Ngopi, Tapi Tidak Ngopi-ngopi Saja: Rehabilitasi Citra ASN di Ruang Tunggu Publik

by | Jun 18, 2025 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Di banyak meme, ASN digambarkan sebagai makhluk bermigrasi dari satu warung kopi ke warung sebelah, dari mesin absen ke bangku kosong. Mereka muncul di berita hanya saat demo kenaikan tunjangan, atau saat berseragam rapi merayakan apel pagi. 

Ironisnya, seolah seragam coklat atau biru itu lebih sering jadi simbol “waktu luang” daripada “beban kerja”. Pada era internet dan meme, barangkali hanya dua profesi yang paling sering jadi sasaran candaan: 1) selebritas, dan 2) ASN. 

Di tengah medsos, ASN digambarkan bukan sebagai penjaga sistem publik, melainkan sebagai makhluk eksotis yang bermigrasi dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Bahkan ada yang bilang, jika jejak digital ASN hilang, bisa dilacak lewat bekas cangkir di meja atau jejak token Wi-Fi di warung sebelah. 

Maka tak heran jika masyarakat awam melihat ASN bukan dari indikator output kerja, tapi dari intensitas seduhan dan jumlah sendok yang berbunyi di dalam gelas. Namun, seperti banyak stereotip lain dalam hidup dari mitos tentang kecoa yang bisa bertahan dari kiamat sampai anggapan semua guru itu galak citra ini pun tidak sepenuhnya benar. 

Asal-usul Stereotip: Dari Warung Kopi ke Warung Kopi

Stigma ASN pemalas lahir bukan dari data ilmiah, melainkan dari pengamatan publik di warung kopi dan grup WhatsApp tetangga. Sistem birokrasi yang lambat dan tak kasatmata memperkuat asumsi itu, apalagi saat kantor terlihat kosong dan aroma kopi menyebar. 

Di kantor kecamatan, jam istirahat terasa seperti waktu hening nasional, meja kosong juga suara kipas angin mendominasi. Lain lagi di puskesmas, pergantian shift sering tak sinkron, membuat ruang tunggu penuh dan pelayanan kosong. 

Istirahat memang hak, tapi jika lebih panjang dari antrian warga,
kepercayaan publik pun ikut lelah. Meski tidak semua ASN seperti itu, satu kasus negatif cukup untuk merusak citra seluruh institusi. Layaknya nasi basi, satu piring bisa membuat hilang
selera semua orang. 

Kini, ASN tak hanya bertugas, tapi juga ditugasi oleh aplikasi. Ada e-Kinerja, SIPD, e-SAKIP, ARKAS, SIMPEG, e-LHKPN, e-mood, dan mungkin sebentar lagi e-ngopi. Banyak ASN mengaku lebih hafal password akun sistem daripada tanggal ulang tahun pasangan. 

Kerja ASN sekarang tak lagi pakai bel masuk dan pulang, tapi dengan notifikasi grup WA yang berbunyi bahkan saat azan subuh belum selesai berkumandang. 

Namun sayangnya, kerja-kerja itu sering “tak kasat mata” tidak ada wujud fisik yang bisa dipajang, hanya file, laporan, dan rapat Zoom. Di sinilah ASN kalah pamor dibanding tukang parkir kerja lima menit, yang hasilnya langsung terlihat.

ASN dan Tata Krama Sosial yang Harus Dijunjung

Standar pembanding yang wajib dipegang oleh setiap ASN sebagai pelayan masyarakat seyogyanya merujuk pada nilai dasar atau core value ber-AKHLAK. 

Tentu saya masih ingat pembelajaran bapak sosiologi islam Ibnu Khaldun bahwa setinggi apapun derajatmu, sehebat apapun didunia jika tidak menjaga tata krama tetap lanfadldluu min haulik (tidak akan ada dari kalian yang dapat melarikan diri dari (kekuatan) di sekeliling kalian). 

Rehabilitasi citra ASN bukan soal kampanye semata, tapi perubahan kultur. Maka hal yang harus kita mulai adalah: 

  • Publikasi kerja yang ringan: bukan laporan tahunan tebal, tapi poster Instagram yang menjelaskan “hari ini kami membantu warga mengurus dokumen kependudukan 124 orang”.
  • Aktif dalam kegiatan sosial: bukan hanya saat ikut lomba 17-an antar OPD, tapi hadir di kegiatan nyata masyarakat.
  • Berbahasa yang membumi: Tak perlu mengutip pasal undang-undang saat menjawab keluhan warga tentang WC rusak. Cukup katakan: “Akan kami cek dan tindak lanjut.”

Oleh karena itu, maka….

Pekerjaan ASN ibarat kopi hitam “pahit bagi yang belum biasa, hangat bagi yang menikmatinya”. Tapi jika terlalu sering dibiarkan dingin, ia kehilangan rasa dan makna. Maka saatnya kita menyeduh ulang makna abdi negara. 

ASN tidak harus menjadi malaikat, tapi setidaknya harus cukup manusiawi untuk mau berubah, cukup cerdas untuk bekerja, dan cukup sadar bahwa reputasi itu bukan dari jabatan, tapi dari kesan yang tertinggal setelah pelayanan selesai.

5
0
M. Fajar Dermawan ♥ Associate Writer

M. Fajar Dermawan ♥ Associate Writer

Author

ASN biasa dengan keahlian “Seni mengelola yang tak terucap”. Spesifikasi khusus menerjemahkan kebisingan dunia menjadi sinyal yang bermakna.

1 Comment

  1. Avatar

    Tut Wuri. Info Ngopi ?

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post