Selamat datang di negeri para perayu. Di negeri ini ada seorang bocah bernama Fahri Skroepp yang mendadak viral di Facebook (FB) dengan kalimat-kalimat status dan foto-foto dengan caption bak pujangga. Gombal abis. Ini salah satunya,
“Kita, dua hati yang saling menunggu karena alasan takut terganggu. Seringkali kita diterkam sepi, namun memilih menahan diri, sekalipun rindu menerkam hati”.
Belakangan beredar klarifikasi dari tantenya Fahri yang mengatakan bahwa akun Fahri Skroepp adalah sebuah akun fake. Akun itu mengatasnamakan dan menggunakan foto-foto Fahri, sementara caption-caption ala pujangga itu bukan hasil karya Fahri. Fahri sendiri, menurut tantenya, adalah bocah di bawah umur yang belum diizinkan menggunakan gadget.
Jauh sebelum caption-caption Fahri mem-viral, sebenarnya sudah sering kita temui status-status senada dari bocah-bocah lain dengan pose alay dan caption yang juga gombal abis. Umumnya foto dan caption yang digunakan bertema cinta-cintaan, postingan yang belum pantas untuk anak usia sekolah, khususnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Gombalan Bucin dan “Dewasa” Sebelum Waktunya
Anak zaman now menyebut fenomena ini dengan sebutan “bucin”, sebuah singkatan dari budak cinta. Artinya, orang yang bersedia melakukan apapun untuk orang yang dicintainya, termasuk membuat status dengan gaya bahasa ala orang dimabuk cinta.
Pengertian bucin menurut mojok.co malah lebih sadis lagi. Bucin adalah manusia-manusia yang (maunya) romantis, tapi dengan daya berpikir nalar di bawah rata-rata. Romantis tapi nalar tipis.
Para bucin ini bahkan kemarin naik daun karena banyak di antara mereka yang ikut berdemo menentang pengesahan beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial. Menyelipkan poster-poster bertema cinta yang menjurus ke “selangkangan”, entah dengan agenda atau pesan subliminal apa.
Membaca caption gombal para bocah ini membuat saya merasa geli, takjub, sekaligus prihatin pada saat yang bersamaan. Takjub karena menyadari siapapun pembuat caption itu, mereka punya bakat besar untuk menjadi sastrawan hebat. Hanya sayangnya caption–caption itu terlalu indah untuk dibuat oleh anak seusia mereka.
Berpuluh tahun yang lalu, saat saya seusia mereka, beban pikiran yang paling berat tak jauh-jauh dari tugas dan ujian di sekolah. Akan tetapi anak-anak zaman sekarang tumbuh “dewasa” lebih cepat. Seakan tak cukup berat beban kurikulum sekolah saat ini, mereka perlu merasa menambahkan beban berat lain bernama “cinta”, sebuah beban yang semestinya belum mereka tanggung.
Dilan 1990 – 1991
Kita juga tak akan lupa, ada sebuah film yang fenomenal karena rayuan. Adalah film pertama Dilan 1990 dan sekuelnya Dilan 1991, menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa dalam sejarah perfilman Indonesia.
Jika diingat-ingat lagi, kekuatan terbesar film-film Dilan adalah kata-kata romantis yang bertebaran dalam berbagai adegan di sepanjang film. Dilan telah membuat jagat maya Indonesia demam meme dengan caption gombal, kalimat-kalimat yang konon membuat para cewek menjadi klepek-klepek.
Sepertinya karena terinspirasi dari kesuksesan Dilan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) tahun ini bahkan menggelar lomba membuat meme untuk kalangan pelajar. Lomba meme itu bertemakan “Gombalindonesia” dan banyak diikuti oleh para pelajar.
Lomba Cipta Meme menjadi salah satu kegiatan dalam rangkaian Festival Literasi Sekolah (FLS) 2019 untuk jenjang sekolah menengah atas (SMA). Hasilnya? Alih-alih kekinian, akun sosial media Kemendikbud justru dibanjiri dengan hujatan. Pasalnya, Kemendikbud dinilai tak layak membuat lomba yang kurang mendidik seperti itu, apalagi bertemakan cinta-cintaan.
Perilaku Gombal di Sekolah
Yang saya ceritakan di atas itu baru contoh-contoh gombalan ala anak sekolah untuk pacarnya – mungkin mereka masih seumuran. Ternyata masih ada yang lebih miris. Saat ini sedang viral video guru yang digombalin oleh muridnya. Video gombalan ini dibagikan di media sosial. Seolah-olah perilaku ini merupakan aktivitas yang pantas dan membanggakan.
Sudah tersebar beberapa versi video, di mana terlihat di sana anak-anak sekolah yang sedang belajar di dalam kelas berani memberi gombalan pada gurunya. Tentu saja gombalan ini langsung membikin si guru salah tingkah. Ada yang muridnya perempuan menggombali gurunya laki-laki dan sebaliknya.
Sejauh ini belum pernah saya temui ada video di mana guru marah karena dirayu. Reaksi kebanyakan adalah sang guru salah tingkah, tersipu-sipu, dan tersenyum diiringi sorakan para murid.
Sungguh, keadaan ini jelas berbeda dibandingkan dengan keadaan pada zaman saya SMA dahulu. Waktu itu, boro-boro murid berani merayu guru, merayu teman seumuran pun tak cukup kami bernyali. Jikalau dibalik – guru merayu murid – pun, tetap saja jarang terjadi saat itu.
