Pembentukan Ditjen Pesantren, Akankah Menjadi Birokrasi Tumpul?

by | Nov 12, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Akhir tahun ini diisi dengan keprihatinan kita atas peristiwa ambruknya bangunan asrama putra Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur.

Insiden ini terjadi pada Senin, 29 September 2025 sekira pukul 15.00 WIB, dan merupakan bencana dengan korban jiwa terbanyak tahun ini. Berdasarkan data akhir dari tim SAR gabungan (per 7 Oktober 2025), total korban mencapai 171 orang, yaitu 67 meninggal dunia, dan 104 santri mengalami luka berat dan ringan.

Kita patut mengapresiasi langkah-langkah penanganan oleh pemerintah. Walaupun peristiwa ini menimbulkan pro kontra mengenai kultur pesantren yang dinilai feodal oleh sebagian pihak, namun pemerintah tidak mau larut dalam pusaran ini dan lebih memilih mencari solusi cepat maupun jangka panjang.

Salah satunya, dengan membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren, unit eselon I yang berada langsung di bawah Menteri Agama. Selama ini, urusan pesantren berada pada Ditjen Pendidikan Islam, yang menaungi seluruh lembaga pendidikan Islam, mulai Raudhatul Athfal hingga Universitas.

Namun kebijakan ini memantik keraguan publik. Berkaca dari kasus keracunan makanan bergizi gratis (MBG), yang diatur dan dilaksanakan oleh Badan Gizi Nasional (BGN).  Keberadaan BGN yang menambah gemuk jumlah lembaga negara, dinilai masih gagal dalam mengeksekusi program di lapangan.

Maka pembentukan Ditjen Pesantren menjadi suatu tanda tanya besar, akankah berhasil menjalankan program pemerintah dan menyelesaikan permasalahan, atau menjadi birokrasi tumpul dan menghambat mesin birokrasi.

Perlunya Restrukturisasi Birokrasi Kementerian Agama

Sebagai lembaga negara, Kementerian Agama (Kemenag) memiliki posisi yang unik. Di samping fakta bahwa hanya segelintir negara dunia yang memiliki kementerian agama, lembaga ini juga berbeda dengan kementerian lain yang bersifat teknis dan birokratik.

Kemenag bukan hanya sekadar institusi negara,
namun lembaga yang turut dibesarkan oleh rakyat. Jika lazim masyarakat mendapat hibah dari pemerintah, banyak aset Kemenag malah pemberian dari masyarakat.

Tercatat 1.110 Kantor Urusan Agama (KUA) dan 1.180 Madrasah Negeri merupakan wakaf. Logo Kemenag juga kerap menghiasi ruang-ruang swadaya masyarakat, mulai dari masjid, madrasah, bahkan majelis taklim. 

Oleh sebab itu, Kemenag acap kali diidentikkan sebagai lembaga politik, sebab diisi oleh tokoh-tokoh organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Para pejabat di lingkungan Kemenag biasanya berlatar belakang Penghulu, yang lebih sering dipandang sebagai tokoh masyarakat ketimbang birokrat.

Maka tidak heran jika Kemenag memiliki kultur politik yang lebih kuat daripada kultur birokrasi. Hal ini menjadikan Kemenag sering disepelekan dalam tataran birokrasi. Padahal beban kerja yang diemban oleh Kemenag juga tidak ringan. 

Dikarenakan bidang kerjanya tidak masuk otonomi daerah, Kemenag harus menyiapkan unit kerja hingga Kecamatan. Meskipun banyak, namun tidak didukung Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai, akibat ketimpangan eselonisasi.

Misalnya di Kabupaten tempat ponpes Al Khoziny berada, urusan pesantren dalam pengawasan Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, dengan jumlah staf yang dapat dihitung jari.

Karena bercampur dengan urusan lain, bisa jadi pengawasan Pesantren di Sidoarjo ditangani oleh hanya satu orang staf, yang mengurusi 192 pesantren dengan santri mencapai 15.000.

