagai dampak utama. Menyelenggarakan dua pemilu besar dalam lima tahun berarti pemerintah harus menggandakan belanja untuk logistik, honor penyelenggara, pengamanan, serta kampanye politik, yang tentu berdampak besar pada keuangan negara.

Kekhawatiran lain adalah kemungkinan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Karena pemilu daerah dan nasional dilaksanakan secara terpisah, antusiasme pemilih terutama terhadap pemilu lokal dikhawatirkan menurun. Hal ini bisa mendorong tumbuhnya sikap apatis di kalangan masyarakat terhadap proses politik.

Di sisi sosial, pelaksanaan dua pemilu dalam periode yang berdekatan juga dikhawatirkan akan memperpanjang suasana politik yang tegang dan kompetitif. Kampanye yang terus-menerus bisa memperkuat konflik horizontal, memperbesar ruang penyebaran hoaks, serta menimbulkan kejenuhan publik terhadap proses demokrasi.

Tak kalah penting, pemisahan ini juga dianggap bisa meningkatkan praktik politik transaksional, terutama di daerah. Dengan perhatian publik dan nasional yang terbagi, pemilu lokal berpotensi menjadi ajang pragmatisme kekuasaan, di mana etika dan integritas kandidat sering kali dikesampingkan demi kepentingan politik jangka pendek.

Desain Institusional yang Adaptif

Pemisahan pemilu tidak harus berarti pelaksanaan dua pemilu besar dalam waktu yang sangat berdekatan. Agar tidak membebani negara secara anggaran dan logistik, penjadwalan pemilu dapat disusun dengan pola distribusi waktu yang lebih fleksibel. 

Misalnya Pemilu Nasional (Presiden, DPR, DPD) dilaksanakan pada tahun pertama dari siklus lima tahunan dan Pemilu Daerah (DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pilkada) dilaksanakan dua tahun kemudian secara bertahap per wilayah (klaster provinsi atau regionalisasi).

Selanjutnya, yaitu penguatan kapasitas dan profesionalisme penyelenggara pemilu. Desain adaptif menuntut penguatan kelembagaan KPU dan Bawaslu, baik di tingkat pusat maupun daerah, agar dapat bekerja dengan beban kerja yang terdistribusi tapi terus-menerus. 

Kebijakan yang dapat dilakukan seperti rekrutmen dan pelatihan petugas adhoc (KPPS, PPK) dilakukan secara berjenjang dan permanen (tidak ad-hoc sepenuhnya).

Kemudian digitalisasi tahapan pemilu dan otomatisasi logistik untuk efisiensi dan akurasi. Selain itu juga dapat dilakukan penambahan anggaran tetap tahunan untuk pemilu agar tidak mengandalkan anggaran besar secara sekaligus.

Inovasi Lokal dan Prinsip Demokrasi Nasional

Desentralisasi pengelolaan pemilu daerah yang memisahan pemilu memberi peluang untuk meningkatkan otonomi penyelenggaraan pemilu daerah dengan tetap menjaga standar nasional. Dengan supervisi dari pusat, KPU provinsi/kabupaten dapat mengelola langsung Pilkada dan pemilihan DPRD.

Desain ini mendorong inovasi lokal dalam tata kelola pemilu tanpa kehilangan keseragaman prinsip demokrasi nasional.

Salah satu tantangan dari pemisahan pemilu adalah ketidaksinkronan masa jabatan antara eksekutif dan legislatif pusat dan daerah. Contohnya Presiden dan DPR/DPD tetap menjabat selama 5 tahun penuh. 

Kepala daerah dan DPRD daerah juga menjabat selama 5 tahun, namun pemilihannya disesuaikan agar tidak jatuh bersamaan dengan pemilu pusat.

Untuk menghindari kekosongan kekuasaan akibat perbedaan jadwal,
regulasi soal caretaker atau penjabat kepala daerah diperjelas dan diperketat agar tidak digunakan untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, perlu adanya desain yang adaptif dalam sinkronisasi masa jabatan dengan tujuan efisiensi pemerintahan.

Kemudian salah satu kekhawatiran publik adalah pemborosan anggaran. Dengan desain kelembagaan yang memanfaatkan anggaran multi-tahun, pembiayaan pemilu bisa dikelola lebih stabil. 

Misalnya APBN/APBD mengalokasikan anggaran tetap tahunan untuk pemilu (misalnya 0,2–0,3% dari total belanja) sebagai tabungan pemilu yang akan datang. Pemilu daerah dapat sebagian dibiayai oleh APBD dengan pola matching fund dari pusat, sehingga ada kontrol penggunaan dan komitmen politik lokal.

Hal yang penting lainnya adalah mereformasi sistem kepartaian dan rekrutmen politik. Pemilu yang terpisah juga membuka peluang untuk mengatur ulang sistem kepartaian agar tidak hanya kuat di pusat, tapi juga representatif di daerah.

Salah satu caranya dengan menyeleksi calon kepala daerah dan calon DPRD melalui proses yang transparan, berbasis kaderisasi, bukan hanya popularitas. 

Diberlakukan threshold yang berbeda untuk pemilu nasional dan daerah agar partai tidak hanya pragmatis dalam pencalonan. Pendanaan partai di tingkat daerah pun dapat diperkuat untuk mendorong partisipasi politik berbasis program.

Antara Momentum Perbaikan atau Beban Negara

Desain institusional yang adaptif dalam konteks pemisahan pemilu harus mampu menjawab tantangan besar: bagaimana menjaga efisiensi, meningkatkan kualitas demokrasi, dan tetap menjamin partisipasi rakyat. 

Pemisahan pemilu bukan sekadar perubahan jadwal, tetapi sebuah restrukturisasi kelembagaan dan politik yang menuntut keseriusan desain, pengawasan, dan reformasi sistemik.

Jika dirancang dengan baik, pemisahan ini bisa menjadi momentum untuk memperdalam demokrasi lokal, memperkuat representasi politik yang lebih otentik, dan mengurangi beban teknis serta psikologis pemilu serentak. 

Namun jika dilakukan setengah hati, tanpa desain institusional yang adaptif, pemisahan justru bisa menjadi beban baru bagi negara dan demokrasi itu sendiri.

0
0
Martunis ♥ Associate Writer

Martunis ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah Analis Kebijakan Ahli Pertama pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Kinerja Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post