Sepak bola sudah menjadi olahraga favorit yang disukai oleh orang banyak, mulai dari yang muda hingga yang tua. Bahkan sangat umum jika seseorang mempunyai klub favorit dan pemain favorit yang diidolakan. Ambil contoh Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, dua orang yang paling diidolakan hampir di seluruh dunia.
Berbicara sepak bola, tentu tidak hanya membahas kedua mega bintang tersebut. Berbagai perhelatan atau agenda besar sepak bola seringkali ditunggu masyarakat dunia.
Ada berbagai macam perhelatan akbar sepak bola, misalnya di klub Eropa, masyarakat dunia sudah pasti akan menantikan Champions League, jika di klub lokal premier league dan lain sebagainya.
Perhelatan akbar tersebut sudah pasti menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta sepak bola, terutama bagi mereka yang menyukai tim eropa. Terlepas dari itu semua, ada perhelatan akbar yang datangnya hanya empat tahun sekali yaitu piala dunia.
Indonesia dalam Piala Dunia: Minim Keterlibatan
Piala dunia sudah pasti menyedot perhatian banyak kalangan. Semuanya akan menyaksikan pertandingan besar ini demi melihat negara kesayangannya tampil di ajang ini.
Ajang yang sangat prestisius ini pasti tidak ada yang ingin melewatkannya, mulai dari pemain hingga penonton itu sendiri.
Daya tarik yang begitu besar, membuat piala dunia akan selalu dinantikan bagi pecinta sepak bola dari generasi ke generasi. Sebab acara empat tahunan ini tidak akan berhenti menyuguhkan tampilan yang luar biasa dari pemain yang luar biasa.
Berbicara mengenai piala dunia, Indonesia hanya pernah satu kali mengikuti ajang spesial ini pada tahun 1938. Waktu itu bangsa kita masih bernama Hindia Belanda, dan mengikuti ajang piala dunia di Perancis sebagai tuan rumahnya.
Jika dilihat dari tahunnya dan nama Indonesia yang masih Hindia Belanda sungguh miris sekali, karena setelah tahun tersebut Indonesia tidak pernah berpartisipasi sama sekali di ajang terbesar sepak bola internasional ini.
Negara Asia yang sering lolos ke piala dunia hanya Jepang dan Australia, selebihnya hanya menjadi penonton saja dan tidak ada kontribusinya sama sekali. Sungguh sangat disayangkan sekali.
Setelah kurang lebih 85 tahun Indonesia tidak pernah ikut berpartisipasi di piala dunia, secercah harapan pun datang di tahun 2019. Pada tahun 2019 diputuskan bahwa Indonesia akan menjadi tuan rumah piala dunia U-20, bukan untuk tim senior.
Hal ini sungguh menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Bangsa yang dikenal sebagai macan Asia ini dapat berpartisipasi dalam ajang piala dunia walaupun levelnya U-20.
Terlepas dari itu, hal yang terpenting adalah bahwa Indonesia dapat berpartisipasi dan semoga dapat berbicara banyak di ajang yang luar biasa ini.
Sebab, ajang ini akan menjadi saksi bahwa Indonesia mampu masuk dalam ajang piala dunia walaupun masuk secara otomatis sebagai tuan rumah. Tetapi tidak menjadi masalah, yang terpenting adalah Indonesia mampu bersumbangsih.
Gugur sebagai Tuan Rumah
Rencananya perhelatan akbar ini akan diadakan pada tanggal 20 Mei sampai 11 Juni 2023 dan turnamen terbesar ini akan digelar di enam kota. Semua persiapan sudah dilaksanakan dengan baik oleh PSSI yang dipimpin oleh Erick Thohir sebagai ketua baru yang ditunjuk oleh presiden.
Sebelum pelaksanaan, akan diadakan drawing tim untuk menentukan tim mana saja yang akan menjadi satu tim dalam beberapa grup.
Rencananya drawing ini akan dilaksanakan di Bali, salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dan seringkali menjadi lokasi acara level internasional, yang terbaru adalah G20.
Drawing akan dilaksanakan pada 31 Maret 2023, dipimpin langsung oleh I Wayan Koster sebagai Gubernur Bali. Namun, justru di titik inilah penyebab semuanya terjadi. Gubernur Bali menolak melakukan drawing sebab tim nasional Israel lolos ke piala dunia U-20.
Tidak hanya Gubernur Bali yang menolak, beberapa pihak terkait pun sama-sama ikut menolak hadirnya Israel yang berpartisipasi dalam ajang terbesar sepak bola ini.
Penolakan ini sampai terdengar oleh FIFA, federasi sepak bola dunia, yang kemudian mengecam tindakan Indonesia dan menggugurkan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20.
Bangsa ini lalu terpecah menjadi dua kubu yang menciptakan dualisme perspektif dalam menyikapi gugurnya Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20 dan tim nasional Israel yang ikut serta dalam piala dunia.
Menjaga Hati Masyarakat Palestina
Sudah bukan hal baru ketika membahas mengenai Israel dan Palestina, tentu di benak kita akan terngiang yang namanya peperangan hebat yang tidak kunjung selesai. Berbagai negara di dunia mempunyai pihaknya masing-masing. Ada yang berpihak kepada Israel dan ada juga yang berpihak kepada Palestina.
Sudah pasti Indonesia berpihak kepada Palestina karena rasa setia kawan sebagai sesama muslim, agama mayoritas penduduk Indonesia, dan banyaknya umat muslim Palestina yang meninggal karena peperangan tersebut. Terlebih banyak anak-anak yang tidak bersalah menjadi korbannya.
Terlepas dari perang Israel dan Palestina yang terjadi, Indonesia harusnya tetap stabil dalam bernegara. Jangan campur adukkan antara kemanusiaan dan olahraga. Karena memang kedua hal ini berbeda, jadi jangan pernah mencampuradukkan keduanya.
