Pembangkang yang Patuh: Bagaimana Generasi Muda Membajak Birokrasi Indonesia

by | Oct 6, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 1 comment

Dalam lanskap birokrasi Indonesia yang terus bertransformasi, fenomena “Quiet quitting” di kalangan aparatur sipil negara (ASN) generasi milenial dan Gen Z menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas pelayanan publik. 

Quiet quitting, atau “berhenti diam-diam” yang merujuk pada sikap pegawai yang melaksanakan tugas sesuai standar minimal tanpa inisiatif berlebih, menjadi tantangan serius bagi reformasi birokrasi yang tengah digalakkan pemerintah.

Di lingkungan birokrasi yang secara struktural mengandalkan hierarki dan kepatuhan, fenomena berhenti diam-diam menciptakan dilema antara pemenuhan standar operasional prosedur (SOP) dengan semangat inovasi pelayanan publik. 

Apakah fenomena ini merupakan respon rasional terhadap sistem birokrasi yang kaku, atau justru ancaman terhadap komitmen melayani masyarakat yang menjadi hakikat profesi ASN?

Perspektif Pro: Revolusi Diam-diam yang Cerdas

Mari kita akui satu hal: generasi quiet quitters ini sebenarnya jenius. Mereka berhasil melakukan yang tidak pernah bisa dilakukan generasi sebelumnya—memberontak tanpa bisa dipecat. 

Dengan dalih “saya hanya mengikuti aturan”,
mereka menciptakan kekacauan yang terstruktur, sebuah karya agung
dalam seni melawan sistem dari dalam.

ASN generasi milenial dan Gen Z telah membaca rule book birokrasi dengan cermat, layaknya pengacara yang mencari celah hukum. 

Mereka paham betul bahwa sistem imbalan dan sanksi dalam birokrasi Indonesia masih menggunakan logika era Orde Baru: “yang penting hadir, yang penting patuh”. Nah, mereka menunjukkan diri dengan sifat persistent itu—tidak lebih, tidak kurang. Cemerlang, bukan?

Laporan dari berbagai instansi menunjukkan adanya peningkatan tingkat kelelahan kerja di kalangan ASN muda [1] [2] [3] [4], terutama karena beban kerja yang tidak sesuai dengan klasifikasi jabatan dan tunjangan yang diterima. 

Dalam konteks ini, quiet quitting bukan hanya mekanisme bertahan hidup, tetapi juga bentuk pembangkangan sipil yang sepertinya bisa dibilang canggih.

Yang paling mencengangkan adalah bagaimana mereka menggunakan “ketaatan” sebagai senjata. Dengan menjalankan tugas sesuai tupoksi—dan hanya tupoksi—mereka secara tidak langsung mempermalukan sistem yang selama ini mengandalkan “kerelaan berkorban” tanpa kompensasi yang layak. 

Ini adalah ekonomi moral yang dibalik: “Anda mau kami bekerja ekstra? Silakan bayar ekstra.”

Perspektif Kontra: Ketika “Cerdik” Berubah Menjadi “Culas”

Sebelum kita terlalu kagum dengan “kecerdikan” para quiet quitters, mari kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah ini benar-benar revolusi, atau hanya dalih generasi yang kehilangan jiwa pengabdian? 

Kritikus quiet quitting berargumen bahwa di balik topeng “rasionalitas” ini, tersembunyi sikap oportunistik yang membahayakan esensi pelayanan publik.

Jangan salah sangka—ASN bukan pegawai swasta yang bisa seenaknya menerapkan prinsip “tidak ada bayaran ekstra, tidak ada kerja ekstra.” Mereka adalah abdi masyarakat yang gajinya dibayar dari pajak rakyat. 

Ketika seorang ASN memilih untuk “hanya mengikuti SOP” sementara masyarakat membutuhkan solusi kreatif untuk masalah yang kompleks, siapa yang dirugikan? Bukan atasan mereka, tetapi rakyat yang mengantri di loket pelayanan.

