Sejak akhir November 2019 yang lalu, polemik mengenai pernyataan seorang selebriti kondang Agnez Mo dalam sebuah wawancara – bahwa dirinya tak berdarah Indonesia, masih menjadi pembahasan hangat di tengah masyarakat. Bahkan setelah ia menyampaikan klarifikasinya pasca wawancara di program “Build Series” di Amerika Serikat itupun, komentar-komentar negatif kepada penyanyi bernama asli Agnes Monica Muljoto itu masih terus bermunculan.
Agnez Mo – kepada pemandu acara Kevan Kenney, awalnya menjelaskan soal masyarakat Indonesia yang cukup majemuk. Ia mengatakan bahwa kemajemukan itu menjadi bagian dari dirinya. Hal tersebut tidak hanya menjadi sebuah representasi budaya, tapi juga budaya yang sifatnya inklusif.
Sang pewawancara lalu bertanya mengenai sosok Agnez Mo yang menurutnya berbeda dari orang Indonesia pada umumnya. Agnez menjawab bahwa dia sesungguhnya berdarah Jerman, Jepang, dan Cina; sedangkan Indonesia hanyalah menjadi tempat kelahirannya.
Konsep yang Absurd
Dari sisi sains, konsep “darah” itu sebenarnya sudah lumayan usang. Orang zaman dahulu sudah mendeteksi adanya penurunan sifat-sifat biologis dari orang tua ke anak, lalu ke cucu, dan seterusnya. Mereka mendeteksinya dari kemiripan bentuk wajah, warna kulit, warna rambut, atau postur tubuh.
Lalu pertanyaannya ialah apa sebenarnya agen yang menjadi pembawa sifat yang diturunkan itu? Dahulu orang mengira pembawa sifat itu adalah darah, karena itu ada ungkapan “darah daging”, “darah biru”, dan sebagainya.
Akan tetapi, fakta sains modern menunjukkan bahwa ternyata darah bukan merupakan agen pembawa sifat yang diturunkan. Agen pembawanya adalah gen (Andi Faridah Arsal, 2018:33).
Sayangnya, bahasa tak mudah berubah sesuai perkembangan sains. Banyak ungkapan bahasa yang bertolak belakang dengan sains, tapi masih terus dipertahankan. Misalnya, orang masih mengatakan “darah Aceh”, “darah Bugis”, “darah Arab”, “darah Tionghoa”, dan sebagainya, untuk menjelaskan komponen genetik seseorang. Padahal sekali lagi, komponen genetik keturunan seseorang tidak berhubungan dengan darah.
Kasus yang dialami oleh Agnez Mo seperti yang telah dipaparkan di bagian awal seharusnya kembali membuka mata kita bahwa sebagai negara dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa, Indonesia diisi oleh beragam suku bangsa dan bahasa dengan corak kebudayaan yang berbeda-beda.
Kemajemukan juga bertambah bila dilihat dari banyaknya agama dan aliran kepercayaan yang ada. Keragaman Indonesia yang luar biasa seharusnya menjadi kekuatan utama untuk berbicara di level dunia. Sayangnya, kebanyakan respon yang muncul adalah hujatan terhadap si artis bahwa ia tidak nasionalis dan melupakan ke-Indonesia-annya.
Ada yang menuntut pihak Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mengecek status kewarganegaraan si artis. Ada pula yang menganjurkan si artis untuk meminta maaf karena kata-katanya telah menyakiti perasaan bangsa Indonesia. Tetapi apakah sebenarnya hubungan antara darah dengan kebangsaan, kewarganegaraan, dan kecintaan seseorang terhadap tanah airnya?
Kita sering salah kaprah karena menganggap bahwa darah menyimpan informasi tentang sifat-sifat warisan dari garis keturunan kita. Itu sebabnya kita punya istilah “darah biru” untuk menyebut orang-orang keturunan bangsawan, yang kita juga tahu darahnya tidak berwarna biru.
Kita juga sering menyebut “darah Indonesia”, “darah India”, “darah Cina”, dan sebagainya. Padahal, salah seorang teman saya yang beretnis Tionghoa – misalnya, sama sekali tidak tahu menahu tentang negeri asal usulnya yang sering kita sebut Cina.
Beberapa tahun yang lalu, dia berangkat ke Guangzhou untuk melanjutkan studinya. Dia bercerita, alih-alih dianggap sebagai saudara sebangsa yang pulang ke “tanah air”, dia yang memegang paspor Indonesia itu di mata mereka penduduk Tionghoa tidak lebih hanyalah orang asing.