Secara kemanusiaan, Indonesia sangat amat membantu Palestina dalam menghadapi Israel. Mulai dari pangan hingga senjata api. Tapi terlepas dari hal-hal mengenai kemanusiaan, tentu Indonesia harus tetap pada kedua perbedaan itu.
Terlebih sekarang Indonesia terbagi menjadi dualisme antara olahraga dan kemanusiaan. Ada yang mengatakan bahwasanya sepak bola adalah simbol dari kemanusiaan. Dan ada juga yang berpendapat bahwa kemanusiaan dapat dilihat dari pertandingan sepak bola.
Semua orang berhak berpersepsi banyak hal, tapi substansi dari sepak bola sendiri adalah olahraga untuk memenangkan pertandingan dan juga memenangkan banyak trofi.
Terjebak dalam Pro dan Kontra
Sebagai manusia, kita boleh saja menyandingkan sepak bola dengan kemanusiaan, tapi jangan dijadikan sebagai yang paten, sehingga pertandingan sepak bola hanya tentang kemanusiaan.
Telah timbul penolakan kehadiran tim Israel yang mengakibatkan batalnya piala dunia U-20 diselenggarakan di Indonesia.
Padahal, sepak bola hanya permainan yang sifatnya untuk memenangkan pertandingan, menggunakan kaki untuk menendang bola untuk masuk ke gawang lawan. Jadi, tidak terlalu mempunyai makna mendalam dalam kehidupan.
Oleh karena itu, jangan terlalu sandingkan antara pertandingan dan kemanusiaan, cukup tunjukkan sportivitas dalam lapangan untuk memenangkan pertandingan, terlepas dari nama kemanusiaan.
Duta Besar Palestina yaitu Zuhair Al Shun menyampaikan kepada Jokowi bahwasanya Palestina tidak keberatan jika Israel harus ikut serta dalam piala dunia U-20.
Hal ini sudah pasti menjadi titik terang untuk piala dunia U-20 tapi masyarakat Indonesia sendiri yang masih bergelut dengan sesama, bahwasanya Israel adalah negara teroris dan bangsa ini harus menolak Israel.
Timbul pertanyaan besar, mengapa jadi kita yang repot menolak Israel, toh Palestina sudah legowo untuk Israel ikut serta piala dunia U-20.
Boleh cinta terhadap negara lain, tapi jangan mengorbankan kepentingan negara demi nama kemanusiaan, hingga akhirnya FIFA akan memberikan sanksi tegas untuk Indonesia.
Antara Sepak Bola dan Agama
Dua hal yang sangat bertolak belakang antara sepak bola dan agama, kedua hal ini tidak boleh dicampuradukkan demi kepentingan sepihak. Sebab bangsa ini melihat Palestina bukan hanya dari kamanusiaan tapi lebih condong kepada agama yang dianut yaitu Islam.
Hal ini menjadikan beberapa orang yang katanya agamis memihak Palestina dan mendukung Palestina dalam hal agama dan memprovokasi banyak orang untuk mendukung Palestina dan membenci Israel.
Penulis pribadi bukan mendukung Israel, tapi penulis sangat menyayangkan jika Israel harus dibenci sedemikian rupa, walaupun hanya lewat sepak bola. Sepak bola sejatinya tidak boleh disangkutpautkan dengan agama, agar esensi dari sepak bola itu sendiri tidak menghilang.
Terlebih agama tidak hanya satu di dunia ini, ada banyak sekali. Walaupun memang Islam adalah agama mayoritas di Indonesia dan Palestina, tapi tidak boleh menyangkutpautkan antara keduanya. Hal tersebut hanya membuat rancu saja dan tidak baik ke depannya.
Lebih baik mengedepankan sportivitas di dalam lapangan. Seandainya jika Indonesia satu grup dengan Israel, harusnya jika Indonesia benci kepada Israel, kalahkan saja lewat pertandingan, jangan malah membenci dengan menolak Israel untuk ikut piala dunia.
Sebab, aturan pusat ada di FIFA yang berwenang untuk memberikan sanksi apabila negara tidak patuh kepada aturan yang berlaku.
FIFA tidak mau tahu tentang permasalahan antara Palestina dan Israel, yang terpenting adalah penyelenggaraan piala dunia U-20 berjalan dengan baik dan maksimal. Beruntungnya, Israel dan Palestina ikut serta dalam piala dunia U-20.
Pembelajaran bagi Indonesia
Indonesia yang memperjuangkan Palestina terpaksa harus gugur karena ego sebagian orang yang menolak mentah-mentah kehadiran Israel. Sungguh sangat amat disayangkan, event besar ini terlewatkan begitu saja tanpa adanya pengorbanan sedikitpun di lapangan.
Ini menjadi masalah besar bagi sepak bola Indonesia ke depannya. Khawatirnya, Indonesia tidak boleh lagi mendapatkan jatah tuan rumah piala dunia U-20 di masa depan.
Untuk itu, pembatalan piala dunia U-20 ini harus dijadikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia, untuk menjunjung tinggi sportivitas dan melepaskan keterkaitan antara sepak bola dengan urusan lainnya.
Karena sepak bola ya sepak bola, tidak boleh disangkutpautkan secara permanen terhadap suatu hal, yang nantinya akan menyebabkan konflik berkepanjangan sehingga akan berdampak buruk bagi kesehatan sepak bola Indonesia di masa mendatang.
Penulis adalah peraih penghargaan Golden Generation 2017 dan Wisudawan Berprestasi 2018 IAIN SNJ Cirebon. Selain itu, merupakan Pegiat Komunitas NUN (Niat Untuk Nulis)
0 Comments