Foto Pak Guru Murdiyanto (dok.: Ilham)
——————————————————-
Guru dalam filosofi Jawa merupakan akronim dari “digugu lan ditiru” atau orang yang dipercaya dan diteladani. Kepercayaan dan keteladanan tersebut tidak sekedar dikaitkan dengan tanggung jawabnya dalam mengajarkan siswa tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Namun lebih jauh, guru juga diharapkan menjadi sosok teladan dalam penegakan moral, etika, dan integritas termasuk kontribusinya dalam pemberantasan korupsi.
Keberanian melawan praktik korupsi dan berbagai kecurangan yang terjadi di dunia pendidikan menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi seorang guru. Tugas yang tidak ringan dan penuh dengan risiko. Wajar saja apabila kebanyakan orang berpikir beribu kali untuk menjadi seorang “whistleblower” dan membongkar indikasi adanya tindak korupsi atau kecurangan di tempat kerjanya.
Murdiyanto, yang akrab dipanggil “Pak Mur,” merupakan salah satu dari segelintir sosok guru yang memiliki keberanian melakukan perlawanan terhadap praktik “busuk” yang berlangsung di tempatnya bekerja. Pria yang lahir bertepatan dengan “hari pahlawan” 59 tahun yang lalu itu merupakan salah satu contoh guru yang berani melawan praktik kecurangan.
Pak Guru Murdiyanto adalah tokoh dibalik pengungkapan kasus pungutan liar atas tunjangan sertifikasi guru yang menghebohkan masyarakat di Kabupaten Sukoharjo dan sekitarnya.
Praktik pungli yang disamarkan dengan isilah “tali asih” tersebut berlangsung mulai penghujung 2009 hingga pertengahan 2010. Murdiyanto menjelaskan kronologis kejadian pungli ini sebagai berikut:
“…kami diminta untuk menyetorkan sejumlah uang kepada oknum pejabat Dinas Pendidikan Sukoharjo sebesar Rp600.000,00 (enam ratus ribu) per orang, …..setiap guru yang menerima tunjangan sertifikasi guru dikenakan potongan sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu) per bulan. ……Uang sejumlah tersebut dibayarkan sekaligus untuk periode satu tahun pada saat rapelan tunjangan sertifikasi diterima. Jumlah guru bersertifikasi di wilayah Sukoharjo pada saat itu mencapai 1.200 orang lebih” (Wawancara, 3 Juni 2015)
Ironisnya, pada saat Murdiyanto berjuang membongkar kasus pungli ini ke ruang publik, dukungan dari para rekan guru yang menjadi korban pungli justru “meredup.” Para korban pungli memilih bungkam dan tutup mulut (silence) ketika dimintai keterangan oleh DPRD. Kondisi ini merupakan fenomena yang jamak disebut sebagai bystander effect (efek pengamat).
Fenomena itu menggambarkan semakin banyak orang yang ada di sebuah tempat kejadian, akan semakin kecil kemungkinan orang-orang membantu seseorang yang sedang berada dalam situasi darurat di tempat kejadian itu (Sarwono & Meinarno, 2009)
Dampaknya, Murdiyanto harus berjuang sendirian menghadapi berbagai tekanan sosial berupa resistensi, perlawanan balik, interogasi, dan teror dari para pelaku kecurangan (wrongdoer) maupun pihak-pihak tertentu.
Murdiyanto pernah mendapat tekanan dari beberapa elit pejabat daerah untuk mencabut pernyataan yang pernah dilakukannya di depan anggota DPRD dan para wartawan. Murdiyanto juga harus mengalami tragedi “dikucilkan” atau dipindahtugaskan ke sekolah terpencil.
Potongan lirik lagu Oemar Bakrie yang dipopulerkan oleh Iwan Fals berikut ini, “Oemar Bakri…Oemar Bakri pegawai negeri, Oemar Bakri… Oemar Bakri 40 tahun mengabdi, Jadi guru jujur berbakti memang makan hati” mengilustrasikan nasib naas yang harus dialami Murdiyanto sebagai seorang guru yang berani menegakkan kejujuran dan melawan ketidakadilan.
