Patronase vs Profesionalisme: Pertarungan Birokrasi Bersih

by | Dec 20, 2025 | Birokrasi Bersih | 0 comments

Saya terus dihadapkan pada satu pertanyaan mendasar. Mengapa upaya membangun birokrasi bersih seringkali terasa seperti mendayung perahu melawan arus sungai yang deras?

Semangat yang dibangun dalam ruang pelatihan, manual prosedur yang tertulis rapi, dan janji komitmen anti korupsi, kerap kali buyar ketika bersentuhan dengan realitas politik dan sosial di luar tembok kantor.

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA) 2025
menjadi cermin yang tajam atas kegelisahan ini. Di satu sisi, saya turut berbangga melihat institusi tempat saya berkarya, Kementerian Agama, dihargai atas inovasi konkretnya dalam pendidikan antikorupsi berbasis nilai agama.

Di sisi lain, sebagai bagian dari masyarakat, saya tidak bisa menutup mata terhadap laporan analitis dari koalisi masyarakat sipil yang menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara nasional justru berada “di titik minus” (ICW dkk., 2025).

Saya tidak ingin sekadar mendeskripsikan fenomena atau mengulang teori good governance. Saya ingin mengartikulasikan pandangan bahwa membangun birokrasi bersih adalah usaha yang tidak bisa parsial.

Ibarat pertarungan di dua arena: arena teknis-instrumental (seperti sistem pengaduan, pelatihan, SOP) dan arena politik-struktural (seperti sistem rekrutmen politik, dinamika kekuasaan, dan kultur patronase).

Kegagalan sering terjadi karena kita hanya fokus pada yang pertama, sambil berharap yang kedua akan berubah dengan sendirinya.

Tulisan ini ingin mendorong para praktisi birokrasi, rekan-rekan ASN, dan pengambil kebijakan untuk melihat kedua arena ini secara utuh dan mengambil peran aktif dalam memengaruhi arena politik-struktural, karena di sanalah akar banyak masalah birokrasi bersemayam.

Birokrasi Bersih

Prinsip birokrasi bersih dalam literatur klasik Weberian menekankan rasionalitas, hierarki, dan impersonalitas. Dalam konteks kontemporer, prinsip ini diterjemahkan menjadi sistem merit (merit system), transparansi, akuntabilitas, dan integritas.

Reformasi birokrasi di Indonesia pasca-1998 telah banyak mengadopsi prinsip-prinsip ini. Kita memiliki UU ASN No. 5 Tahun 2014 Jo UU Nomor 20/2023 yang menjunjung tinggi nilai profesionalitas, UU Keterbukaan Informasi Publik, serta berbagai peraturan tentang gratifikasi dan konflik kepentingan.

Namun, persoalannya adalah kesenjangan implementasi (implementation gap). Penelitian oleh Dwiyanto dkk. (2022) menunjukkan bahwa meski kerangka regulasi telah memadai, implementasinya sangat bergantung pada kepemimpinan politik dan konteks lokal.

Di sinilah analisis dari koalisi masyarakat sipil pada HAKORDIA 2025 menjadi sangat relevan. Mereka tidak menyoroti kurangnya aturan, melainkan pelemahan sistemik yang membuat aturan itu tak berpengaruh.

Tiga pola yang mereka identifikasi—normalisasi konflik kepentingan, sentralisasi kekuasaan, dan patronase—adalah virus yang langsung menyerang jantung prinsip birokrasi bersih: netralitas dan profesionalisme (ICW dkk., 2025).

Membedah Konflik Kepentingan dan Patronase

Mari kita ambil contoh konkret yang diangkat dalam rilis pers tersebut: pembentukan kabinet dengan banyak perangkapan jabatan dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai menjadi alat patronase. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi skalanya yang menjadi sorotan, yaitu:

  • Dari Puncak ke Basis: Praktik perangkapan jabatan dan penempatan orang-orang dekat (cronyism) di level kabinet memberikan sinyal yang sangat kuat ke seluruh jenjang birokrasi. Sinyal itu berbunyi: “Loyalitas dan kedekatan lebih penting daripada kompetensi murni.”


