Normal Baru, Bukan Normal Lama!

by Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer | Aug 19, 2020 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

NEW NORMAL bukanlah sebuah pilihan yang dapat diambil, melainkan sebuah keterpaksaan ketika menghadapi pandemi Covid-19. Awal Maret 2020, ketika pertama kali wabah ini masuk tanpa permisi ke Indonesia, Pemerintah mengambil kebijakan berupa gerakan di rumah saja dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Kebijakan ini diikuti dengan refocusing anggaran triliunan rupiah di berbagai level pemerintahan guna menghadapi bencana nasional nonalam tersebut. Resmi sudah tombol kepanikan dipencet. Covid-19  dianggap sebagai sebuah pageblug.

Tiga bulan merupakan waktu yang dianggap cukup untuk “sembunyi” di rumah. Beberapa waktu yang lalu adalah saatnya menyusun strategi untuk melawan, atau setidaknya berdamai dengan sang virus.

Ketika Ekonomi Mulai Resesi

Tiga bulan penerapan PSBB, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami defisit ekonomi dan sosial yang luar biasa. Sinyalemen sederhananya ketika semua kehidupan ekonomi, sosial dan budaya dibatasi melalui  gerakan di rumah saja dan kerja/sekolah dari rumah maka semua elemen kehilangan pendapatannya.

Mulai rumah tangga, swasta/industri hingga pemerintah kehilangan potensi pemasukan. Inilah kondisi yang dapat mendorong Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi.

Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengatakan bahwa kebijakan PSBB merupakan pilihan terbaik dibandingkan berbagai skema, termasuk lockdown. Fakta membuktikan betapa penutupan total wilayah membawa mudharat yang jauh lebih besar.

Kini, beberapa negara telah resmi memasuki jurang resesi ekonomi. Suatu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal atau lebih. Saat inipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2 minus 5,32 persen. Sinyal bahaya bagi perekonomian nasional.

Guna mencegah Indonesia terjun bebas dalam jurang resesi, maka Pak Jokowi mengeluarkan dua kebijakan penting berupa penerapan tatanan hidup baru (new normal) dan mengembalikan anggaran yang semula di-refocusing ke program-program padat karya.

Bahkan, saking paniknya terhadap kemerosotan ekonomi, Pak Jokowi berulangkali menunjukan kemarahan kepada para menteri. Kemarahan ini sebagai pelecut bagi kementerian untuk dapat cepat dan tepat menggenjot serapan anggaran.

Anggaran pemerintah melalui pengadaan barang dan jasa serta pembangunan infrastruktur dianggap sebagai salah satu obat mujarab penanggulangan kemiskinan.

Menghadapi Covid-19, Sebuah Keniscayaan

Dalam terminologi pertempuran, melawan Covid-19 merupakan sebuah pilihan dengan segala risikonya. Tetap di rumah, bersembunyi dari serangan musuh –tetapi  berisiko mati kelaparan atau keluar dari rumah dan menyerang musuh.

Dalam konteks Covid-19, pemerintah memilih keluar menyerang dengan risiko bertempur dengan musuh. Saat kita keluar dan “menyerang” maka dapur akan tetap mengebul, terhindar dari risiko mati kelaparan, tetapi risiko terbesar berupa terpapar Covid-19.

Oleh karenanya, ibarat sedang terjun ke medan perang ada syarat untuk bertahan hidup. Ketika memilih kebijakan yang lazim disebut new normal diperlukan komitmen bersama untuk disiplin mempraktikan penerapan protokol kesehatan yang super ketat.

Dalam teorema dialektika Hegel, new normal merupakan sintesis untuk membiasakan diri terhadap Covid-19. Bahasa Pak Jokowi, new normal merupakan strategi atau sebagai sebuah adaptasi untuk kita dapat hidup berdampingan dengan virus jahanam ini.

New normal sebagai sebuah perubahan sosial berusaha merubah sebuah tatanan dan nilai hidup yang sudah mapan. Kebiasaan lama yang telah membudaya dan melembaga dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat seperti senang berpergian, berkumpul (rempon) dan kebiasaan lain yang mengumpulkan banyak massa harus di sesuaikan dengan COVID 19.

Kebisaaan yang kemudian harus di-setting ulang ketika wabah COVID-19  menyerang, mengingat virus ini menular dengan sangat cepat dan mudah. Sebagaimana dikatakan oleh WHO, COVID-19  dapat menular melalui orang yang telah terinfeksi.

Penyakit dapat menyebar melalui tetesan kecil dari hidung atau mulut ketika seseorang yang terinfeksi virus ini bersin atau batuk. Tetesan itu kemudian mendarat di sebuah benda atau permukaan yang lalu disentuh dan orang sehat tersebut menyentuh mata, hidung atau mulut mereka.

Virus corona juga bisa menyebar ketika tetesan kecil itu dihirup oleh seseorang ketika berdekatan dengan yang terinfeksi corona. Betapa membuat bergidik ngeri membayangkannya. Terlebih, karena ia tak kasat mata.

Menilik dahsyatnya penyebaran COVID-19, diperlukan sebuah antitesis kebiasaan kita dalam pergaulan. Salah satunya berupa mengurangi keintiman dalam berhubungan antarmanusia, melalui skema jaga jarak minimal dua meter.

Membudayakan cuci tangan sebelum masuk rumah, memakai masker ketika keluar rumah, hingga sebisa mungkin menahan diri untuk tidak keluar rumah –kecuali sangat mendesak. Aturan-aturan mendasar ini menjadi syarat bertahan hidup dalam pandemi.

