Netralitas ASN dan Sistem Merit

by Sabrina Desmon ♥ Associate Writer | Nov 6, 2020 | Birokrasi Bersih | 1 comment

Sebanyak 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan memilih kepala daerah baru pada tanggal 9 Desember 2020. Suhu politik di daerah terasa kian meningkat mendekati hari pemungutan suara pada pilkada serentak gelombang keempat ini. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi isu strategis yang selalu menjadi sorotan menjelang pelaksanaan pilkada. Meskipun ASN yang melanggar netralitas dapat dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana, namun kenyataannya pelanggaran tersebut masih terus terjadi.

Jumlah aduan pelanggaran netralitas ASN yang masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan tren meningkat semenjak pilkada serentak tahun 2015. Berdasarkan data KASN, jumlah aduan pelanggaran netralitas ASN tahun 2015  sebanyak 29 aduan, tahun 2016 sebanyak 55 aduan, dan pada tahun 2017 tercatat sebanyak 52 aduan. Tahun 2018 terjadi peningkatan menjadi 507 aduan. Sementara pada pilkada 2020 ini,  KASN telah menerima 793 aduan hingga akhir Oktober 2020. Angka tersebut tentu mengkhawatirkan karena pelaksanaan pilkada masih satu bulan lagi.

Banyak pihak yang meragukan implementasi kebijakan netralitas ASN.  Netralitas ASN dalam pilkada dirasa lebih sulit untuk diwujudkan dibandingkan dengan netralitas TNI dan Polri. Garis komando yang kuat dalam organisasi TNI dan Polri lebih memudahkan perwujudan netralitas TNI dan Polri. TNI dan Polri juga tidak memiliki hak untuk memilih dalam pemilu dan pilkada serta tidak mempunyai keterkaitan karir secara langsung dengan kepala daerah. 

Hal ini berbeda dengan ASN yang dituntut untuk netral namun masih mempunyai hak untuk memilih. Posisi kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK), khususnya bagi ASN di lingkungan pemerintah daerah, juga menjadi dilema bagi ASN.  Nasib karir ASN berada ditangan PPK yang memiliki kewenangan untuk mempromosikan, memutasi, dan mendemosi ASN. 

Tak ayal, ketika seorang ASN menunjukkan ketidaknetralan dengan memberikan dukungan kepada salah seorang calon kepala daerah, bisa dianggap dia sedang memperjuangkan karirnya sebagai ASN. Apalagi bila calon yang didukung adalah seorang petahana, maka dukungan itu merupakan bentuk loyalitas terhadap atasan, terlepas ada tidaknya intimidasi dari petahana tersebut. 

Pemberian dukungan oleh seorang ASN terhadap calon/paslon kepala daerah bagaikan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan kedua belah pihak.  Peran ASN sebagai pengelola aset dan keuangan negara serta pelaksana program pembangunan dan sebagai panutan bagi masyarakat, memang sangat strategis untuk menggerakkan dan menarik massa guna memenangkan calon/paslon kepala daerah yang didukungnya.

Sebaliknya, iming-iming promosi jabatan atau mempertahankan jabatan, menjadi daya tarik utama bagi ASN untuk memberikan dukungan kepada calon/paslon kepala daerah. Bahkan, penempatan dan promosi pada jabatan tertentu kerap sudah dilakukan jauh hari sebelum pelaksanaan pilkada oleh bakal calon kepala daerah petahana kepada ASN yang akan menjadi tim suksesnya.

Menghadapi ketidaknetralan ASN yang selalu terjadi menjelang perhelatan pilkada, wacana penghapusan hak memilih ASN sudah sering disampaikan oleh berbagai pihak, termasuk akademisi.  Namun, banyak pihak pula kemudian yang menyebutkan pencabutan hak memilih ASN dalam pilkada tidak akan menyelesaikan permasalahan netralitas ASN.  ASN sebagai warga negara seyogyanya juga memiliki hak memilih dan dipilih. Ada jutaan ASN di seluruh Indonesia, dan tentu masih banyak yang menjunjung tinggi netralitas tersebut.

Upaya pencegahan pelanggaran netralitas ASN dalam pilkada 2020 telah dilakukan Pemerintah dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 pada 10 September 2020. 

Namun, keberadaan SKB tersebut tidak serta merta akan menghilangkan pelanggaran netralitas ASN.  Apalagi dalam pilkada serentak 2020 ini, terdapat 290 petahana yang maju kembali sebagai calon/paslon di 236 daerah dari 270 daerah yang menggelar pilkada. Keberadaan petahana yang banyak tersebut dapat meningkatkan kerawanan pelanggaran netralitas ASN yang perlu diwaspadai oleh instansi berwenang.

Laporan Kajian tentang Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara yang dipublikasikan oleh KASN tahun 2019 menguraikan penyebab terjadinya pelanggaran netralitas ASN adalah motif mendapatkan/mempertahankan jabatan (43,3%), hubungan kekeluargaan/ kekerabatan dengan calon (15,4%), kurangnya pemahaman aturan/regulasi tentang netralitas ASN (12,1%), intervensi/tekanan dari pimpinan/atasan (7,7%), dan faktor lainnya seperti kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral, ketidaknetralan ASN dianggap sebagai hal yang lumrah, serta pemberian sanksi yang lemah.