Dalam teori organisasi, ini menciptakan apa yang disebut plurality of norms (keanekaragaman norma), di mana norma formal (berdasarkan aturan) bersaing dengan norma informal (berdasarkan patronase) (Dartanto, 2023). ASN di level menengah dan bawah akan melihat mana yang lebih “menguntungkan” bagi karir mereka. Seringkali, norma informal yang menang.

  • Patronase sebagai “Sistem Bayangan”: Program seperti MBG, dengan anggaran triliunan rupiah, menciptakan rent-seeking opportunities (peluang mencari rente) yang besar.

Ketika pengelolaannya melibatkan yayasan-yayasan yang terafiliasi dengan partai politik tertentu (ICW dkk., 2025), yang terbangun bukanlah sistem pelayanan publik yang efisien, melainkan “sistem bayangan” distribusi sumber daya berdasarkan logika politik balas budi.

Birokrasi formal, dengan SOP dan lelangnya, hanya menjadi kedok bagi sistem informal ini. ASN yang ingin menjaga integritas akan terjepit: menolak berarti melawan arus kekuasaan, menerima berarti mengkhianati sumpah jabatan.

Demotivasi dan Erosi Etika Profesi

Sebagai pengelola SDM Aparatur, saya melihat dampak langsung dari lingkungan seperti ini pada mentalitas dan kinerja ASN, dalam hal:

  1. Demotivasi ASN Berbasis Merit: ASN yang berprestasi, kompeten, dan taat aturan akan merasa karirnya mentok. Mereka melihat orang yang kurang kompeten tetapi memiliki “koneksi” dapat melesat lebih cepat. Ini merusak motivasi intrinsik dan mendorong brain drain secara moral—mereka yang terbaik memilih untuk pasif atau pindah ke sektor lain.
  2. Dilema Etika Harian: ASN di garis depan, seperti pengelola anggaran atau perizinan, terus-menerus dihadapkan pada tekanan dari atasan atau jaringan politik untuk melonggarkan aturan. Pelatihan integritas menjadi abstrak ketika berhadapan dengan pilihan nyata: menuruti tekanan atau merisaukan posisi.
  3. Melemahnya Kepercayaan Internal: Ketika promosi dan penempatan dianggap tidak adil, kepercayaan terhadap institusi dan pimpinannya merosot. Kolaborasi dan inovasi menjadi sulit karena suasana saling curiga dan kompetisi tidak sehat.

Dari Defensif ke Proaktif, dari Internal ke Sistemik

Lantas, apakah kita pasrah? Tentu tidak. Tetapi strateginya harus diperluas. Upaya selama ini cenderung defensif dan internalistik: membuat aturan lebih ketat, memasang CCTV, memperbanyak pelatihan. Itu perlu, tetapi tidak cukup. Kita perlu strategi proaktif dan sistemik.

  • Memperkuat “Benteng” Internal dengan Pendekatan Nilai-Nilai Kuat:
    Inisiatif Kemenag dengan buku antikorupsi lintas agama adalah contoh brilian. Ia membangun pertahanan dari dalam diri individu (character building) berdasarkan nilai-nilai transenden yang lebih kuat dari sekadar rasa takut pada hukum. Program seperti ini perlu dikembangkan untuk semua ASN, tidak hanya guru, dengan diskusi kasus-kasus etika birokrasi yang nyata dan dilematis. Tujuannya adalah menciptakan komunitas praktisi berintegritas yang saling mendukung (community of practice).
  • Berkolaborasi dengan Ekosistem Anti Korupsi:
    Birokrasi tidak boleh terkungkung dalam menara gading. Kemitraan strategis dengan KPK, Ombudsman, dan organisasi masyarakat sipil seperti ICW atau Transparency International Indonesia harus dibangun bukan sebagai bentuk kewajiban, tetapi sebagai sumber pembelajaran dan pengawasan eksternal yang independen. Laporan masyarakat sipil harus dilihat sebagai diagnostic tool, bukan serangan.
  • Advokasi Kebijakan Pro-Birokrasi Bersih dari Dalam:
    Para profesional ASN, terutama di eselon menengah atas yang memahami teknis dan permasalahan utamanya, harus aktif menyuarakan kepentingan birokrasi yang netral dan profesional dalam proses penyusunan kebijakan. Misalnya, advokasi terhadap UU tentang Larangan Perangkapan Jabatan Politik dan Sipil yang lebih tegas, atau perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pelapor pelanggaran (whistleblower) di lingkungan pemerintah. Kita harus menjadi interest group bagi profesionalisme birokrasi.
  • Transparansi Radikal sebagai Senjata:
    Mempercepat dan mempermudah akses publik terhadap informasi, khususnya terkait penganggaran, rekrutmen, dan pengadaan barang/jasa. Teknologi seperti open data portal yang interaktif harus dimanfaatkan. Ketika prosesnya transparan, ruang untuk permainan informal menyempit. ASN juga akan lebih terlindungi karena keputusannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Birokrasi Bersih adalah Pilihan Politik yang Harus Diperjuangkan

