Jakarta, pasca lepas atribut sebagai ibukota negara, mau ke mana? Begitu judul sebuah diskusi mini dalam rangka menyiapkan policy paper bagi masa depannya.
Jakarta secara konseptual dapat saja didesain seperti kota-kota besar diberbagai negara. Persoalannya tinggal memosisikannya dalam konteks normatif, sehingga selaras menurut konstitusi dan undang-undang.
Selama ini, Jakarta adalah Ibukota Negara dengan sumbu otonominya di level provinsi (UU 29/2007). Semua entitas di bawahnya adalah bagian dari perangkat daerah otonom Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, sebagaimana provinsi lain, diletakkan pula sebagai wilayah administrasi pemerintah pusat.
Dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta juga wakil pemerintah pusat di daerah. Sebetulnya, duplikasi Jakarta sebagai wilayah administrasi tak diperlukan, kecuali sebagai daerah otonom murni.
Alasannya, semua entitas kota dan kabupaten di bawah provinsi seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat hingga Kabupaten Kepulauan Seribu bukanlah daerah otonom yang perlu diawasi sebagaimana provinsi di luar Jakarta. Semua entitas itu hanyalah perangkat daerah otonom provinsi yang langsung dibawahinya.
Sebagai wilayah administrasi, semua provinsi diberi tugas dan wewenang mengawasi kabupaten/kota otonom. Dengan asumsi pusat tak mungkin mengawasi kabupaten/kota yang sedemikian banyak (514), maka cara efektifnya mengangkat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di daerah (Suwandi, 2005).
Masalahnya, di bawah Provinsi DKI Jakarta tak ada lagi daerah otonom, kecuali entitas administrasi sebagai perangkat pelaksana pemerintahan dari walikota sampai lurah.
Secara konstitusional, daerah hanya dibedakan sebagai daerah simetrik (daerah biasa) dan asimetrik (daerah khusus dan istimewa, Pasal 18B ayat 1 & 2 UUD 1945). Daerah asimetrik pada umumnya diperlakukan berbeda dari sisi tertentu (ekonomi, sosial-budaya, dan politik).
Dari sisi lain, daerah dikenali sebagai daerah otonom dan daerah administrasi (UU 23/2014). Meski demikian daerah di level provinsi berduplikasi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi. Kondisi ini menjadikan provinsi berperan fused model tak terkecuali Jakarta.
Dengan realitas itu, Jakarta ke depan idealnya cukup sebagai daerah otonom murni. Keuntungannya, Jakarta akan lebih lincah dan kreatif guna mengembangkan diri sebagai wilayah perkotaan yang khas.
Otonomi luas itu akan mendorong Jakarta mengembangkan diri sebagai kota bisnis nomor satu di Asia. Titik berat otonominya akan memberi ruang yang lega bagi pengembangan sektor ekonomi, sosial budaya, dan politik lokalnya. Selama ini Jakarta tersandera oleh pusat dan daerah di sekelilingnya.
Pengembangan ekonomi perkotaan akan lebih mungkin jika Jakarta inklusif bagi ragam bisnis terbaik di dunia. Pulau-pulau reklamasi dan terpencil dapat menjadi penopang pariwisata. Sementara wilayah Tanah Abang dan Mangga Dua dapat menjadi sentral perdagangan international.
Transportasi dan infrastruktur tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam mendorong mobilisasi urban ke sentra-sentra ekonomi. Aspek sosial budaya sebaiknya ditekankan bagi pengembangan kemajemukan warga sebagai titik kekhasan. Miniatur tenun kebangsaan dapat ditemukan di Jakarta yang mewakili seluruh keanekaan.
Identitas Jakarta adalah identitas ke-Indonesiaan yang paling representatif dipertontonkan sekaligus contoh bagaimana hidup bersama dalam harmoni perbedaan. Ini tantangan besar di tengah politik identitas menjadi momok di hari-hari kemaren, kini dan akan datang.
Walau demikian, unsur-unsur minoritas seperti Orang Asli Betawi (OAB) penting mendapatkan perhatian sebagaimana afirmasi bagi kelompok tertentu di Provinsi Papua. Pengecualian positif itu tak lain kecuali dengan maksud menjaga histori selain merawat keunikan dan kearifan lokal.
Mereka pun tak sekedar menjadi tontotanan, tetapi juga dilibatkan dalam proporsi politik pemerintahan di Jakarta. Bagian terakhir itu, tentu saja, perlu diatur sebaik mungkin agar alokasi kelompok minoritas terakomodir dalam ruang parlemen lokal bila tidak di tingkat eksekutif.
Bila ruang legislatif lokal di Papua dapat diisi oleh sedikit-banyak representasi Orang Asli Papua (OAP), ada baiknya hal yang sama diberlakukan pula bagi Orang Asli Betawi (OAB) di parlemen lokal Jakarta. Saya pikir inilah kira-kira isi otonomi baru Jakarta ke depan.
Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara
Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.
0 Comments