Pernah suatu ketika, salah satu guru SMA saya yang saat itu statusnya masih bujangan, terang-terangan menunjukkan rasa suka dengan salah satu teman sekelas saya. Dari mulai menitip salam sampai melontarkan rayuan sering dilakukan Sang Guru – sebut saja namanya Pak A.
Melihat hal itu, teman-teman kompak untuk muak berjamaah. Apalagi, teman saya yang ditaksir itu justru benci setengah mati kepada Pak A. Kami menganggap aneh dan tak patut saja, ketika melihat Pak A yang seorang guru agama bertingkah seperti itu.
Terlebih karena ada pembanding nyata bernama Pak B, seorang guru agama juga di sekolah kami, yang alim dan pendiam. “Guru Agama itu harusnya kaya Pak B gitu, alim dan ga neko-neko“, begitu komentar teman-teman.
Fenomena yang Terbalik
Kalau sekarang fenomenanya seperti terbalik, jelas karena zaman yang sudah berbeda. Namun sebagai orang tua, kita punya pilihan: mau menjaga atau membiarkan anak-anak kita ikut arus zaman begitu saja.
Fitrahnya manusia, apalagi perempuan, akan dengan mudah “meleleh” jika dibombardir dengan “peluru-peluru syahdu” rayuan-rayuan itu. Padahal, kita sadar sesadar-sadarnya bahwa kata-kata manis itu semua cuma rayuan gombal.
Menurut KBBI, kata gombal berarti omong kosong, ucapan yang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, dan omongan bohong. Rayuan gombal juga identik dengan gaya bahasa hiperbolik, salah satu gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlebihan. Jadi, meski kita senang membaca dan mendengar segala macam gombalan tadi, tapi jauh di lubuk hati kita tahu kalau kita sedang dibohongi.
Para bucin saat ini boleh saja berbusa mengumbar kalimat romantis, tapi tunggulah nanti saat anak-anak alay itu telah dewasa dan memasuki dunia pernikahan. Masihkah mereka akan terus bisa merangkai kata-kata cinta untuk pasangannya, sementara di saat yang sama harus menghadapi realita dunia yang kejam: kebutuhan pokok dan macam-macam iuran yang terus naik besarannya – yang kemungkinan akan dicabut subsidinya oleh pemerintah, susu dan biaya sekolah anak-anak. Jangan lupa ada skin care istri juga (eh).
Dalam dunia pernikahan, saya pribadi memaknai kata romantis tak terbatas sekedar kalimat-kalimat gombal, tapi yang lebih penting dari itu adalah perbuatan nyata. Zonk besar kalo suami sering mengirim puisi tapi malas menafkahi, enggan “memegang” anak, dan gengsi untuk sekedar bantu-bantu pekerjaan domestik.
Kemarin waktu di timeline FB saya ramai dengan foto-foto tentara ganteng yang di-share emak-emak, ada satu komentar temen FB saya yang menggelitik. Intinya ia mengatakan bahwa meski tak atletis dan wajahnya biasa-biasa saja, tetapi suaminya tetap juara di hatinya. Baginya sang suami jauh lebih keren dibandingkan mas tentara yang ganteng itu.
Sebabnya sederhana, hanya karena suaminya pasti mau disuruh membelikan nasi goreng meskipun sudah tengah malam, sementara mas ganteng itu belum tentu mau jika disuruh mengerjakan hal-hal remeh semacam itu oleh istrinya.
Asal kamu tahu ya wahai Bapak-Bapak, level kegantenganmu bisa meningkat beberapa level hanya karena hal-hal yang menurutmu remeh semacam gendong anak, membantu istri di dapur, atau sekedar tidak merasa malu nyangklong tas bayi saat jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Intinya, buat emak-emak semacam saya, meski suami seganteng Lee Min Ho dan seromantis Dilan, tetap saja bakal jadi suami nyebelin kalau kinerja, eh kerja nyatanya, selama hidup berumah tangga rendah apalagi tidak ada.
Epilog
Sebagai bahan masukan buat kita semua adalah ajakan untuk berhati-hati dengan rayuan dan gombalan. Bukankah dalam agama diajarkan bahwa keimanan tak cukup hanya diucapkan oleh lisan tapi juga didukung dengan hati dan amal perbuatan. Cinta Indonesia dan Pancasila tak cukup jika hanya diucapkan lewat slogan “Saya Indonesia, saya Pancasila”, tapi juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Mencintai Indonesia dengan amal kalau kata Eep Saefullah Fatah. Pejabat pun, kalau hanya sekedar pinter ngomong tapi hasil karyanya nol, sudah pasti jatuhnya bakal nyebelin juga. “Pada akhirnya janji-janji tertulis akan kalah dengan bukti-bukti tertulus” (akun fake Fahri Skroepp, 2019).
Kalau ngakunya cinta NKRI tapi akhirnya ketahuan korupsi ditambah masih ngeles bahwa itu cuma jalan lain mencari rejeki, yaa wassalam. Gelombang aksi akhir-akhir ini seharusnya membuat kita, rakyat kecil ini mulai berpikir ulang, “Apakah selama ini saya cuma jadi korban rayuan gombal dari wakil rakyat, partai, atau apapun yang kita coblos selama pilkada dan pemilu kemarin?”
Sesekali ngegombal buat pasangan, rakyat, atau siapa pun okelah, tapi tak perlu juga lebay seperti bucin. “Sebab jika hanya sekedar kerja tanpa kata, jauh sebelum Indonesia merdeka, Romusha sudah duluan mengaplikasikan” (Arham Rasyid, 2019).
Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.
Keren
Cakeeepppppppp
Setujuuu