Pada akhirnya, membangun birokrasi bersih bukanlah proyek teknis administrasi semata. Ia adalah pilihan politik (political choice) tentang bagaimana negara harus dijalankan: apakah berdasarkan kekuatan uang dan jaringan, atau berdasarkan aturan hukum dan kompetensi.

Sebagai ASN, kita tidak bisa bersikap apolitis dalam artian pasif terhadap pilihan besar ini. Kita harus terlibat secara politik—bukan politik partisipan—melainkan politik dalam artian memperjuangkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Pencapaian Kemenag di HAKORDIA 2025 membuktikan bahwa ruang untuk berkarya nyata masih ada. Namun, maraknya praktik patronase dan konflik kepentingan yang dikritik tajam oleh masyarakat sipil mengingatkan kita bahwa perjuangan itu belum selesai.

Tantangan terbesarnya kini bukan pada merancang sistem yang sempurna di atas kertas, melainkan pada mengkonsolidasikan kekuatan para pendukung birokrasi bersih—baik di dalam birokrasi itu sendiri, di lembaga pengawas, di kalangan akademisi, maupun di masyarakat sipil—untuk secara kolektif memengaruhi arena politik-struktural, agar ia berpihak pada netralitas, profesionalisme, dan kinerja.

Kita tidak boleh hanya menjadi objek reformasi. Kita harus menjadi subjek dan aktor utamanya. Hanya dengan demikian, cita-cita birokrasi bersih yang melayani kepentingan publik, bukan kelompok tertentu, dapat menjadi kenyataan.

2
0
Andriandi Daulay ♥ Professional Writer

Andriandi Daulay ♥ Professional Writer

Author

H. Andriandi Daulay lahir di Pekanbaru pada 24 Oktober 1980. Saat ini menjabat sebagai Analis SDM Aparatur Madya di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau. Latar belakang pendidikan di bidang Akuntansi (STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta) dan Magister Ilmu Administrasi (Universitas Islam Riau), ia berfokus mendalami manajemen sumber daya manusia, reformasi birokrasi, dan transformasi ASN. Berbagai kursus dan pelatihan telah diikutinya, termasuk Sekolah Anti Korupsi ASN (SAKTI) ICW Jakarta, Pelatihan Fungsional Kepegawaian BKN, serta Seminar Nasional tentang Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja. Ia juga meraih Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2017) atas pengabdiannya sebagai ASN. Sebagai seorang profesional di bidang kepegawaian, H. Andriandi Daulay aktif menulis dan berbagi wawasan. Karya-karyanya meliputi buku "Transformasi Birokrasi Wujud Penataan Pegawai" (2021), "Cinta Tanah Air Perspektif Kepegawaian" (2022), dan "Membentuk Pribadi ASN Profesional Berkarakter" (2023). Selain itu, ia juga menjadi narasumber dalam berbagai pelatihan dan seminar terkait kepegawaian. Dalam pandangannya, tata kelola SDM yang baik menjadi kunci utama dalam menciptakan pelayanan prima bagi masyarakat. Dengan semangat berbagi ilmu, ia aktif menulis di blog dan berkontribusi dalam pengembangan karier Analis Kepegawaian.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post