Pemanfaatan Lahan Pekarangan: Sebuah Pelajaran dari Jepang dan Peluang Ketahanan Pangan di Masa Pandemi

by | Oct 31, 2021 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Momiji di Jepang

Pada akhir tahun 2017 yang lalu, saya mengikuti Program Staff Enhancement di Jepang. Program ini diselenggarakan oleh Bappenas, dengan tema Local Economic Resource Development (LERD). Di sana saya melihat fenomena menarik. Di hampir setiap rumah, masyarakat memanfaatkan lahan pekarangan yang terbatas untuk menanam sayur mayur dan buah.

Saya tiba pada akhir musim gugur menjelang musim dingin, saat momiji, ketika daun maple berwarna jerau spektakuler dan daun-daun lain berwarna kuning kemerahan. Di pekarangan-pekarangan rumah yang saya lewati, dalam perjalanan menuju stasiun, terlihat kyabetsu (kubis), burokkorii (brokoli), dan kabocha (labu) siap panen. Yang paling mencolok, banyak buah kaki (kesemek) matang, berwarna jingga cerah, bergelantungan di pohon yang daunnya berguguran.

Meskipun bukan merupakan sumber makanan utama, kebun pekarangan ternyata memang merupakan bagian dari konfigurasi spasial yang menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari masyakat Jepang. Hal ini saya ketahui setelah mengamati dan melakukan riset kecil-kecilan.

Lebih dari sekedar menambahkan warna visual dan aroma bunga ke udara, serta camilan musiman ke meja makan, berkebun di pekarangan merupakan bagian dari memelihara keseimbangan iklim mikro. Menanam pohon buah-buahan dan berkebun sayur di pekarangan rumah adalah kebiasaan yang tampaknya telah diturunkan secara utuh dari generasi ke generasi.

Kebun Perkotaan dan Lanskap Satoyama

Pemanfaatan lahan pekarangan, untuk kebun sayuran dan buah, bukan hanya di Minamiuonuma City, Niigata Prefecture, tempat saya melakukan studi, yang produk utama ekonominya memang hasil pertanian. Pemanfaatan lahan pekarangan juga lazim di kawasan urban seperti Tokyo dan kota-kota besar lain.

Berkebun sayur di kalangan masyarakat perkotaan menjadi berkembang seiring dengan tren untuk memulihkan lanskap Satoyama. Satoyama merupakan bentang alam yang melambangkan kehidupan selaras manusia dengan lingkungan, terdiri dari mosaik berbagai tipe ekosistem, termasuk hutan sekunder, lahan pertanian, kolam irigasi, dan padang rumput, yang menyatu dengan pemukiman manusia.

Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kehidupan modern pada manusia dan lingkungan, sudah menjadi hal yang lumrah untuk melihat plot sayuran di area padat perkotaan. Individu maupun organisasi mulai menanam di pekarangan, di atap rumah, atau membangun kebun vertikal, guna menyiasati kurangnya lahan pekarangan.

Karena keterbatasan lahan pekarangan di perkotaan, pemerintah menyediakan lahan sewaan untuk berkebun. Lahan tersebut berupa plot, atau shimin nouen, yang luasnya masing-masing antara 10 sampai dengan 15 m2.

Sampai dengan akhir Maret 2016, di Metropolitan Tokyo terdapat 447 shimin nouen dengan 25.669 plot, seluas 66 hektar. Di beberapa kota industri, seperti Kawasaki dan Nagoya, permintaan untuk shimin nouen melampaui ketersediaan hingga lebih dari 300%.

Beragam Manfaat Kebun Perkotaan Jepang

Peningkatan kebutuhan shimin nouen berbanding lurus dengan permintaan terhadap produk segar dan aman oleh konsumen perkotaan. Preferensi masyarakat perkotaan terhadap sayuran serta buah organik dan rendah bahan kimia, yang diproduksi dan dikonsumsi secara lokal, memang semakin meningkat.

Lebih dari 85% penduduk Tokyo, menurut hasil survey, menginginkan kota mereka memiliki lahan sendiri untuk menanam bahan makanan segar dan ruang hijau. Untuk itu, beberapa wards dan city di Metropolitan Tokyo telah mengalokasikan kembali lahan pertanian, yang semula untuk perumahan, menjadi area hijau produktif.

Di Seki City, Gifu Prefecture, lahan-lahan tidur dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan perkotaan. Kota lain, seperti Kanazawa, Ishikawa Prefecture, memiliki sejumlah besar kebun sayur sendiri, dan bahkan sawah di perbatasan kota.

Selain memenuhi permintaan konsumen perkotaan, kebun sayur tersebut juga merupakan bagian dari persediaan pangan darurat, di samping sebagai ruang terbuka untuk penanggulangan bencana, seperti pencegahan penyebaran api, ruang evakuasi untuk gempa bumi, dan ruang terbuka jika terjadi bencana lainnya.

