Tak lama lagi, kita akan segera tiba di hari raya Idul Fitri. Hari kemenangan yang penuh makna bagi yang menjalankan ibadah puasa. Dalam suasana seperti itu, ada sebuah fenomena yang menjadi kebiasaan bagi masyarakat Indonesia dalam menyambut hari kemenangan. Kita disibukkan dengan berbagai kebutuhan mudik, baju lebaran, dan juga berbagi amplop berisi lembaran rupiah untuk saudara dan handai taulan di kampung tercinta. Sebuah fenomena yang kadang terasa paradoks dengan makna kemenangan itu sendiri, kemenangan dalam berjuang melawan berbagai hawa nafsu untuk kembali fitri sebagai manusia.
Di sisi lainnya lagi, THR hadir bagi birokrat untuk memfasilitasi hari kemenangan. Akankah THR dapat memberikan rasa kemenangan bagi birokrat? Atau justru ada THR lain, yang kehilangan makna, yang justru menambah rasa lapar dan dahaga setelah berjuang menahan diri selama puasa?
—-
Dari waktu ke waktu tak terasa pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) sudah berlangsung sejak lama. Namun, masih saja ada pro dan kontra antara pemberi kerja dengan pekerja. Sebab, bagi perusahaan pemberi kerja, di satu sisi, pemberian THR satu kali gaji dianggap menambah beban dan mengurangi profit perusahaan. Akan tetapi, di sisi lain, THR sangat dinantikan dan diharapkan oleh para pekerja.
Sudah menjadi tradisi, momen lebaran digunakan untuk mudik. Momen ini digunakan untuk berkumpul dengan orang tua, sanak saudara, dan handai taulan. Momen ini juga digunakan untuk saling memaafkan, dan mempererat tali silaturahmi. Selain itu, tak jarang momen ini dibumbui dengan kegiatan berbagi rezeki.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan THR-nya ‘abdi negara’ yang selama ini terkesan diam dan tidak peduli dengan hiruk pikuk adanya THR?
Bila mau jujur, suara-suara sumbang tentang THR ini sudah lama terdengar. Terlebih lagi dari kalangan abdi negara golongan bawah. Bahkan, mereka sering bertanya-tanya dan berkeluh kesah, mengapa PNS tidak mendapatkan THR seperti halnya karyawan di perusahaan swasta?
Kejujuran suara dari lapisan bawah ini nyaris tak pernah dihiraukan oleh pemegang kekuasaan. Tak jarang, hal itu malah memunculkan hembusan isu-isu buruk di masyarakat bahwa di jajaran birokrasi sudah tidak perlu dan tidak membutuhkan THR.
Anggapan ini beralasan karena citra buruk yang sudah tertanam di benak orang awam yang menganggap PNS itu korup. THR itu telah diperoleh dari pundi-pundi subhat dan haram yang sudah biasa dilakukan. Bisik-bisik masyarakat ini bisa jadi bukan fitnah, tetapi fakta yang terus terjadi.
Kejengkelan dan kegeraman masyarakat mungkin semakin menjadi-jadi akibat peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK baru-baru ini. Hal itu memunculkan keyakinan bahwa praktik korupsi terus berjalan. Praktik ini telah dibungkus dengan berbagai cara, seperti suap, gratifikasi, upeti, dan fee. Meskipun upaya pemberantasannya juga tak kalah garang.
Yang menyesakkan dada, peristiwa OTT KPK di Jawa Timur itu terjadi menjelang momen lebaran, dengan dalih sebagai pemberian THR. Akibatnya, ‘Tunjangan Hari Raya’ berubah menjadi ‘Tahanan Hari Raya’. Mereka melakukannya tanpa rasa malu dan takut pada hukum negara maupun hukum Allah.
Peristiwa tersebut makin memperburuk citra aparatur negara. Hal ini pun makin menimbulkan prasangka buruk masyarakat terhadap jajaran birokrasi yang akan berdampak pada aparat negara lain yang jujur dan berintegritas. Tindakan ini seperti peribahasa, ‘nila setitik rusak susu sebelanga’.