Pada awalnya, Murdiyanto tidak mendapatkan respon serius dari aparat penegak hukum. Kondisi ini tidak membuatnya putus asa. Murdiyanto terus melakukan gerilya dan turun ke jalan untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan publik.
Berbekal bukti serta pengalaman pungli yang dialaminya secara langsung, Murdiyanto menceritakan kasus tersebut kepada salah satu koleganya yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Sukoharjo. Dengan pendekatan persuasif yang terus dilakukan kepada koleganya itu, Murdiyanto didaulat untuk memberikan kesaksian pada acara hearing di sebuah forum pertemuan angggota DPRD dengan para pegawai dan guru tidak tetap.
Kesaksian Murdiyanto, yang didukung beberapa orang yang pada akhirnya mau memberikan kesaksian, di depan forum DPRD menjadi trending topic serta memunculkan banyak respon dan reaksi publik. Keesokan harinya, kasus pungli ini menjadi “headline” di berbagai media massa dan perbincangan hangat masyarakat di wilayah eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.
Setelah melalui perjuangan panjang yang penuh dengan berbagai rintangan, dukungan publik semakin besar. Kekuatan tersebut berhasil mendesak aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan dan berujung pada dijebloskannya beberapa oknum pungli ke balik jeruji penjara.
Keberanian dan kepercayaan diri Bapak dari tiga orang anak ini banyak terbentuk dari pengalamannya berorganisasi. Sejak muda, Murdiyanto aktif di berbagai kegiatan kepemudaan bahkan pernah ditunjuk menjadi ketua atau koordinator gabungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) se-kabupaten Sukoharjo dengan nama “Dewan Masyarakat Sukoharjo”.
Kepedulian Murdiyanto dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya di wilayah Sukoharjo dan sekitarnya mendorong dirinya dan beberapa aktivis anti korupsi membentuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama “Peduli Sukoharjo”.
Murdiyanto seringkali mengkritisi berbagai kebijakan dan mengungkap praktek penyimpangan dan kecurangan yang terjadi di wilayah Sukoharjo. Permasalahan yang dibongkar Murdiyanto tidak hanya seputar dunia pendidikan.
Beberapa kasus lain yang pernah diungkap ke publik adalah kasus penyimpangan yang terjadi di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sukoharjo dan kasus pengadaan kendaraan roda dua di lingkungan DPRD Sukoharjo.
Keberanian Murdiyanto dalam melawan ketidakadilan dan berbagai kecurangan telah lama dilakukannya yaitu sejak awal menjadi guru CPNS di SMP Negeri 2 Bumiayu Brebes pada tahun 1987. Pria yang memiliki istri sesama guru ini diangkat menjadi guru CPNS terhitung sejak Maret 1986.
Murdiyanto menjalani penempatan pertama kali atau penugasan sebagai guru di SMP Negeri 2 Bumiayu Brebes hingga tahun 1989. Murdiyanto dipindahtugaskan ke SMP N 1 Sukoharjo karena terjadi gesekan antara dirinya dengan kepala sekolah SMPN 2 Brebes.
Pengalaman Murdiyanto lainnya adalah pernah menemukan dan melaporkan adanya praktik kecurangan berupa mark up harga dan manipulasi jumlah barang dalam setiap pengadaan perlengkapan dan peralatan sekolah yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah SMPN 1 Sukoharjo. Murdiyanto melaporkan kecurangan-kecurangan tersebut kepada Kepala Dinas Pendidikan kabupaten Sukoharjo.
