“Lagi sibuk, Mas?”,
tanya Pak Eddy padaku satu waktu jelang malam pergantian tahun baru imlek 2565 di Bumi Khatulistiwa.
“Kok ga pergi jalan keluar, rugi lho Mas! Malam tahun baru imlek di Pontianak tapi engga ke mana-mana,” lanjut beliau yang mungkin merasa aneh melihatku masih betah di ruang kerja meski bunyi petasan ramai di luar malam itu.
Belum sempat dijawab, si bapak malah nyerocos dengan logat Sundanya yang lumayan kental meski sudah lama menetap di Ponti, “Beneran rugi atuh, Mas. Mumpung masih di sini. Mumpung si Mas teh belum pindah.”
“AAMIIIIN!”
Buru-buru kuaminkan kalimat terakhir Pak Eddy, karena setiap ucapan adalah doa dan siapa tahu itu adalah doa—tak sengaja—yang justru akan dikabulkan oleh Yang Maha Punya, aamiin 🙂
Bapak Eddy Suhendy, nama lengkapnya. Seorang purnawirawan marinir dengan usia jelang 70 tahun merupakan salah seorang security di tempatku berkarya saat itu. Satu-satunya bahkan, security yang dikenal oleh para abdi di sana dengan ketegasannya (baca: galak) yang bisa membuat jiper para abdi dengan mental nanggung.
Tanpa tedeng aling-aling beliau tidak akan segan untuk menegur abdi, tamu, ataupun siapa saja yang tidak menaati aturan saat memasuki lingkungan tempat di mana kepada beliau diserahkan tanggung jawab menjaga keamanan dan kenyamanan.
“Hei, Mas! TOLONG parkir motornya jangan di sini dong, ini bukan tempat parkir. Tempat parkirnya tuh sudah ada disediakan di belakang,” ujarnya dengan kata-kata yang halus namun dilafalkan dengan tegas. Dengan kalimatnya itu, bisa dipastikan si empunya motor akan serta-merta memindahkan parkirnya.
Pernah ada seorang abdi yang hampir termehek-mehek gara-gara dikuliahi gratis oleh si bapak. Abdi baru sih emang, baru lulus pendidikan, umur belum genap di angka 25. Ceritanya, dia memasuki area kantor di luar jam kerja, tanpa ba-bi-bu di pos jaga langsung menuju ke ruangan.
“Lihat tuh, Mas,” katanya padaku yang kebetulan sedang duduk menemani beliau di pos jaga saat itu.
“Itu anak palingan lah seumuran dengan cucuku! Masuk kantor seenaknya saja, ngerti aturan ga dia?! Mas liat aja nanti, habis dia Bapak bikin! Jangan mentang-mentang kita hanya tukang jaga, terus ga dianggap ama dia!”
Dan benar, tak lama kemudian si anak itu ujug-ujug datang ke pos jaga menghampiri si bapak, dan bertanya dengan intonasi suara dan ekspresi yang kurang mengenakkan, “Mmm.. pintu ruang saya dikunci ya, Pak?”
Busyet! Jangankan Pak Eddy, aku yang kebetulan turut mendengarkan bahasa “merendahkan” itu saja panas dibuatnya. Benar bilang Pak Eddy tadi, si anak baru itu yang (mungkin) merasa “kasta”-nya lebih tinggi seenaknya saja bertanya serasa dia yang punya ruangan saja.
Apa lah susahnya bertanya dengan santun serupa yang muda menghormat kepada yang lebih tua. “Mohon maaf, Pak. Bisa minta tolong pinjam kunci ruangan ga. Maaf tadi buru-buru sehingga tidak sempat mampir melapor dengan Bapak,” adalah misalnya.
Dan Pak Eddy, dengan tidak mengubah posisi duduknya menghadap televisi di pos jaga, (masih coba dibuat) pelan berucap, ”Anda ini ORANG atau bukan?”
Si abdi muda yang merasa bingung malah balik bertanya, “maksudnya, Pak?”
“Anda tahu aturan ga?! Tahu tata-tertib di kantor GA?!” mulai naik nada bicara Pak Eddy yang sepertinya sudah tidak bisa ditahan lagi, “Jelek-jelek gini, saya ini orang juga! TAHU GA ANDA?! Tapi biar saya hanya tukang jaga, saya masih tahu aturan!”
Pucat muka si abdi muda makin memucat tatkala Pak Eddy mulai berdiri sambil memegang buku yang entah apa judulnya, “INI BUKU ATURAN TATA-TERTIB DI LINGKUNGAN KANTOR SINI!
Di sini jelas ditulis jika akan memasuki ruangan di luar jam kerja harap melapor terlebih dahulu kepada petugas jaga.. MAU MUKA ANDA SAYA TEMPELKAN BUKU INI, HAH?!“
“Mmm.. ma.. eh, ma.. af.. Maafkan saya, Pak”, akhirnya terucap juga kata itu dari mulut si abdi muda yang tampak jelas bagiku dia menahan agar air matanya tidak keluar sehabis menerima “pencerahan” dari Pak Eddy.