Data tersebut menunjukkan persentase terbesar penyebab terjadinya pelanggaran netralitas ASN adalah motif mendapatkan/mempertahankan jabatan. Hal tersebut juga dapat dimaknai terjadinya politisasi dalam jabatan karir ASN. 

Momen mutasi jabatan ASN di pemerintah daerah acap kali dikaitkan dengan politik, kadang disebut sebagai mutasi balas budi politik atau balas dendam politik. Banyak jabatan yang diduduki ASN tidak sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya, yang menunjukkan belum berjalannya sistem merit dalam manajemen ASN.

Manajemen ASN Berbasis Sistem Merit

Manajemen ASN adalah pengelolaan ASN untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebutkan manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan sistem merit. 

Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.  

Pelaksanaan sistem merit telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Merit dalam Manajemen Aparatur Sipil Negara. Penyelenggaraan manajemen ASN berbasis sistem merit akan membuat birokrasi pemerintah terlepas dari intervensi politik. 

Tahun 2018, KASN sebagai lembaga yang berfungsi mengawasi penerapan sistem merit telah melakukan pemetaan penerapan sistem merit terhadap instansi pemerintah yang telah melakukan penilaian mandiri penerapan sistem merit yaitu 27 kementerian, 13 lembaga dan 34 pemerintah provinsi. Selanjutnya pada tahun 2019, pemetaan dilakukan terhadap 103 pemerintah kabupaten/kota yang telah melakukan penilaian mandiri penerapan sistem merit.

Hasil pemetaan di kementerian dan lembaga menunjukkan 82,5% instansi pusat sudah mencapai kategori Baik dan Sangat Baik dalam penerapan sistem merit.  Hal ini menunjukkan sebagian besar kementerian dan lembaga sudah memenuhi sebagian besar kriteria sistem merit.

Sementara itu, hasil pemetaan terhadap pemerintah provinsi menunjukkan 82,3% pemerintah provinsi masuk kategori Kurang dan Buruk dalam penerapan sistem merit.  Demikian pula dengan hasil pemetaan terhadap pemerintah kabupaten/kota, diketahui 83,5% pemerintah kabupaten/kota masuk kategori Kurang dan Buruk. Hal ini menunjukkan masih rendahnya penerapan sistem merit di lingkungan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. 

Penerapan sistem merit di instansi pemerintah merupakan amanat utama Undang-Undang ASN dan sepatutnya menjadi prioritas.  Sistem merit adalah jalan untuk mencapai tujuan  reformasi birokrasi. Manajemen ASN berbasis sistem merit akan membersihkan birokrasi dari intervensi politik, jual beli jabatan, dan pelanggaran netralitas ASN.

PPK dan Implementasi Sistem Merit

Penerapan sistem merit membutuhkan komitmen yang kuat dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).  PPK di daerah dipegang oleh kepala daerah yang juga merupakan pejabat politik.  Fungsi kepala daerah sebagai PPK dan pejabat politik ini akan menimbulkan konflik kepentingan. 

Jabatan ASN merupakan jabatan karir. Penempatan ASN pada suatu jabatan harus sesuai dengan kriteria sistem merit seperti pola karir dan kompetensi jabatan. 

Sementara, seorang pejabat politik merupakan politisi yang sulit untuk lepas dari kepentingan pribadi dan partai politiknya.  Penempatan ASN dalam suatu jabatan akan mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut.  Hal inilah yang menimbulkan konflik kepentingan dan berujung terjadinya politisasi birokrasi. Dengan demikian, mengharapkan politisi akan mengembangkan implementasi sistem merit di daerah sepertinya sulit untuk diwujudkan. 

PPK sebagai faktor kunci implementasi sistem merit harus bebas dari konflik kepentingan.  Fungsi kepala daerah sebagai PPK sebaiknya dihapuskan dan dialihkan kepada pejabat birokrasi yang terlepas dari intervensi politik. Sekretaris daerah yang merupakan pejabat tertinggi ASN di daerah akan lebih tepat mengemban fungsi sebagai PPK. 

PPK yang lebih “netral” ini diharapkan dapat mengimplementasikan sistem merit secara lebih konsisten sesuai dengan regulasi yang berlaku.  Implementasi sistem merit akan mewujudkan reformasi birokrasi menuju birokrasi yang netral dan ASN yang netral.

5
0
Sabrina Desmon ♥ Associate Writer

ASN Perencana pada Bappeda Kab. Sijunjung, Prov. Sumatera Barat

Sabrina Desmon ♥ Associate Writer

Sabrina Desmon ♥ Associate Writer

Author

ASN Perencana pada Bappeda Kab. Sijunjung, Prov. Sumatera Barat

1 Comment

  1. Avatar

    Makin lama merit system di pemda hanya menjadi angan-angan yg sulit untuk direalisasikan.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post