Kebun sayur perkotaan di Jepang juga menjadi sarana pendidikan dan peningkatan kesadaran, untuk meningkatkan pemahaman warga kota, tentang pertanian dan ketahanan pangan. Pada akhir tahun 2016, MAFF, Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang, mencatat 79,80% dari 4.223 shimin nouen di Jepang berada di perkotaan, dan 53,52% nya merupakan milik pemerintah daerah.

Kebun perkotaan di Jepang menjadi rujukan model kebun petak yang efisien dengan beragam manfaatnya. Pemanfaatan lahan pekarangan dan praktik kebun perkotaan di Jepang meninggalkan kesan mendalam di benak saya.

Nostalgia Masa Kecil

Salah satu yang sangat berkesan dari program magang saya di Jepang, selain memperoleh pengetahuan mengenai pengembangan sumberdaya ekonomi lokal, adalah tentang pemanfaatan lahan pekarangan serta praktik kebun perkotaan. Hal ini membangkitkan kenangan masa kecil di kampung halaman.

Lahir dan besar dari keluarga petani di sebuah kabupaten di ujung Timur Laut Jawa Tengah, kebun pekarangan merupakan bagian dari kehidupan saya. Saat itu, hampir semua kebutuhan sehari-hari dapat dicukupi dari tanaman dan ternak di sekitar rumah. Sayuran dan buah-buahan, rempah-rempah, bumbu dapur, hingga tanaman obat, ikan, serta telur dan daging unggas, diperoleh dari hasil kebun pekarangan sendiri.

Praktik seperti di Jepang dan masa kecil di kampung halaman mengubah mindset saya tentang pemanfaatan lahan pekarangan. Sebelumnya saya lebih suka menanam bunga, terutama bunga-bunga beraroma. Pekarangan saya berisi bunga mawar, kemuning, kacapiring, melati, kenanga, cempaka, serta arumdalu. Kolam kecil saya berisi ikan hias.

Setelah dari Jepang, saya lebih pragmatis. Tidak lagi sekadar memberikan warna dan aroma bunga ke sekitar rumah, saya memanfaatkan pekarangan untuk meningkatkan ketahanan pangan. Saya menambahkan tanaman buah dan sayur untuk menghadirkan suasana pekarangan seperti saat di kampung dulu. Ikan hias saya ganti dengan ikan mas dan nila. Untuk mengabadikan memori tentang momiji di Jepang, saya secara khusus menanam pohon kesemek.

Kebun Pekarangan di Masa Pandemi

Manfaat kebun pekarangan di masa pandemi sudah banyak ditulis. Berkebun memberikan manfaat kesehatan psikologis dan fisiologis. Kebun pekarangan juga dapat menjadi salah satu mekanisme mempertahankan ketersediaan pangan, serta menjaga kekebalan tubuh. Berkebun pekarangan menjadi tren, ketika lebih banyak aktivitas harus dilakukan dari rumah.

Kami benar-benar merasakan sendiri manfaat kebun pekarangan. Selain bisa setiap saat membuat minuman herbal dari jahe merah dan serai merah hasil kebun sendiri, kami juga bisa berjemur dan berolahraga sambil menyiangi rumput.

Lebih dari itu, duduk memandang tanaman yang rimbun, sambil mengawasi anak bermain, sungguh menghadirkan suasana hati yang menentramkan. Manfaat yang paling terasa adalah berkaitan dengan mobilitas. Kami tidak perlu bolak-balik ke warung tetangga hanya untuk membeli cabe, lengkuas, daun jeruk, atau daun salam.

Saat tiba-tiba ingin membuat mi di malam hari, tinggal memetik daun sawi yang 100% organik, dan daun bawang hasil menumbuhkan kembali sisa sayuran. Dari sisi ekonomi mungkin memang tidak seberapa, namun dari segi waktu dan mengurangi potensi paparan virus, sungguh tak ternilai.

Kebun kami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beberapa tanaman buah, seperti markisa, jambu air, dan srikaya, telah panen meski belum banyak. Ikan mas dan nila pun sudah berkembang biak beberapa generasi. Kebun kami, adalah ukuran kecil. Sebagai pendatang, kami tidak mempunyai pekarangan seluas seperti saat di kampung halaman sendiri.

I

Pandemi dan Potensi Kerawanan Pangan

Ketika dalam skala kecil kami membuktikan manfaatnya, kebun pekarangan perlu amplifikasi. Program pemerintah seperti Rumah Pangan Lestari, yang diperluas menjadi berskala kawasan, dan saat ini telah bertransformasi menjadi Pekarangan Pangan Lestari (P2L), perlu diperbanyak. Pengembangan perlu dilakukan terutama di kawasan perkotaan.

Pandemi Covid-19 banyak berdampak pada aktivitas ekonomi Penduduk di kawasan perkotaan, sehingga mempengaruhi angka kemiskinan. Persentase penduduk miskin perkotaan pada Bulan Maret 2021, menurut data BPS, naik menjadi 7,89 persen, dari Bulan September 2020 yang sebesar 7,88 persen. Di dalam konsep kemiskinan, secara implisit, terkandung potensi kerawanan pangan.