Pada tahun 2006, Murdiyanto kembali mengalami mutasi ke SMP Mojolaban Sukoharjo yang berlokasi jauh dan terpencil. Menurut penuturan Murdiyanto, kepindahannya ke SMP Mojolaban Sukoharjo ada kaitannya dengan sikap dan pendiriannya yang dinilai sering berseberangan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati Sukoharjo pada saat itu.
Atas kerja keras dan dedikasinya yang tinggi sebagai seorang pendidik, Murdiyanto kemudian mendapatkan amanah sebagai kepala sekolah di SMP Mojolaban Sukoharjo. Perjalanan karir membawa Murdiyanto mengemban tugas sebagai kepala sekolah SMP Negeri 1 Bulu Sukoharjo sejak 14 Januari 2011 hingga sekarang.
Integritas menjadi prinsip hidup yang dipegang teguh Murdiyanto. Hal itu tampak dari respon spontan yang sering ditunjukkannya setiap kali melihat praktik kecurangan dan ketidakadilan terjadi di sekitarnya.
“Motivasi itu mengalir dari dalam diri saya, ketika mengetahui adanya ketidakbenaran, otomatis saya akan langsung berontak,” demikian ungkapan Murdiyanto dengan tegas dan lugas.
Menurut penjelasan Murdiyanto, salah satu faktor yang membentuk integritas dalam dirinya adalah penanaman nilai-nilai positif yang dilakukan orang tuanya. Ayahnya seorang petani dan mantan pejuang kemerdekaan yang turut mengangkat senjata pada masa penjajahan Jepang banyak mengajarkan nilai-nilai kebaikan pada dirinya.
Murdiyanto selalu mengingat dan memegang teguh prinsip hidup yang diajarkan ayahnya untuk selalu mengedepankan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran.
Menurut penuturan Murdiyanto, dalam berbagai kesempatan ayahnya selalu mengingatkan,“Jangan biasakan berbohong, karena itu pangkal kehancuran. Janganlah takut kepada siapa pun, takutlah pada Allah”.
Pondasi agama juga ikut memengaruhi integritas Murdiyanto. Pondasi agama diperoleh Murdiyanto melalui pendidikan, baik formal maupun dari kehidupan sosial di tengah masyarakat.
Secara formal, Murdiyanto juga mendapatkan pendidikan guru agama (PGA) dan pendidikan guru agama tingkat atas (PGAA). Pria yang memiliki cita-cita sebagai guru sedari kecil ini meraih gelar sarjana filsafat pendidikan islam pada tahun 1984.
Kisah heroik tentang keberanian sang “oemar bakri” (Murdiyanto) menjadi inspirasi dan teladan bagi para guru lainnya maupun birokrat lainnya. Keberanian bersuara dan menyuarakan kebenaran penting dilakukan.
Hal ini disebabkan ketidakpedulian dan bungkamnya orang-orang baik yang mengetahui adanya kejahatan juga memberikan andil pada hancurnya sebuah sistem atau organisasi, sebagaimana disinyalir oleh Edmund Burke (1729-1797) yang menyatakan bahwa “The only thing necessary for the triumph of evil is the goodman to do nothing” (satu-satunya yang perlu untuk kemenangan kejahatan adalah orang-orang baik yang berdiam diri).
“Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru…terima kasihku tuk pengabdianmu. Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”.
SELAMAT HARI GURU 25 NOVEMBER 2017!
ASN pada Instansi Pemerintah Pusat. Ilham merupakan lulusan sekolah kedinasan di lingkungan Kementerian Keuangan dan menyelesaikan pendidikan S2 Ekonomi Pembangunan dan S3 Administrasi Publik di Universitas Gadjah Mada. Tulisan-tulisannya di Birokrat Menulis lebih banyak diwarnai gagasan tentang Birokrasi Bersih dan Birokrasi Berdaya yang diinspirasi pengalamannya ketika melakukan riset tentang perilaku para birokrat yang berani bersuara membongkar berbagai praktik tidak sehat yang terjadi di lingkungan organisasinya.
0 Comments