Tahukah pembaca, bahwa komunikasi pemerintah adalah pekerjaan yang paling sering gagal dipahami dengan tepat oleh publik, bukan hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia?
Dari studi OECD hingga survei George Washington University, berulang kali terbukti ada jurang lebar antara maksud pengirim dan tafsir penerima: pesan pemerintah kerap dianggap terlambat, terlalu teknis, atau bahkan bermuatan politik.
Tak heran bila buku-buku, panduan, hingga riset tentang literasi komunikasi pemerintah terus lahir, karena kompleksitasnya selalu menuntut pembaruan cara menyampaikan pesan.
Semua ini menegaskan satu hal: komunikasi pemerintah bukan sekadar menyampaikan data, melainkan seni menjaga makna agar tidak hilang—karena begitu makna tergelincir, yang runtuh bisa jadi adalah kredibilitas dan kepercayaan publik.
Mau contoh yang paling relevan saat ini? Mari kita telusuri bersama.
Di tengah suhu politik dan sosial yang panas,
komunikasi pemerintah (dan lembaga politik) menuntut kehati-hatian ekstra. Bukan hanya soal apa yang disampaikan, tapi bagaimana kalimat itu dibaca—lengkap dengan konteks, istilah teknis, dan persepsi publik yang sudah terbentuk.
Dua contoh paling hangat di Indonesia beberapa hari terakhir memperlihatkan jurang di antara “maksud pengirim” dan “makna yang ditangkap penerima”: (1) kasus tujuh anggota Brimob yang “dipatsus 20 hari”, dan (2) polemik “nonaktif” sejumlah anggota DPR setelah gelombang protes publik.
Istilah Teknis yang Tak Tuntas
- Pertama, kasus Affan Kurniawan. Pada 29 Agustus 2025, Divpropam Polri mengumumkan tujuh anggota Brimob telah terbukti melanggar kode etik terkait meninggalnya driver ojol Affan Kurniawan, dan karenanya menjalani penempatan khusus (patsus) selama 20 hari—dengan kemungkinan diperpanjang.
Di titik inilah banyak warganet menangkapnya sebagai “hukuman 20 hari”, padahal patsus adalah langkah penempatan khusus selama proses etik/disiplin berjalan, bukan vonis final.
Beberapa pemberitaan juga menegaskan status mereka “setara tersangka” sambil menunggu proses berikutnya, dan Polri menjadwalkan gelar perkara pada 2 September 2025.
Namun, ketika pernyataan patsus tersebut disampaikan kepada publik, nyatanya tidak disertai dengan penjelasan yang memadai, sehingga memberikan ruang bagi publik untuk menterjemahkan dengan asumsi mereka sendiri.
- Kedua, polemik “nonaktif” anggota DPR. Sejumlah parpol mengumumkan penonaktifan beberapa figur publik yang kini duduk di DPR (antara lain Uya Kuya, Eko Patrio, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, serta Adies Kadir) setelah gelombang protes publik.
Namun, belakangan para pakar ketatanegaraan menekankan, dalam UU MD3 dan Tatib DPR tidak dikenal istilah “nonaktif” untuk anggota DPR secara umum; mekanisme “nonaktif” secara eksplisit ada untuk pimpinan/anggota MKD yang sedang diadukan.
Di luar itu, perubahan status anggota dilakukan lewat mekanisme PAW. Perdebatan lain: selama “diberhentikan sementara” (jika itu yang dimaksud), hak keuangan tetap berjalan menurut Tatib DPR—yang tentu menambah kebingungan publik terhadap makna “nonaktif” versi parpol.
Apakah ini hanya akal-akalan parpol atau sebenarnya ini adalah gesture awal bahwa mereka mendengarkan permintaan publik, yang nantinya akan diikuti dengan prosedur sesuai peraturan perundangan? Kembali lagi, tidak ada penjelasan yang memadai saat pernyataan itu disampaikan.
Dua cerita ini memperlihatkan satu hal: istilah teknis yang tak dijelaskan tuntas mudah dipahami keliru. “Patsus 20 hari” terdengar seperti “hukumannya 20 hari.” “Nonaktif” terdengar seperti “tak lagi anggota DPR”—padahal secara hukum belum tentu begitu.
Berkaca pada Teori Klasik
Teori komunikasi klasik memberi kita kacamata. Model Shannon–Weaver menunjukkan pesan harus melewati kanal yang dipenuhi “noise”—mulai dari jargon hukum, judul berita, hingga bias pembaca.
Model Schramm menekankan pentingnya field of experience—latar pengalaman pengirim dan penerima harus tumpang tindih; kalau tidak, maknanya jadi mudah berubah sasaran.
Spesifik pada tantangan besar komunikasi, yaitu penerima pesan atau komunikan dan bagaimana mereka menerjemahkannya.
Stuart Hall mengatakan bahwa makna yang terkandung serta yang diartikan dalam sebuah pesan bisa memiliki perbedaan, kode yang disandi (encoding) serta yang disandi balik (decoding) tidak selamanya berbentuk simetris.
