Pembentukan Klub Presiden: Sebuah Wacana di Tengah Rumitnya Relasi Para Presiden Kita

by Adif Rachmat Nugraha ◆ Active Writer | May 23, 2024 | Politik | 0 comments

Sepanjang 78 tahun Indonesia merdeka, dari 250-an juta penduduk Indonesia, hanya tujuh orang yang berhasil menduduki jabatan Presiden Republik Indonesia—delapan orang jika ditambahkan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI terpilih pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 lalu. 

Jika dibayangkan sebagai sebuah organisasi, delapan orang ini menjadi anggota super eksklusif dari perkumpulan yang bernama Klub Presiden. Mereka yang ingin menjadi anggotanya hanya perlu memenuhi satu kriteria: pernah atau sedang menjabat sebagai presiden. 

Klub Presiden di Amerika

Dalam tradisi politik Amerika Serikat, Klub Presiden (Presidential Club) lebih berbentuk ‘forum ngobrol’ dimana sitting President membangun komunikasi intensif dengan para mantan Presiden baik yang berasal dari Partai Demokrat maupun Partai Republik. 

Komunikasi dilakukan baik sekadar melalui panggilan telepon hingga melakukan pertemuan fisik, entah di Washington, D.C. ataupun beragam tempat lain, guna menanyakan pendapat, berkonsultasi, serta meminta masukan atas beragam hal. 

Tak hanya dalam pertemuan-pertemuan balik layar, para mantan Presiden AS juga dikenal kompak hadir dalam berbagai acara yang bersifat kenegaraan maupun non-formal. Seringkali, anggota klub melebar dengan menambahkan para mantan Wakil Presiden serta pasangan masing-masing.

Hal inilah yang sedang diupayakan Prabowo lewat gagasannya membangun Klub Presiden yang mampu memberikan masukan konstruktif bagi dirinya selaku Presiden kelak.

Sejarah Panjang

Namun jika melihat sejarah dan dinamika politik Indonesia, para presiden kita memiliki relasi yang unik nan rumit antara satu dengan yang lainnya: panas-dingin, sulit dibaca, dan seringkali bergerak di bawah radar penglihatan publik.

  • Pertama, sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan antara Soekarno dan Soeharto diwarnai kerumitan yang sulit dipahami. 
  • Kepresidenan Soekarno dianggap telah usai pada Maret 1966 ketika ia meneken Surat Perintah Sebelas Maret yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto yang ketika itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna memulihkan keamanan dan kestabilan jalannya pemerintahan. 
  • Sisanya kemudian adalah sejarah; rentetan peristiwa demi peristiwa mengantarkan Soeharto sebagai Presiden Indonesia kedua selama lebih dari tiga dekade.
  • Lalu jam sejarah pun berputar, Soeharto digantikan oleh wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie—‘tukang insinyur’ yang tak pernah bermimpi menjadi Presiden—dalam gelombang Reformasi 1998 yang dramatis. 
  • Soeharto menyatakan mundur, dan seketika Habibie dilantik menjadi Presiden oleh pimpinan Mahkamah Agung di Istana Merdeka pada Mei 1998. Hingga keduanya wafat, mereka tak pernah lagi bertemu. Meskipun Habibie tetap mengupayakan pertemuan, baik ketika dirinya menjabat Presiden maupun ketika sudah purnatugas, pertemuan rekonsiliasi tak pernah terjadi. 
  • Tak lama, kepresidenan Habibie juga berakhir, digantikan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Gus Dur oleh sebagian kalangan dinilai berposisi diametral dengan Habibie yang tak lain adalah Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), di mana Gus Dur menentang pembentukannya karena dinilai bersifat sektarian dan diskriminatif. 

Tapi pada akhirnya, keduanya membangun hubungan pribadi—dan keluarga—yang erat hingga akhir hayatnya, tak lain disatukan oleh kesamaan pandangan dan komitmen mereka terhadap demokrasi.

Lain lagi dengan Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur sebagai Presiden pada tahun 2001. Sebelumnya, Megawati adalah wakil dari Gus Dur yang diketahui khalayak memiliki hubungan yang ‘hangat’ (atau bisa dibaca panas-dingin) selama kepemimpinan keduanya. 

Tak jarang, perseteruan di antara mereka menyeruak ke ruang publik dan menjadi konsumsi masyarakat luas. Perlu waktu cukup lama bagi mereka—khususnya bagi Gus Dur—untuk mengobati luka yang menganga pasca pelengserannya dari kursi Presiden.