Para pengkritik juga menyoroti kemunafikan dalam narasi quiet quitting

Generasi yang mengklaim “keseimbangan kehidupan kerja” ini adalah generasi yang menghabiskan berjam-jam menelusuri media sosial di kantor, yang lebih semangat diskusi soal “lingkungan kerja beracun” daripada mencari solusi konstruktif. 

Mereka pandai mengutip riset tentang produktivitas, tapi lupa bahwa konteks pelayanan publik berbeda dengan perusahaan rintisan teknologi.

Yang lebih ironis lagi, quiet quitting dalam birokrasi justru memperkuat keadaan yang ada yang mereka klaim ingin ubah. Dengan menolak berinovasi dan berkolaborasi, mereka memperpanjang usia sistem birokratis yang kaku dan tidak tanggap. Ini bukan reformasi—ini adalah sabotase berkedok intelektualitas.

Standing Position Kita

Setelah menyaksikan drama “pertempuran generasi” di atas, saatnya kita turun dari panggung emosi dan masuk ke ruang analisis yang lebih dingin. 

Quiet quitting dalam birokrasi Indonesia adalah fenomena yang terlalu kompleks untuk dinilai sebagai sekadar “baik” atau “buruk”—ia adalah produk dari sistem yang cacat, sekaligus katalis untuk perbaikan sistem tersebut.

Menggunakan Teori Two-Factor oleh Herzberg, kita bisa melihat bahwa quiet quitting adalah respons yang sangat rasional terhadap ketimpangan struktur motivasi dalam birokrasi. 

Hygiene factors (gaji, keamanan kerja, kondisi kerja) sudah relatif terpenuhi dalam sistem ASN, tetapi motivating factors (pengakuan, kemajuan, pekerjaan bermakna) agaknya masih terabaikan. Generasi muda tidak “malas”—mereka hanya menolak untuk dimotivasi oleh faktor-faktor yang sudah tidak relevan.

Teori Psychological Contract oleh Rousseau memberikan wawasan yang lebih tajam lagi. ASN generasi milenial dan Gen Z beroperasi dengan kontrak psikologis yang berbeda—mereka mengharapkan hubungan transaksional yang jelas, bukan kontrak relasional yang eksploitatif seperti generasi sebelumnya. 

Ketika organisasi gagal memenuhi harapan ini, quiet quitting menjadi bentuk perundingan ulang kontrak.

Yang paling menarik adalah bagaimana Teori Bureaucratic yang digagas Weber memprediksikan fenomena ini. Weber sudah memperingatkan tentang “iron cage” (baca: sangkar besi) birokrasi yang akan menciptakan keterasingan. 

Quiet quitting adalah manifestasi dari sangkar besi tersebut—ketika sistem terlalu kaku, manusia akan mencari cara untuk “bertahan hidup” dalam sistem tersebut dengan cara yang paling ekonomis.

Namun, inilah peralihan cerita yang menarik: quiet quitting sebenarnya bisa menjadi kuda Troya untuk reformasi birokrasi. Berdasarkan Teori New Public Management, birokrasi modern membutuhkan pergeseran dari berorientasi aturan menjadi berorientasi hasil. 

Quiet quitting memaksa sistem untuk mendefinisikan ulang apa itu “kinerja” dan bagaimana mengukurnya. Ketika ASN hanya melakukan “persyaratan minimum,” sistem terpaksa bertanya: “Apa sebenarnya yang kita harapkan dari mereka?”

Teori Balanced Scorecard oleh Kaplan-Norton menjadi relevan di sini. 

Selama ini, penilaian kinerja ASN terlalu fokus pada masukan (absensi, kepatuhan) dan keluaran (volume pekerjaan), tanpa mempertimbangkan hasil (dampak pada masyarakat) dan pembelajaran serta pertumbuhan (pengembangan kapasitas). Quiet quitting menjadi lonceng peringatan bahwa sistem pengukuran kita sudah usang.

Terakhir, Teori Organizational Culture yang dikemukakan oleh Schein menunjukkan bahwa quiet quitting adalah manifestasi dari ketidakselarasan budaya. 