Ketika terjadi proses penyandian balik (decoding) dalam suatu komunikasi, maka akan terjadi tiga posisi hipotekal.
- Pertama, Dominant-hegemonic Position, di mana audiens menangkap maksud pengirim sebagaimana adanya (misal, “patsus = penempatan khusus, bukan vonis”). Posisi ini disebut sebagai posisi ideal karena apa yang dimaksud oleh pengirim pesan sesuai dengan apa yang diterima oleh penerima pesan sepenuhnya.
- Kedua, Negotiated Position, dalam posisi ini audiens mengakui maksud pengirim, tetapi tetap menyisakan ruang curiga (“bisa benar, tapi jangan-jangan akal-akalan”). Atau dalam kata lain, penerima pesan sudah menerima ideologi yang dominan, kemudian akan bertindak untuk menindaklanjutinya dengan beberapa pengecualian.
- Ketiga, Oppositional Position, yaitu ketika audiens menolak frame pengirim dan membaca kebijakan sebagai kamuflase. Posisi ini terjadi ketika individu menerima dan mengerti pesan apa yang diberikan, namun individu tersebut menyandinya secara bertolak belakang.
Posisi ini hanya akan terjadi ketika individu yang berpikir kritis kemudian menolak segala bentuk pesan yang disampaikan dan memilih mengartikannya sendiri. Artinya, kerangka Hall ini menjelaskan mengapa satu kalimat melahirkan tiga tafsir berbeda—tergantung posisi audiens.
Saat Risiko Sosial “Menggema”: dalam Pendekatan SARF
Masalahnya, dalam kondisi negeri saat ini, gap dalam komunikasi publik tersebut sangat erat dengan munculnya risiko sosial yang dapat berdampak pada kondisi keamanan negara.
Berkaca pada teori yang dilahirkan oleh Kasperson, Renn, and Slovic pada tahun 1988 dengan sebutan: Social Amplification of Risk Framework (SARF), dijelaskan bahwa sebuah sinyal risiko dapat membesar ketika melewati “stasiun amplifikasi” seperti media, tokoh publik, dan warganet.

Pilihan kata sederhana seperti “patsus 20 hari” atau “nonaktif” bisa berubah menjadi simbol kemarahan, bahan protes, bahkan alasan untuk meragukan institusi. Efeknya menyerupai riak air (ripple effect): satu pernyataan memicu lapisan dampak baru—turunnya kepercayaan, tekanan politik yang meningkat, hingga delegitimasi lembaga.
Dengan kacamata SARF, menjadi jelas bahwa persoalan bukanlah sekadar publik “salah paham”, melainkan bagaimana desain pesan yang membiarkan ambiguitas di saat krusial akan memperbesar gelombang risiko sosial.
Dari sini tampak bahwa komunikasi publik di momen sensitif adalah urusan manajemen persepsi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar “menyampaikan informasi”.
Ketika istilah teknis tidak dijelaskan, angka dibiarkan telanjang,
atau istilah hukum dipakai tanpa sinkronisasi lintas juru bicara, maka ruang kosong itu akan diisi oleh tafsir publik. Dan begitu tafsir itu bergaung lewat amplifikasi sosial,
pemerintah kehilangan kendali atas narasi.
Karena itu, prinsip utama komunikasi publik bukan hanya “apa yang diumumkan”, tetapi juga “seberapa kecil ruang salah tafsir dibiarkan terbuka”—sebab sekali riak terjadi, sulit menghentikan gelombangnya.
Kredibilitas lahir dari ketepatan, bukan sekadar kecepatan
Di era digital sphere saat ini, kecepatan merilis informasi memang penting. Namun, ketepatan makna jauh lebih menentukan.
Pada kasus Brimob, menulis “dipatsus 20 hari (dapat diperpanjang), proses etik dan pidana berjalan, gelar perkara 2 September 2025 dan akan diselesaikan segera” mungkin dapat mengurangi peluang salah tafsir menjadi “hukuman 20 hari.”
Pada polemik DPR, menjelaskan tentang “penonaktifan internal fraksi/parpol” dan nantinya akan diikuti dengan mekanisme PAW menurut UU MD3 akan menghindari kesan pesan yang disampaikan hanya “asal-asalan.”
Kenapa penting dilakukan? Karena ketika publik kian skeptis, beban klarifikasi tidak bisa diletakkan pada audiens; melainkan beban itu ada pada pengirim pesan.
Akhirnya, seperti diingatkan Stuart Hall, makna pesan lahir di ruang pertemuan antara yang meng-encode dan yang men-decode.
PR komunikasi PR pemerintah hari ini: mengerjakan bagian mereka agar ruang pertemuan itu tidak dipenuhi kabut jargon, disonansi istilah, dan noise dari amplifikasi yang tak perlu. Jadilah penghubung sebenar-benarnya antara pemerintah dengan masyarakatnya.
Keren Banget Bang Bet 😁👍👍👍
Mantap Om Betrika 👍👍👍