Pernyataan Presiden Jokowi pada Rapat Pimpinan TNI-Polri pada hari Selasa 1 Maret 2022 di Mabes TNI Jakarta tentang bahaya radikalisme telah ditanggapi dengan munculnya lima indikator radikalisme sebagaimana disebutkan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid.
Menurut Ahmad Nurwakhid, yang mengungkapkan ciri-ciri penceramah radikal yaitu:
- mengajarkan ajaran yang anti Pancasila,
- mengajarkan paham takfiri yang meng-kafir-kan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama,
- menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan membangun sikap membenci dan menciptakan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks,
- memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas), dan
- memiliki pandangan antibudaya ataupun kearifan lokal keagamaan.
Lima indikator radikalisme tersebut langsung menjadi perhatian dari banyak pihak dan media-media televisi menjadikannya sebagai bahan diskusi untuk mendapatkan banyak perspektif. Tulisan ini ingin melihatnya dari perspektif manajemen risiko dalam bernegara.
Manajemen Risiko dalam Bernegara
Risiko menurut ISO 31000:2018 adalah dampak dari ketidakpastian terhadap sasaran. Seperti halnya sebuah organisasi, negara juga memiliki sasaran/tujuan. Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) telah mencantumkan 4 (empat) tujuan bernegara yaitu:
- Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
- Memajukan kesejahteraan umum,
- Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan demikian NKRI juga memiliki risiko tidak tercapainya 4 (empat) tujuan bernegara tersebut. Dan salah satu penyebab tidak tercapainya tujuan bernegara tersebut adalah radikalisme.
Istilah radikalisme merupakan pengembangan suku kata radikal. Kata radikal berasal dari bahasa Latin radix atau radici. Radix dalam bahasa Latin berarti ‘akar’. Istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar dan fundamental.
Radikalisme adalah suatu kepercayaan atau bentuk ekspresi dari keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem, menurut Cambrigde Dictionary.
Definisi radikalisme tersebut senada dengan definisi kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memaknai radikalisme sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Mendasarkan pengertian radikalisme menurut Cambridge Dictionary ataupun makna kedua radikalisme menurut KBBI, maka wajar bila radikalisme dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan bernegara kita.
Perubahan dan pembaharuan sosial yang terjadi dengan cara kekerasan atau drastis/ekstrem tentu akan memakan ongkos sosial yang mahal. Tidak dapat dimungkiri bahwa perubahan sosial yang drastis sering menimbulkan korban jiwa. Ini tentu bertentangan dengan tujuan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Perubahan sosial yang terjadi dengan cara kekerasan atau drastis/ekstrem akan menyebabkan situasi yang tidak normal. Dalam situasi yang tidak normal maka tujuan “memajukan kesejahteraan umum” dan tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa” akan sangat sulit diwujudkan.
Dari sisi manajemen risiko dalam bernegara, risiko tidak tercapainya tujuan bernegara yang di antaranya disebabkan oleh radikalisme ini harus dimitigasi. Untuk memitigasi radikalisme maka sumber-sumber munculnya radikalisme perlu diidentifikasi.
BNPT telah memperhatikan bahwa salah satu sumber-sumber radikalisme berasal dari para penceramah. Oleh karena itu, BNPT menyampaikan 5 indikator radikalisme agar menjadi perhatian masyarakat dalam memilih para penceramahnya.
Apa yang telah dilakukan oleh BNPT ini merupakan hal sesuai dengan konsep manajemen risiko. Bila tidak dilakukan mitigasi terhadap berkembangnya paham radikalisme tentu akan meningkatkan risiko tidak tercapainya tujuan bernegara kita.
Memang ada yang mempertanyakan mengapa hanya penceramah yang disasar dengan perhatian radikalisme? Situasi semakin memanas ketika muncul 180-an nama penceramah yang dimasukkan dalam daftar penceramah radikal di media sosial.
Akan tetapi, BNPT, melalui pernyataan Direktur Deradikalisasi BNPT Prof. Irfan Idris, telah mengklarifikasi bahwa BNPT tidak pernah mengeluarkan daftar tersebut.
Mitigasi Risiko Radikalisme di Lingkungan ASN
Pertanyaan mengapa hanya penceramah yang disasar dengan perhatian terhadap radikalisme ini tidak sahih. Radikalisme sebetulnya telah menjadi perhatian baik di lingkungan penceramah maupun di lingkungan lainnya, termasuk di lingkungan ASN.
Pemerintah telah menyadari bahaya radikalisme ini juga dapat muncul di kalangan ASN. Oleh karena itu, Pemerintah telah melakukan mitigasi risiko terkait paham radikalisme ini melalui kompetensi yang harus dimiliki oleh ASN.