Tiga Terakhir 

Kasus suksesi dan relasi antara tiga Presiden kita terakhir inilah—Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo (Jokowi)—yang menjadi bagian paling penting, tidak hanya karena semuanya masih hidup bahkan masih beredar di kehidupan politik nasional, tetapi juga menjadi penentu kelangsungan terbentuk dan berjalannya Klub Presiden yang diwacanakan Prabowo Subianto belakangan ini.

Sudah umum diketahui bahwa hubungan antara Megawati dan SBY dalam kondisi yang tidak baik-baik saja sejak Pilpres 2004 hingga saat ini. Perang dingin keduanya selama lebih dari dua puluh tahun menyebabkan kebuntuan komunikasi di antara keduanya, hingga jarang berada dalam satu forum secara bersamaan. 

Tak ingin mengulangi hal yang sama, SBY berupaya membangun komunikasi dan menyiapkan transisi yang rapi terhadap suksesornya, Jokowi, meskipun juga tak dapat dipungkiri karena latar belakang politik Jokowi yang sama dengan Megawati, kesulitan komunikasi masih acap terjadi di antara keduanya. 

Yang paling menarik dari semuanya adalah hubungan antara Jokowi dengan Megawati, dari semula kawan seiring-sejalan, bahkan layaknya mentor dan murid, tiba-tiba menjadi amat dingin dan renggang karena langkah politik yang diambil Jokowi di Pilpres 2024 lalu. 

Mimpi SBY sebagaimana ia cuitkan di akun X-nya pada 19 Juni 2023, “Di suatu hari Pak Jokowi datang ke rumah saya di Cikeas untuk kemudian bersama-sama menjemput Ibu Megawati di kediamannya. Selanjutnya, kami bertiga menuju Stasiun Gambir”, amat mungkin makin sulit terwujud. 

Dari semua cerita di atas, maka terbayang betapa ruwetnya dinamika politik yang terjadi yang menjadi tantangan berat bagi Prabowo. 

Sebelum berambisi membangun Klub Presiden yang kondusif dan mampu memberikan masukan konstruktif bagi Presiden ketika dibutuhkan, pertama-tama Prabowo harus bisa menjadi juru damai di antara para mantan Presiden yang berseteru dalam dingin. 

Kalau Anda jeli mengamati berita, momen paling mirip yang menggambarkan bagaimana para anggota Klub Presiden ini berkumpul adalah ketika acara peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-72 tahun 2017. 

Selain Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, para mantan Presiden dan Wakil Presiden, Ibu Negara dan istri Wakil Presiden, mulai dari Habibie, Megawati, SBY, Try Sutrisno, Boediono, Sinta Nuriyah Wahid (istri almarhum Gus Dur), hingga Karlinah Umar (istri almarhum Umar Wirahadikusumah) hadir Istana Merdeka. 

Sayangnya setelah itu, momen tersebut tak pernah terulang lagi, setidaknya hingga kini.

Berbesar Hati Mengutamakan Kepentingan Bangsa

Maka kemudian, jika nantinya Klub Presiden ini terbentuk secara formal, tak perlu muluk-muluk membayangkan bahwa nantinya Prabowo akan berkumpul secara rutin bersama para mantan Presiden dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan di Istana Merdeka. 

Berkumpulnya Prabowo, Jokowi, SBY, dan Megawati dalam satu forum saja sudah amat patut disyukuri sekarang.

Di atas itu semua, sudah semestinya tanpa perlu ada ramai-ramai wacana Klub Presiden, barisan para mantan ini harus mampu berbesar hati membuka pintu rekonsiliasi satu sama lain, lalu membangun jembatan komunikasi dengan sitting president.

Mereka semestinya memberikan masukan dan saran dilandasi dengan pemikiran bahwa tak sepatutnya kesalahan serta kekeliruan di masa lalu diulang kembali oleh Presiden yang sedang menjabat.

Ketika para pemimpin bangsa di atas sana terus-menerus menyerukan pentingnya nilai-nilai persatuan, perdamaian, dan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan kepada masyarakat kecil di bawah, sudah saatnya ujaran tersebut diterjemahkan dalam tindak senyata-nyatanya justru oleh mereka terlebih dahulu, sebagai legasi baik untuk anak-cucu kelak. 

1
0

Mengabdi sebagai policy analyst pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, membantu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai policy analyst di bidang Aparatur Negara selama empat tahun. Meminati isu-isu reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Dapat dihubungi melalui surel [email protected]

Adif Rachmat Nugraha ◆ Active Writer

Adif Rachmat Nugraha ◆ Active Writer

Author

Mengabdi sebagai policy analyst pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, membantu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai policy analyst di bidang Aparatur Negara selama empat tahun. Meminati isu-isu reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan. Dapat dihubungi melalui surel [email protected]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post