Tidaklah aneh ‘THR’ tersebut diperoleh dengan cara memanfaatkan dana operasional siluman nonbudgetter (taktis) yang berasal dari praktik-praktik koruptif. Modus yang terjadi pun bisa bermacam-macam, mulai dari pemberian upeti atas nama ‘THR’ antara penyuap dan yang disuap, atau bisa jadi pemberian ‘THR’ dari atasan kepada bawahan, atau sebaliknya dari bawahan kepada atasan, karena balas budi.
Bukan itu saja, bahkan hiruk pikuk ‘THR’ ini juga menjangkiti sebagian oknum pencari warta maupun oknum LSM yang mengganggap momen bagi-bagi rejeki atas nama ‘THR’ adalah sesuatu yang bagus, baik dan halal.
Meskipun, mereka tahu hal itu terlarang dan bila ditelisik di dalam dokumen anggaraan, biaya bagi-bagi ‘THR’ itu tidak mungkin tersedia.
Tentu bagi oknum aparat berbagai cara dapat dilakukan untuk menyediakan dana ‘THR’ tersebut. Tak sulit bagi mereka merekayasa bukti-bukti pengeluaran sehingga pertanggungjawabannya layak secara administrasi dan hukum. Walaupun, semua itu hakekatnya adalah perbuatan yang tercela.
Terlebih jika hal itu dilakukan pada saat bulan Ramadhan yang seharusnya dapat menjaga kesucian hati dan perilaku serta melatih kejujuran jiwa, bukan malah membuat kedustaan belaka.
Seperti sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang berbunyi:
Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga (HR. Abdullâh bin Mas’ûd R.A.).
Juga dalam hadits lain yang berbunyi:
Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong) (HR. Ahmad dan Imam Bukhori).
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah baru-baru ini, akhirnya Pemerintah benar-benar merealisasikan pemberian THR kepada para aparatur sipil negara maupun pejabat negara yang sudah kita rasakan selama dua tahun ini. THR ini merupakan ‘kompensasi’ tidak adanya kenaikan gaji.
Mengapa Pemerintah akhirnya memberikan THR pada jajaran birokrasi? Bukankah citra yang terbangun di masyarakat selama ini adalah di birokrasi sudah banyak ceperan, penghasilannya berlebih, masih banyak KKN, serta masih menerima suap dan gratifikasi?
Upaya baik Pemerintah ini sebenarnya bukan tanpa alasan, yaitu untuk memberikan tambahan penghasilan berupa THR di jajaran birokrasi. Tentu saja, maksud dan tujuan utamanya adalah agar kesejahteraan aparatur negara menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan kinerja dan mengurangi kesenjangan sosial, yang pada akhirnya berharap terciptanya Pemerintahan yang bersih dari KKN.
Pertanyaan selanjutnya adalah, setelah Pemerintah memberikan tambahan penghasilan berupa THR kepada ASN apakah sekarang ini praktik bagi-bagi ‘THR’ sudah sirna atau malah masih terus terpelihara?
Satu pekan sebelum hari raya, saat tulisan ini dibuat pun ternyata sudah terdengar nyaring kasak-kusuk-nya. Mulai terdengar di telinga saya suasana berbagi ‘THR’, yaitu atasan memberi bawahan, bawahan memberi atasan, yang di sana memberi yang di sini, dan yang di sini memberi yang di sana.
Istilah THR yang seharusnya adalah Tunjangan Hari Raya kini berubah menjadi ‘sandi-sandi’ lelucon, seperti ‘Titipan Hari Raya’, ‘Tilepan Hari Raya’, ‘Tuntutan Hari Raya’, ataupun ‘Tanggungan Hari Raya’. Bahkan, yang lebih ekstrem adalah sindiran bagi mereka yang terkena OTT, yaitu ‘Tahanan Hari Raya’.
Sebagai aparatur negara yang peduli terhadap kemakmuran negeri ini, kita mungkin bertanya, tindakan dan solusi apa yang harus kita lakukan, atau kita perjuangkan, supaya praktik-praktik nista yang menjamur ini bisa dikurangi dan dibersihkan?
Terkadang terbersit rasa putus asa. Tentu saja, semua akan mustahil jika kita tidak bahu-membahu dalam berniat dan beritikad baik untuk mencapainya.
mantap nih bapak.