Melalui Permenpan RB Nomor 38 tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Jabatan Aparatur Sipil Negara, ASN harus memiliki Kompetensi Sosial Kultural.
Kompetensi ini yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan jabatan. Dalam Kompetensi Sosial Kultural tersebut diatur indikator perilaku antara lain:
- Mampu memahami, menerima, peka terhadap perbedaan individu/kelompok masyarakat,
- Terbuka, ingin belajar tentang perbedaan/kemajemukan masyarakat,
- Mampu bekerja bersama dengan individu yang berbeda latar belakang dengannya,
- Menampilkan sikap dan perilaku yang peduli akan nilai-nilai keberagaman dan menghargai perbedaan
- Membangun hubungan baik antar individu dalam organisasi, mitra kerja, pemangku kepentingan;
- Bersikap tenang, mampu mengendalikan emosi, kemarahan dan frustasi dalam menghadapi pertentangan yang ditimbulkan oleh perbedaan latar belakang, agama/kepercayaan, suku, jender, sosial ekonomi, preferensi politik di lingkungan unit kerjanya,
- Mempromosikan sikap menghargai perbedaan di antara orang-orang yang mendorong toleransi dan keterbukaan,
- Melakukan pemetaan sosial di masyarakat sehingga dapat memberikan respon yang sesuai dengan budaya yang berlaku,
- Menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik atau mengurangi dampak negatif dari konflik atau potensi konflik,
- Menginisiasi dan merepresentasikan pemerintah di lingkungan kerja dan masyarakat untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman dan menerima segala bentuk perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat,
- Mampu mendayagunakan perbedaan latar belakang, agama/kepercayaan, suku, jender, sosial ekonomi, preferensi politik untuk mencapai kelancaran pencapaian tujuan organisasi,
- Mampu membuat program yang mengakomodasi perbedaan latar belakang, agama/kepercayaan, suku, jender, sosial ekonomi, preferensi politik.
Dengan Kompetensi Sosial Kultural itu maka 5 indikator radikalisme sebagaimana yang disampaikan BNPT dengan sendirinya tidak akan berkembang di lingkungan ASN.
Sebagai contoh, dengan melaksanakan indikator perilaku “menginisiasi dan merepresentasikan pemerintah di lingkungan kerja dan masyarakat untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberagaman dan menerima segala bentuk perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat” akan menghilangkan indikator radikalisme “mengajarkan ajaran yang anti Pancasila” serta indikator radikalisme “mengajarkan paham takfiri”.
Peran Strategis ASN: Transformasi Kompetensi
Tidak dapat dimungkiri bahwa ASN memiliki peran strategis di masyarakat. Dengan adanya Kompetensi Sosial Kultural diharapkan ASN dapat mentransformasikan kompetensi yang dimilikinya kepada masyarakat di sekitarnya sehingga Kompetensi Sosial Kultural tersebut berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Pada saatnya nanti, ketika Kompetensi Sosial Kultural telah menjadi bagian dari masyarakat, mungkin BNPT tidak perlu lagi mengampanyekan 5 indikator radikalisme karena masyarakat akan dengan sendirinya imun/kebal terhadap kampanye-kampanye paham radikalisme.
Oleh karena itu, sudah semestinya setiap ASN membekali diri dengan Kompetensi Sosial Kultural sebagaimana yang diharapkan dan segera mentransformasikan kepada masyarakat yang berinteraksi dengan para ASN tersebut.
Dengan demikian ASN ikut berperan dalam memerangi radikalisme yang dapat mencegah tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara.
Epilog: Internalisasi Sebelum Tranformasi
Radikalisme akan selalu menjadi ancaman bagi tercapainya tujuan bernegara. Semua pihak harus berperan bukan hanya BNPT tetapi juga para ASN. Transformasi Kompetensi Sosial Kultural dari para ASN kepada masyarakat merupakan tools yang efektif dalam membendung radikalisme.
Akan tetapi, sebelum mampu mentransformasikan Kompetensi Sosial Kultural tersebut para ASN perlu menginternalisasikan dulu Kompetensi Sosial Kultural tersebut ke dalam dirinya masing-masing.
Oleh karena itu, tulisan ini mengajak untuk mampu menginternalisasikan Kompetensi Sosial Kultural dalam diri para ASN serta mampu mentransformasikannya kepada masyarakat di sekitarnya.
Inspektur pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.
Ijin Pak, Bagaimana mengukur kompetensi Sosial Kultural seorang ASN di masyarakat? Kedua, apakah dengan memiliki kompetensi sosial kultural, seorang ASN dapat dikatakan bebas dari pengaruh radikalisme? Terimakasin.