
Dalam tuntutan perkembangan pertahanan modern yang semakin kompleks dan dinamis, struktur militer dituntut untuk terus beradaptasi. Salah satu bentuk adaptasi tersebut adalah pembentukan komando – komando baru yang dinilai mampu merespons ancaman yang berkembang, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Namun, ketika langkah pembentukan komando baru ini muncul di tengah narasi efisiensi birokrasi dan pemangkasan anggaran negara, muncul pertanyaan kritis;
Apakah langkah tersebut benar-benar didasarkan pada kebutuhan strategis, ataukah terdapat godaan-godaan politis dan institusional yang menyertai?
Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menaruh perhatian serius pada efisiensi anggaran dan restrukturisasi birokrasi, termasuk di sektor pertahanan. Namun di saat yang sama, muncul wacana atau bahkan realisasi pembentukan komando militer baru, baik pada level pusat maupun regional.
Fenomena ini memunculkan paradoks: antara rasionalisasi anggaran dan pembesaran struktur militer. Tulisan ini mencoba mengurai dinamika tersebut, menimbang antara kepentingan strategis yang mendasari pembentukan komando baru, dengan kemungkinan adanya godaan-godaan kekuasaan atau kepentingan lain di baliknya.
Kebutuhan Strategis: Menjawab Ancaman Kontemporer
Pembentukan komando baru dalam organisasi militer bukanlah hal yang asing. Dalam banyak kasus, langkah ini didorong oleh kebutuhan nyata untuk menjawab dinamika ancaman yang berubah.
Perkembangan teknologi, transformasi medan perang, hingga ancaman non-tradisional seperti serangan siber dan disinformasi, menuntut struktur organisasi yang fleksibel dan adaptif.
Sebagai contoh, beberapa negara telah membentuk Cyber Command, Space Command, atau Special Operations Command secara khusus, untuk menangani tantangan yang tidak bisa lagi ditangani secara konvensional.
Dalam konteks Indonesia, pembentukan komando baru bisa jadi merupakan respons terhadap tantangan-tantangan yang bersifat geografis dan geopolitik – misalnya di wilayah-wilayah perbatasan yang rawan atau di kawasan yang memiliki nilai strategis tinggi seperti Papua, Natuna, atau kawasan maritim timur Indonesia.
Lebih jauh lagi, pembentukan komando baru dapat menjadi bagian dari upaya modernisasi militer dan implementasi doktrin pertahanan yang lebih terintegrasi.
Dalam sistem TNI, integrasi tiga matra (darat, laut, udara) masih terus dikembangkan, dan pembentukan komando gabungan bisa menjadi sarana memperkuat interoperabilitas tersebut. Dengan demikian, dari perspektif strategis, terdapat argumen yang sah bahwa struktur baru memang dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan negara.
Efisiensi dan Tantangan Kelembagaan
Namun, tidak bisa diabaikan bahwa pembentukan struktur baru pada dasarnya akan membawa implikasi pada anggaran, sumber daya manusia, dan kompleksitas birokrasi.
Di tengah wacana efisiensi yang digaungkan pemerintah – termasuk
pemangkasan anggaran Kementerian/Lembaga dan reformasi struktural – pembentukan komando baru dapat menimbulkan pertanyaan: apakah langkah ini sejalan dengan semangat
efisiensi atau justru kontradiktif?
Setiap komando baru membutuhkan struktur organisasi, markas, logistik, alutsista, dan tentu saja personel yang tidak sedikit. Ini berarti beban anggaran yang baru, di saat sektor pertahanan sendiri masih menghadapi tantangan dalam pemeliharaan alutsista yang ada, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan penguatan pertahanan dasar.
Selain itu, ada risiko bahwa pembentukan struktur baru justru akan memperumit koordinasi dan memperbesar tumpah tindih kewenangan.
Alih-alih menyederhanakan jalur komando dan mempercepat respons, bisa jadi yang terjadi adalah birokratisasi lebih lanjut dalam struktur militer. Oleh karena itu, efisiensi bukan hanya soal anggaran, tetapi juga tentang efektivitas struktural dan fungsional.
Godaan Politik dan Kepentingan Institusional
Di luar alasan strategis dan kebutuhan organisasi, pembentukan komando baru tidak jarang ditengarai sebagai produk dari godaan politik dan kepentingan institusional. Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan bahwa militer tidak sepenuhnya steril dari tarik menarik kepentingan politik, baik dalam institusi maupun eksternal.
Salah satu motif yang sering disebut adalah distribusi jabatan. Dalam struktur militer yang hirarkis dan memiliki jenjang karir terbatas, pembentukan unit atau komando baru sering kali menjadi “solusi” untuk menyediakan posisi bagi perwira tinggi yang akan memasuki masa pensiun atau membutuhkan promosi.
Ini menimbulkan kekhawatiran tentang “Inflasi Jabatan”, di mana posisi diciptakan bukan karena kebutuhan fungsi, melainkan karena dorongan kebutuhan personel.
Selain itu, pembentukan komando bisa juga menjadi alat politik. Ketika menjelang tahun-tahun politik atau transisi kekuasaan, militer sering menjadi aktor penting yang “dirangkul” oleh elite politik.
Dalam konteks ini, komando baru bisa menjadi bentuk pemberian konsensi atau sarana membangun kedekatan strategis antara penguasa sipil dan militer. Jika benar demikian, maka pembentukan komando lebih merepresentasikan godaan kekuasaan, bukan kebutuhan pertahanan.
Dampak Jangka Panjang terhadap Pertahanan Nasional
Adapun motif di balik pembentukan komando baru, langkah tersebut akan membawa implikasi jangka panjang terhadap pertahanan nasional. Jika langkah tersebut benar-benar dilandasi oleh pertimbangan strategis yang matang, maka hasilnya dapat memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi ancaman multidimensional.
Namun, jika keputusan ini diambil tanpa kajian strategis yang mendalam, dampaknya bisa kontraproduktif.
Alih-alih memperkuat sistem pertahanan, yang terjadi justru adalah pelebaran organisasi yang tidak efisien, pengulangan kesalahan struktural, serta pemborosan sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk peningkatan kemampuan tempur, pemeliharaan alutsista, atau pengembangan teknologi militer.
Lebih parah lagi, jika pembentukan komando menjadi alat politik, hal itu akan menodai profesionalisme militer dan merusak kepercayaan publik. Militer yang ideal adalah militer yang netral, profesional, dan bekerja berdasarkan perintah negara, bukan kepentingan kelompok elite tertentu.
Keseimbangan antara Kebutuhan dan Kepatutan
Pembentukan komando baru di tubuh militer harus diposisikan sebagai bagian dari transformasi pertahanan yang lebih luas, bukan sekadar respons sesaat atau akomodasi kepentingan. Dalam konteks Indonesia, di mana efisiensi anggaran dan tata kelola menjadi isu krusial, setiap pembesaran struktur mesti diuji secara kritis.
Diperlukan kajian strategis yang komprehensif, melibatkan aktor-aktor independen, akademisi pertahanan, dan pengawasan dari publik serta parlemen.
Proses pembentukan komando baru harus transparan, memiliki justifikasi strategis yang kuat, dan diawasi agar tidak disusupi oleh motif-motif politis atau kepentingan jangka pendek.
Dengan demikian, pembentukan komando baru bisa menjadi langkah maju dalam memperkuat pertahanan nasional – selama ia dijalankan dengan landasan yang benar dan tidak tergoda oleh hal-hal di luar kebutuhan strategis bangsa.
0 Comments