Dapat dibayangkan, struktur eselon seperti ini justru akan menimbulkan birokrasi tumpul, atau disfungsi birokrasi. Pada akhirnya akan menjadi penyakit tersendiri yang menghambat kerja birokrasi.

Menurut Robert K Merton, penyakit ini dapat dilihat dari gejala konformitas atau kepatuhan yang berlebihan terhadap aturan, bahkan saat aturan itu tidak sesuai dengan tujuan semula.

Selain itu menyebabkan resistensi terhadap perubahan dalam meningkatkan proses, kecenderungan melayani dengan prosedur standar, sehingga menimbulkan ketidakpuasan publik. Puncaknya menjadi birokrasi yang berbelit-belit, cenderung prosedural dan memperlambat pengambilan keputusan.

Alternatif lain: Badan Penyelenggara Ponpes Madrasah (BPPM)

Kalaupun dibentuk suatu Ditjen, maka pelaksanaan di daerah tetap tidak akan berubah signifikan, karena struktur eselon Kemenag di daerah yang gemuk dan bercampur baur. Mulai dari urusan perkawinan sampai aliran sesat, semua ditangani oleh Kantor Kemenag Kabupaten/Kota yang unit eselonnya hanya setara Camat.

Alih-alih membentuk Ditjen, alangkah lebih baik jika turut membentuk suatu Badan unit eselon I teknis yang memiliki satuan kerja hingga ke daerah. Sehingga roda birokrasi tidak hanya berputar di atas, tapi menyentuh hingga ke akar permasalahan.

Selain itu, pembentukan Badan ini juga memiliki nilai strategis, yaitu dapat meningkatkan kualitas pendidikan agama yang masih sulit bersaing dengan pendidikan umum. Hal ini karena lembaga pendidikan agama belum memiliki tempat bernaung yang mumpuni.

Dalam struktur sekarang, baik pesantren maupun madrasah berada dalam asuhan unit eselon IV, yaitu Seksi Pendidikan Madrasah atau Seksi Pendidikan Diniyah dan Pendidikan Keagamaan Islam.

Unit ini hanya diisi oleh tenaga administrasi, bukan tenaga fungsional ahli bidang pendidikan. Maka sulit sekali untuk mengembangkan madrasah dan pesantren agar dapat bersaing bahkan melebihi kualitas sekolah-sekolah umum.

Adanya Badan ini kelak juga akan merampingkan struktur Kemenag Kabupaten/Kota, yang terlalu gemuk dengan urusannya dan unit kerja di bawahnya. Setiap kantor Kemenag di daerah membawahi puluhan KUA dan puluhan Madrasah Negeri.

Belum lagi lembaga swasta yang jumlahnya ribuan dengan jenis yang beragam, seperti rumah ibadah, tempat kajian keagamaan, lembaga zakat, dan aktivitas keagamaan lainnya, kecuali haji dan umrah.

Sebenarnya kalau kita melihat pada struktur Kemenag, lembaga-lembaga pendidikan dan latihan (diklat) berada dalam Badan tersendiri. Jelas terlihat, bahwa lembaga diklat ini ternyata lebih mampu berpacu dan bersaing berkat fokus mereka yang jelas dan terarah.

Jika pemerintah memang serius untuk melakukan pembenahan lembaga pendidikan agama, maka langkah yang diambil haruslah menyentuh hingga ke titik terbawah. Jangan hanya berkutat pada birokrasi di pusat, tetapi harus mampu menerjang hingga ke seluruh pelosok daerah.

Saya yakin, dengan momentum ini, kita semua akan mulai berbenah untuk menuju pada perbaikan. Jika memang berniat untuk melakukan perbaikan, maka jangan setengah – setengah hati, supaya hasilnya maksimal dan sesuai harapan.

1
0
Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Muhammad Abduh Nasution Mukhtirulilmi ◆ Active and Poetry Writer

Author

Jejaka yang bekerja sebagai PNS pada salah satu instansi pemerintah.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post