Ada kesenjangan yang menganga antara nilai-nilai yang diproklamirkan (“pelayanan prima,” “inovasi,” “profesionalisme”) dan segala macam nilai positif yang digaungkan melalui ASN BerAKHLAK, dengan dampak dari praktik aktual (promosi berdasarkan senioritas, imbalan yang tidak jelas, hukuman yang sewenang-wenang). 

Quiet quitting adalah cara generasi muda untuk “mengungkap” kemunafikan ini.

Menuju Birokrasi yang Tidak Lagi Berpura-pura

Jadi, apa yang harus dilakukan? Birokrasi Indonesia bisa memilih untuk tetap menjadi “korban” dari quiet quitting, atau memanfaatkannya sebagai bentuk “panggilan” untuk transformasi yang sudah lama tertunda. 

Yang pertama akan menghasilkan stagnasi yang dibungkus dengan retorika reformasi; yang kedua akan menghasilkan New Public Service (baca: Pelayanan Publik Baru) yang benar-benar baru.

Transformasi pemerintahan digital yang sedang digadang-gadang sebenarnya adalah kesempatan emas untuk “memaksa” ASN keluar dari zona nyaman quiet quitting mereka. 

Platform digital tidak hanya memungkinkan otomatisasi tugas-tugas rutin, tetapi juga transparansi yang membuat setiap kontribusi individual menjadi terlihat. Sulit untuk melakukan quiet quitting ketika ukuran kinerjanya waktu nyata dan terbuka untuk umum.

Tapi jangan salah, ini bukan soal kapitalisme pengawasan dalam birokrasi. Ini soal menciptakan akuntabilitas yang sejati. Ketika sistem imbalan dan sanksi berubah dari “siapa yang paling loyal” menjadi “siapa yang paling berdampak,” quiet quitting akan menjadi strategi yang kontraproduktif.

Yang paling krusial adalah reformasi total terhadap sistem kemajuan karier. Selama promosi masih berdasarkan “antrian” dan “kedekatan”, generasi muda akan terus memilih quiet quitting sebagai respon rasional. 

Mereka tidak bodoh—mengapa harus bekerja ekstra jika hasilnya sama saja dengan yang bekerja minimal?

Kesimpulan: Quiet quitting sebagai Cermin, Bukan Musuh

Mari kita jujur: quiet quitting bukanlah penyakit—ia adalah gejala. Gejala dari sistem yang sudah terlalu lama hidup dalam kemunafikan, yang mengklaim ingin “reformasi” tetapi tidak mau mengubah asumsi dasarnya.

ASN generasi milenial dan Gen Z yang melakukan quiet quitting sebenarnya sedang memberikan “konsultasi gratis” kepada birokrasi Indonesia tentang apa yang salah dengan sistem kita. 

Mereka tidak sedang melakukan sabotase—mereka sedang melakukan kritik kelembagaan yang sangat canggih. Pertanyaannya adalah: apakah kita cukup dewasa untuk mendengarkan kritik tersebut?

Fenomena quiet quitting adalah uji lakmus untuk kepemimpinan birokrasi. Pemimpin yang defensif akan melihatnya sebagai ancaman dan mencoba untuk “mengatasinya” dengan pendekatan yang represif. 

Pemimpin yang transformasional akan melihatnya sebagai kesempatan untuk membayangkan kembali seperti apa birokrasi seharusnya di abad ke-21.

Pada akhirnya, reformasi birokrasi berkelanjutan bukan soal memaksa generasi muda untuk “kembali ke jalan yang benar”, tetapi soal menciptakan jalan yang benar-benar layak ditempuh. 

Quiet quitting akan hilang dengan sendirinya ketika pekerjaan bermakna, pengakuan yang adil, dan kemajuan karier yang jelas menjadi kenyataan, bukan hanya slogan di spanduk kantor.

Dan mungkin—barangkali—Indonesia akan memiliki birokrasi yang tidak hanya efisien dan efektif, tetapi juga autentik. Bukankah itu yang selama ini kita impikan?

6
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

1 Comment

  1. Avatar

    Normalisasi hipocrasi😁. Menarik tulisan ini, mencerahkan dan tidak menghakimi

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post