Pergeseran Persepsi

Namun, apa daya kebijakan Pak Jokowi berupa tatanan baru tersebut tidak diikuti oleh komitmen dari masyarakat. Jamak kita lihat ketika pembatasan kegiatan masyarakat dicabut, dengan sendirinya hajatan berupa pernikahan maupun acara duka cita akibat kematian yang melibatkan kerumunan masa abai terhadap protokol kesehatan.

Cipika-cipiki, jabat tangan, tidak memakai masker, dan duduk berhimpitan masih dilakukan di mana-mana. Hal ini sebagai tanda dari lemahnya komitmen masyarakat terhadap protokol kesehatan.   Betapa prasyarat new normal sulit untuk diikuti oleh masyarakat.

Nyatanya, New normal dianggap oleh mayoritas masyarakat sebagai sebuah “kemerdekaan” dari Covid-19. Normal baru yang semestinya merupakan sintesis terhadap kejahatan pandemi virus asal Wuhan itu, tidak lebih sebagai normal lama.

Fakta menunjukan kehidupan masyarakat telah kembali seperti sedia kala saat sebelum pandemi. Saat ini masyarakat kita sedang mengalami ilusi bahwa seolah Covid-19  telah hilang.

Jika kita sejenak berkunjung ke pedesaan, misalnya, terdapat pergeseran persepsi masyarakat yang luar biasa terhadap Covid-19. Dari semula dianggap sebagai monster yang menakutkan, kini Covid-19 tidak lebih dari sebuah hoaks yang tak perlu ditakuti.

Bahkan ada yang menyebutnya sebagai sebuah konspirasi antara WHO dengan beberpa korporasi dan negara untuk mengeruk keuntungan ekonomi.  Ironinya, dari berbagai media, dapat dilihat bahwa mereka yang terpapar persepsi bahwa Covid-19 tidak lebih dari sebuah hoaks belaka bukan hanya masyarakat biasa. Ada pula aparatur pemerintah.

Pergeseran persepsi ini dapat kita lihat ketika pada tiga bulan pertama pandemi menyerang, masyarakat dengan kesadaran kolektif bergotong rorong menutup desanya dengan portal.

Keluar masuk warga dikontrol dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Mulai penyemprotan disinfektan, cuci tangan, pengukuran suhu tubuh, hingga pemakaian masker ketika keluar rumah. Bahkan, penjagaan pintu masuk desa dilakukan 24 jam. Serasa hidup di perumahan tipe cluster yang full penjagaan.

Namun, kini kebiasaan baik dari sisi kesehatan dan keamanan tersebut telah ditinggalkan. Terkini, memakai masker ketika keluar rumah menjadi suatu keanehan. Dalam ibadah sholat Jumat, misalnya, mungkin kurang dari 10 persen yang memakai masker dan jaga jarak pun mulai ditinggalkan. Masyarakat yang menerapkan protokol kesehatan menjadi suatu keanehan.

Padahal, WHO mengingatkan bahwa pandemi ini masih jauh dari kata berakhir. Bahkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Brazil, korban jiwa akibat virus ini kian tak terkendali. Hingga kini belum ada satupun ilmuwan yang mampu menemukan antivirus untuk COVID-19.

New normal sebagai sebuah perubahan sosial memang tidak mudah untuk dilakukan. Terlebih jika internal masyarakat enggan berubah. Untuk itu diperlukan pengendalian sosial yang koersif.

Terbitnya Inpres No. 6/2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 merupakan langkah maju.  

Masyarakat perlu untuk dipaksa, tidak cukup dihimbau. Mereka harus “dipaksa” untuk menerima kenyataan bahwa kita ini hidup berdampingan dengan Covid-19 dan bisa saja suatu saat menerkam kita, keluarga kita mapun kolega kita.

Epilog

Mengingat pandemi ini masih belum bisa diprediksi kapan akan berakhir maka new normal merupakan sebuah keniscayaan. Pilihan terbaik diantara yang terburuk.

Oleh karenanya diperlukan komitmen kuat dari semua komponen bangsa untuk menjalaninya. Mengubah dari gaya hidup lama ke gaya hidup baru melalui pemberlakuan protokol kesehatan dan protokol kehidupan lainnya.

Jangan pernah lagi kita berpikir bahwa Covid-19 itu hoaks. Marilah kita hargai perjuangan dan pengorbanan tenaga medis dan keluarganya. Mereka yang terus berjuang dengan risiko terpapar virus Wuhan. Berpulangnya puluhan tenaga medis dan ribuan jiwa lainnya merupakan bukti bahwa virus ini nyata dan berbahaya bukan sebatas hoaks semata.

3
0
Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Alumni Administrasi Negara dari UNS dan Univ. Brawijaya, serta Cooperation Policy pada Ritsumeikan Asia Pasifik University Japan. Di samping profesi sebagai PNS Kabupaten Temanggung, juga menjadi dosen pada UI UPBJJ Yogyakarta dan aktif dalam komunitas penulis Temanggung.

Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Eko Budi Prayitno ◆ Active Writer

Author

Alumni Administrasi Negara dari UNS dan Univ. Brawijaya, serta Cooperation Policy pada Ritsumeikan Asia Pasifik University Japan. Di samping profesi sebagai PNS Kabupaten Temanggung, juga menjadi dosen pada UI UPBJJ Yogyakarta dan aktif dalam komunitas penulis Temanggung.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post