Riset oleh Smeru menemukan bahwa penurunan pendapatan dan gangguan sistem pasokan makanan, terutama pada rumah tangga perkotaan, telah menyebabkan peningkatan kerawanan pangan sedang dan parah pada tahun 2020 menjadi 11,7 persen.*

Survei LIPI terhadap 1.489 responden rumah tangga, menemukan bahwa 35,93% responden berada dalam kondisi rawan pangan, yang terdiri dari 23,84% rawan pangan tanpa kelaparan, 10,14% rawan pangan dengan kelaparan moderat, dan 1,95% rawan pangan dengan kelaparan akut.

Dengan kondisi pandemi yang masih tidak menentu, responden bimbang apakah beberapa waktu ke depan mereka masih dapat memenuhi kebutuhan pangan secara normal, atau justru mengalami gangguan karena adanya perubahan pendapatan, gejolak harga, dan lain sebagainya.

Karena potensi kerawanan pangan tersebut, Smeru merekomendasikan ketersediaan dan keterjangkauan pasokan makanan yang bergizi di tingkat lokal. Sedangkan LIPI, salah satu saran kebijakannya adalah edukasi masyarakat mengenai diversifikasi pangan lokal guna meningkatkan ketahanan pangan sekaligus mencapai keseimbangan gizi rumah tangga. Inilah masa depan kebun pekarangan dan kebun perkotaan.

Masa Depan Kebun Pekarangan dan Kebun Perkotaan

Untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pasokan makanan yang bergizi di tingkat lokal, terutama rumah tangga, kebun pekarangan perlu diarusutamakan. Di provinsi tempat saya bekerja, beberapa kepala daerah telah menginstruksikan pemanfaatan pekarangan.

Di Kabupaten Lebak, misalnya, setiap ASN wajib menanam cabai. Di Kabupaten Pandeglang, menanam cabai telah menjadi gerakan bersama. Demikian halnya di Kabupaten Serang. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, gerakan tersebut juga dalam rangka mengendalikan volatilitas harga.

Guna mengatasi potensi kerawanan pangan di perkotaan, kebun perkotaan dapat diperbanyak. Gerakan komunitas masyarakat untuk memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan, serta program P2L, perlu didukung oleh pemerintah daerah.

Kota Padang, DKI Jakarta, dan Kota Semarang, telah menjadi pionir untuk mendorong kebun perkotaan dengan menyediakan lahan-lahan kosong. Ke depan, seperti di Jepang, semestinya, setiap pemerintah daerah perlu memiliki lebih banyak kebun-kebun perkotaan.

Namun, berbeda dengan konsep shimin nouen di Jepang, kebun-kebun perkotaan milik pemerintah daerah tersebut mungkin akan serupa kebun komunitas, seperti, misalnya, di Australia. Pemerintah daerah, melalui perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pangan, dapat mengelola sendiri kebun-kebun perkotaan, atau bekerja sama dengan komunitas lokal.

Kebun perkotaan dapat menjadi program unggulan pemerintah daerah. Beragam program dapat diintegrasikan dengan kebun perkotaan, seperti peningkatan diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat, pengelolaan Ruang Terbuka Hijau, perlindungan sosial, peningkatan gizi masyarakat, budidaya tanaman obat, maupun penurunan stunting.

Pengelolaan kebun komunitas juga dapat dilakukan di berbagai tingkatan pemerintahan. Di tingkat desa, P2L bisa menjadi solusi masalah pengangguran. Salah satu prioritas penggunaan Dana Desa  adalah untuk Padat Karya Tunai Desa, seperti pemanfaatan lahan kosong milik desa atau milik warga dalam rangka ketahanan pangan. Di masa pandemi, maupun dalam rangka mencapai SDGs Desa, pengelolaan kebun komunitas dapat terus dilakukan.

Penutup

Sebagai salah satu bentuk pertanian tertua yang telah menjadi kearifan lokal bangsa Indonesia, berkebun perlu kita lestarikan. Karenanya, saat purnabakti nanti, saya ingin mengisi hari dengan mengelola kebun komunitas milik sendiri.

Bukan hanya untuk mengabadikan memori tentang momiji, meniru tradisi masyarakat Jepang, nostalgia masa kecil, atau ikhtiar menjaga kesehatan fisik dan mental. Pandemi telah mengajarkan perlunya ketahanan pangan di tingkat lokal. Kebun pekarangan dan kebun komunitas dapat menjadi salah satu solusinya. Semoga.

8
1
Mochamad Nurhestitunggal ◆ Active Writer

Mochamad Nurhestitunggal ◆ Active Writer

Author

Perencana Ahli Muda di Bappeda Provinsi Banten. Seorang lifelong learner, yang mengikuti semboyan Albert Einstein: “I have no special talent. I am only passionately curious”.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post