Dan Pak Eddy—selayaknya orang tua—begitu mendengar si anak telah meminta maaf langsung dengan serta merta luluh hatinya. Setelah menurunkan nada bicaranya seraya memberikan sedikit nasihat kepada si abdi muda, Pak Eddy pun membukakan pintu ruang kerja yang tadinya masih terkunci.
Sekembalinya Pak Eddy ke pos jaga, aku pun bertanya kepada beliau, “Pak, barusan tadi beneran buku tata-tertib kantor kita? Boleh pinjam dong, Pak. Saya juga kebetulan belum pernah baca juga nih, Pak.”
“Buku?! Ooh, buku saya buat nabok anak itu tadi ya? Ha.. Ha.. Nih, ambil!”, katanya sambil melemparkan buku yang tadi dimaksud.
Aku yang tadinya memang bersemangat untuk mengetahui apa saja aturan tertulis tata-tertib kantor ini, langsung tersenyum dan akhirnya ikut tertawa setelah pelan ku eja huruf-huruf kapital yang tercetak di kulit depan buku itu.
“BUKU TAFSIR MIMPI, Pengarang: Mbah Gurah”
Jadi,
setelah si bapak menyatakan keanehannya melihatku yang tidak pergi keluar menikmati malam pergantian tahun imlek di Bumi Khatulistiwa, beliau mengeluarkan empat lembar kertas yang penuh berisi tulisan tangannya,
“Mas bisa tolong saya sebentar ga? Itu juga mah kalau si Mas teh tidak repot.”
Setelah kukatakan bahwa aku kebetulan tidak sedang sibuk, tidak merepotkan, dan yups! aku akan bantu kalau mampu, si bapak menghaturkan lembaran kertas tadi kepadaku, “Mmm… ini lho Mas. Bapak mau minta tolong diketikkan ini nih.”
Pelan kubaca lembar demi lembar tulisan itu. Sungguh, mengagumkan sekali tulisan tangan orang-orang tua kita zaman dulu. Tulisan mereka ini mesti berbentuk sambung, condong ke kanan itu, rapi pula!!
Aku yakin dituliskannya sepenuh hati dan kesabaran, berbeda dengan kebiasaan orang masa kini mengetik di gadget-nya dengan istilah yang disingkat-singkat, tak peduli soal kesopanan apalagi ejaan yang disempurnakan.
“Ini.. eh, syair lagu ya, Pak?!”, sebuah simpulan yang kubuat setelah melihat rangkaian kalimat yang berima, plus ada tulisan reff-nya. Namun, “Ini.. eh, maaf nih Pak. Saya sepertinya belum pernah mendengar kata-kata ini didendangkan. Lagu siapa ini Pak?”
Meski awalnya sempat mau kutebak Pak Eddy sendirilah pengarangnya, tapi ada keraguan saat akan menyebutkan si empunya syair lagu ini, ketika membayangkan “kegalakan” orang yang kuduga itu amat berbanding terbalik dengan rangkaian kata yang membentuk kalimat—bagiku—amat puitis dan … mmh, romantis! 🙂
“Mmm.. I.. Iya nih, Mas. Err.. iseng-iseng gitu. Bapak kan kebetulan kalau di rumah suka gitaran, eh. Terus suka, eh.. iseng juga gitu, buat-buat lagu. Heh. Terus.. Mmm.. Ya itu.. Tadi siang itu ada anaknya tetangga minta tolong diajarin lagu itu.”
Pak Eddy melanjutkan menjawab dengan sedikit malu-malu, “Dia, eh.. minta tolong ke Ibu di rumah tadi. Bilang dia suka lagu yang.. ehm, sering dia dengar rupanya kalau pas Bapak lagi iseng gitaran di rumah, gituu...”
Meski dengan tergagap, Pak Eddy, seseorang yang banyak dikenal lebih karena ketegasannya sebagai seorang security, ternyata di usia senjanya masih bisa merangkai kata, masih bisa membuat karya..
Sebuah karya yang—justru! malah! WOWW!—berkisah tentang cinta 🙂
Dari sini aku jadi menyadari, pak Eddy, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai generasi kolonial, sekilas galak (atau kejam?) sebenarnya tidaklah sedang menjajah orang-orang yang lebih muda.
Beliau hanyalah manusia biasa, seperti pada umumnya, yang lebih lama mengenyam asam garam kehidupan, dan mengingatkan kita generasi muda, bahwa etika, sopan santun, dan tenggang rasa adalah penanda bahwa kita masih manusia.
Memaknai hidup dengan mendengarkan suara alam berwujud karya pada sebuah institusi pengawasan intern pemerintah
0 Comments