Dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tingkat Nasional Pemilu Tahun 2024 pada 2 Juli 2023 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 204.807.222 pemilih dengan rincian 102.218.503 pemilih laki-laki dan 102.588.719 pemilih perempuan.
Berdasarkan generasi dan umur, Generasi Y (Milenial) dan Generasi Z (Gen-Z) mendominasi daftar pemilih tetap Pemilu 2024 dengan menguasai lebih dari separuh DPT atau sekitar 56% pemilih.
Cara Berpolitik yang Berbeda
Gen-Z disebut sebagai pilar dari generasi emas pada 2045, karena sensus penduduk tahun 2020 mencatat dominasi mereka dalam populasi Indonesia. Penduduk Gen-Z lahir pada kurun 1997-2012 dengan jumlah 75,49 juta jiwa atau 27,49 persen dari 270,2 juta jiwa total penduduk negara kita.
Dalam hal politik, dulu Generasi Z dinilai memiliki kecenderungan enggan terlibat, bahkan malah bersikap apatis. Namun, hal itu berbeda dengan kondisi kekinian. Belakangan dapat dilihat anak-anak muda mampu memengaruhi opini publik lewat ruang digital, termasuk dalam dunia politik dan kebijakan.
Perspektif yang berkembang di kalangan umum, Gen-Z Indonesia sering dianggap sebagai remaja yang lugu terhadap situasi dinamika politik. Padahal, Gen Z memiliki cara berpolitik yang sangat berbeda dari gaya politik yang dianut oleh kakek-nenek bahkan orang tua mereka sendiri.
Untuk membangun kesadaran politik, Gen Z hanya perlu buka Instagram, nonton Youtube, menggali di Google dan menunggu broadcast atau di invite ke grup Whatsapp dari nomor yang tidak dikenal.
Tidak seperti generasi sebelumnya, yang pernah merasakan bersusah payah membeli koran, mencari informasi di berita televisi, menunggu sosialisasi politik dari pemerintah atau partai politik. Nyatanya sekarang, teknologi informasi membuat politik semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari para Gen Z.
Gen-Z terbiasa dengan diskursus politik kesetaraan, keadilan, kebebasan, keberagaman dan kosmopolitanisme. Hal tersebut mereka peroleh dari komedi, komik, film, lagu, meme, infografik dan produk kebudayaan popular lainnya, yang secara langsung maupun tidak langsung telah membentuk pemahaman mereka terhadap politik.
Modifikasi Ideologi Politik
Perhatian politik Gen-Z tidak seperti pendahulu mereka yang senang bicara tentang perdebatan ideologi-ideologi besar dunia. Gen-Z di Indonesia punya cara sendiri yang unik, cair dan kreatif dalam memodifikasi banyak hal, termasuk ideologi politik.
Sebagaimana mereka tidak suka mempertentangkan antara kapitalisme dan sosialisme, atau islamisme dengan nasionalisme, atau yang lainnya. Karena bagi Gen-Z, segala yang bertentangan dapat dikompromikan, dimoderasi, dikelola, dan dibawa santai.
Dapat dikatakan, rata-rata dari Gen-Z semakin tidak mengasosiasikan diri mereka terhadap gagasan ideologi politik tertentu jika dibandingkan dengan generasi baby boomers, Generasi X, dan Generasi Milenial yang masih mencoba melestarikannya.
Kekhawatiran generasi ini lebih kepada isu-isu yang aktual daripada yang faktual. Maka tidak aneh jika mereka lebih kritis terhadap gaya politisi ketimbang programnya, lebih peduli terhadap kebijakan yang viral dari pada yang esensial, lebih suka atraksi ketimbang sosialisasi.
Dengan demikian, pamor partai politik dapat diprediksi semakin tergerus dari tahun ke tahun jika tidak mencoba beradaptasi dengan perilaku dan selera politik kontemporer Gen-Z hari ini.
Mulai dari maraknya fake news, menguatnya politik identitas, pencitraan politik, saling sindir antarrelawan dan saling menjatuhkan antar politisi. Kesadaran politik Gen-Z tumbuh dalam dikotomi politik yang ekstrem namun menariknya malah membuat generasi ini lebih santai dan berimbang melihat perseteruan tersebut.
Politik yang Dibawa Santai
Gen-Z menjadikan politik sebagai ajang senang-senang (Having Fun) daripada pertempuran. Misalnya, terlihat dari munculnya sosok Aji Pratama, juara pertama lomba kritik DPR RI yang dapat menyampaikan kritik dengan menghibur.
Aji merupakan cerminan dari Gen-Z yang bersedia berpolitik dengan santai dengan membuat Fahri Hamzah hingga Hasto Kristiyanto tertawa terpingkal-pingkal bersamaan.
Dalam politik, Generasi Z telah memilih memperjuangkan masalah seperti hak asasi manusia, lingkungan, dan isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Mereka juga menggunakan media sosial dan platform daring lainnya dalam memperjuangkan pendapat mereka dan memengaruhi opini publik yang berkembang.
Sedikit mundur ke pemilu 5 tahun yang lalu, atlet pencak silat Hanifan Yudani Kusuma telah melakukan pendidikan politik kepada publik dengan selebrasinya memeluk Jokowi dan Prabowo saat meraih medali emas di ajang Asian Games 2018.
Momen itu membuat suasana politik menjadi sejuk seketika, dipelukan pemuda 19 tahun saat itu. Di media sosial, semua orang memuji Hanifan yang dianggap dapat mempersatukan Indonesia, karena semua orang sudah cukup jenuh dengan persaingan politik dalam Pemilihan Presiden kala lalu.
Mungkin Hanifan adalah wajah politik Gen-Z yang lebih mengedepankan rekreasi daripada konfrontasi, mengutamakan persahabatan ketimbang perdebatan, dengan menjalani politik yang santai sejak dalam pikiran dan pergaulan.
Kita tunggu dan nantikan kiprah Hanifan-Hanifan yang lain. Itulah gaya Politik Gen-Z hari ini!!!
0 Comments