Proses rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sering menjadi sorotan, terutama karena adanya aturan yang terkesan sederhana, seperti kewajiban memakai sepatu hitam selama ujian.
Aturan ini sebenarnya memiliki dasar hukum dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan seleksi CPNS harus menjunjung tinggi prinsip kompetensi, transparansi, dan akuntabilitas.
Kewajiban memakai sepatu hitam
dianggap mencerminkan kedisiplinan dan kepatuhan calon PNS terhadap peraturan yang ditetapkan. Namun, dalam praktiknya, sejumlah peserta CPNS mengakalinya dengan melapisi sepatu mereka menggunakan lakban hitam.
Fenomena ini mencuat secara nasional dan sempat viral, seperti yang terjadi di Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan adanya celah pemahaman terkait kepatuhan terhadap aturan yang menjadi nilai dasar seorang PNS.
Ketentuan ASN dan Kepatuhan terhadap Peraturan
Sebagai calon birokrat, seorang PNS diharapkan menjadi contoh dalam menjunjung integritas dan disiplin, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf c dan e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).
Pasal tersebut mengamanatkan ASN untuk menjaga integritas moral dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas publik. Mengakali peraturan sejak proses seleksi justru mencerminkan kegagalan nilai-nilai dasar tersebut.
Hal ini juga bertentangan dengan prinsip meritokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU ASN, di mana rekrutmen PNS harus mengedepankan prinsip kompetensi dan perilaku profesional. Melanggar aturan kecil seperti pemakaian sepatu hitam dapat menjadi sinyal awal terhadap ketidaksungguhan individu untuk mengikuti aturan lebih besar di masa depan.
Akar Permasalahan: Mengapa Hal Ini Terjadi?
- Pemahaman yang Lemah terhadap Aturan: Banyak peserta tidak memahami bahwa aturan kecil mencerminkan kedisiplinan yang menjadi dasar penting dalam birokrasi.
- Budaya Ketidakpatuhan: Dalam beberapa kasus, budaya mencari “jalan pintas” sering terjadi, sehingga melahirkan perilaku mengakali aturan.
- Kurangnya Ketegasan Pengawasan: Proses seleksi kadang kurang didukung dengan pengawasan yang ketat terhadap detail teknis seperti pakaian peserta.
- Pendidikan Karakter yang Lemah: Pendidikan formal cenderung menitikberatkan pada aspek akademik daripada membangun kesadaran moral dan integritas.
Dampak terhadap Kualitas Birokrasi di Masa Depan
Kualitas birokrat di Indonesia selama ini masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan laporan The World Bank (2020), Indeks Efektivitas Pemerintahan Indonesia berada di peringkat 55 dari 100, menunjukkan masih adanya kelemahan dalam pengelolaan birokrasi.
Selain itu, studi dari Transparency International (2022) menempatkan Indonesia pada skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang mengindikasikan rendahnya integritas dalam sektor publik.
Jika pelanggaran kecil seperti mengakali aturan rekrutmen dibiarkan, hal ini dapat mengakar menjadi kebiasaan buruk yang berdampak pada kualitas pelayanan publik di masa depan. Birokrat yang tidak disiplin berpotensi menghadirkan pelayanan yang tidak optimal dan memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Teori yang Relevan: Human Capital dan Birokrasi
Dalam teori Human Capital yang dikembangkan oleh Gary Becker (1964), kualitas sumber daya manusia merupakan aset penting dalam menentukan keberhasilan organisasi, termasuk birokrasi. Hal ini sejalan dengan laporan UNDP (2021), yang menyoroti bahwa pengembangan integritas dan kompetensi menjadi kunci keberhasilan reformasi birokrasi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Studi lain oleh Darmawan et al. (2022) dalam jurnal SAGE Open menyebutkan bahwa pengembangan karakter selama proses rekrutmen memainkan peran penting dalam membangun birokrat yang kompeten dan berintegritas.
Rekomendasi: Mengintegrasikan Nilai Moral dan Kepatuhan dalam Seleksi CPNS
Untuk mengatasi persoalan fenomena “mengakali sepatu hitam” dalam proses seleksi CPNS, sejumlah langkah dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem rekrutmen, meningkatkan kesadaran akan pentingnya kepatuhan terhadap aturan, serta menciptakan lingkungan seleksi yang mendukung nilai-nilai integritas.
Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan adalah dengan memasukkan pendidikan karakter ke dalam proses seleksi. Hal ini dapat diwujudkan melalui modul pendidikan karakter atau simulasi integritas yang memberikan pemahaman lebih dalam kepada peserta mengenai pentingnya nilai kedisiplinan dan tanggung jawab dalam birokrasi.
Dengan cara ini, peserta tidak hanya diuji kompetensinya, tetapi juga pembentukan karakternya sebagai calon abdi negara.
Selain itu, sosialisasi aturan harus dilakukan secara lebih menyeluruh dan sistematis.
Setiap peserta harus memahami bahwa aturan kecil, seperti kewajiban memakai sepatu hitam, tidak semata-mata tentang pakaian, tetapi merupakan simbol kedisiplinan yang mencerminkan kesiapan seseorang untuk mematuhi peraturan lebih besar dalam pelayanan publik.
Sosialisasi ini dapat diperkuat dengan komunikasi yang lebih intensif melalui berbagai media, baik digital maupun konvensional, untuk memastikan bahwa pesan tersebut benar-benar sampai kepada seluruh peserta.
Tegaknya aturan juga memerlukan penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran, termasuk yang terjadi selama proses seleksi. Sanksi administratif, seperti diskualifikasi, dapat menjadi langkah awal untuk memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa pelanggaran, sekecil apa pun, tidak akan ditoleransi dalam sistem birokrasi.
Pendekatan ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kepatuhan peserta, tetapi juga menciptakan rasa adil bagi mereka yang mengikuti aturan dengan benar.
Selanjutnya, setelah proses seleksi selesai, fokus harus dialihkan pada pengembangan sumber daya manusia yang berbasis nilai moral. Pelatihan kepemimpinan yang mengutamakan integritas dan tanggung jawab dapat diberikan kepada CPNS sebagai bagian dari program pengembangan.
Dengan langkah ini, mereka tidak hanya dibekali kompetensi teknis, tetapi juga nilai-nilai moral yang akan menjadi dasar dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat.
Dengan kombinasi langkah-langkah tersebut, sistem rekrutmen CPNS dapat menjadi lebih transparan dan akuntabel, sekaligus menciptakan calon ASN yang disiplin, berintegritas, dan siap menjadi teladan bagi masyarakat. Hal ini penting untuk mendukung reformasi birokrasi yang lebih baik di masa depan.
Kesimpulan
Masalah “sepatu hitam” dalam seleksi CPNS mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam budaya birokrasi Indonesia. Jika tidak ditangani dengan serius, hal ini dapat menghambat upaya reformasi birokrasi dan memperburuk kualitas pelayanan publik.
Untuk itu, komitmen pada nilai-nilai kedisiplinan harus ditanamkan sejak awal seleksi, sehingga menciptakan ASN yang mampu menjadi teladan bagi masyarakat.
Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2018, yang telah disumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2019. Saat ini bekerja sebagai Analis Hukum bidang Lingkungan Hidup pada Deputi bidang Kemaritiman dan Investasi Sekretariat Kabinet RI. Penulis dapat dihubungi melalui Email: [[email protected]]
0 Comments