Dia harus membayar uang kuliah yang sama mahalnya dengan pelajar dari Afrika atau Australia. Dia juga wajib mengurus birokrasi visa yang rumit, dan harus senantiasa memperbarui izin studi agar jangan sampai kedaluwarsa. Itu artinya, Cina tidak mungkin menjadi “rumah” bagi dia.
Apa yang dialami oleh teman saya tersebut, mungkin juga banyak dialami oleh ribuan bahkan jutaan orang Indonesia “keturunan” lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Mereka adalah yang berpikir, berhitung, dan berbicara dalam bahasa Indonesia.
Mereka yang bermimpi dalam bahasa Indonesia. Mereka yang lidahnya senantiasa merindukan rasa pedas khas masakan Indonesia. Mereka yang selalu menggunakan air dan gayung di toilet, dan tidak bisa menggantinya dengan kertas dan tisu. Mereka yang dibesarkan dengan langit biru dan bayang-bayang gunung Rinjani, bukan langit kelabu yang disapu badai pasir gurun Gobi.
Gagasan Sebuah Negara Bangsa (Nasionalisme)
Tidak seorang pun dari anggota bangsa Indonesia yang bisa bertatap muka, apalagi mengenal secara langsung kesemua dari ratusan juta anggota bangsanya. Tetapi dia bisa membayangkan bahwa orang-orang sebangsa itu ada.
Orang-orang sebangsa itu, dalam imajinasinya, memiliki imajinasi yang sama dengan dirinya, leluhur yang sama, budaya yang sama, sejarah yang sama, musuh yang sama, impian dan masa depan yang sama. Tetapi, sekali lagi, ini adalah sebuah imajinasi.
Gagasan “Bangsa Indonesia” baru lahir di abad ke-20, ketika kaum terpelajar dari berbagai penjuru Kepulauan Hindia, dengan latar belakang etnik yang berbeda, baru mulai menyadari persamaan nasib mereka yang hidup di bawah penindasan penjajahan Belanda.
Berawal dari sekadar gagasan, “Bangsa Indonesia” kemudian didefinisikan secara eksplisit pada tahun 1928, dan disusul dengan puluhan tahun perjuangan terorganisir dari berbagai penjuru nusantara yang dipersatukan atas nama bangsa, demi mencapai cita-cita besar bersama untuk merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Bangsa sebagai komunitas imajiner tentu bukan hanya berlaku bagi bangsa Indonesia saja, tetapi juga bagi semua bangsa di dunia. Gagasan kebangsaan modern yang universal ini sebenarnya adalah fenomena yang baru dalam sejarah peradaban manusia.
Dirintis dalam Revolusi Prancis abad ke-18, berkembang di Eropa pada abad ke-19, dan mulai menjadi kelaziman di seluruh dunia pada abad ke-20. Dalam konsep kebangsaan modern ini, “bangsa” dan “negara” melebur menjadi satu. Garis batas negara pun seakan-akan menjadi sama dengan garis batas bangsa.
Konsep penyatuan garis batas negara dan bangsa ini sekilas terdengar sangat masuk akal, tetapi sebenarnya sangat absurd. Dua kakak beradik dari keluarga yang sama, apabila hidup di dua sisi garis batas yang berbeda, maka akan menjadi dua bangsa berbeda.
Itulah sebabnya orang Melayu Riau (Indonesia) dan orang Melayu Johor (Malaysia) bisa menjadi dua bangsa yang berbeda, walaupun mereka sama secara genetika, bahasa, budaya, dan agama. Sebaliknya, orang Melayu Riau bisa menjadi satu bangsa yang sama dengan orang Melanesia Papua, walaupun mereka sangat berbeda dalam hal genetika, bahasa, budaya, dan agama.
Negara adalah tentang tanah, sedangkan bangsa adalah tentang manusianya. Penyatuan antara garis batas negara dan bangsa ini mengharuskan kita untuk melihat bangsa bukan sekadar sebagai perkara etnik semata, tetapi alih-alih sebagai konstruksi politik dan geografis.
Bangsa Indonesia tercipta bukan karena persamaan darah atau genetika, melainkan karena sejarah politik yang sama – yaitu pernah hidup di wilayah geografis Kepulauan Hindia di bawah kolonialisme Belanda.
Genetika orang-orang yang hidup di wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia ini juga sangat beragam. Homo sapiens pertama kali memasuki wilayah Indonesia ini sekitar 40.000 tahun yang lalu. Keturunan mereka disebut sebagai orang Australoid atau Austro-Melanesoid. Di kalangan Homo Sapiens (manusia modern) yang hidup di Indonesia sekarang, merekalah sesungguhnya yang bisa dikatakan sebagai pribumi pertama.
Gelombang migrasi besar berikutnya, adalah orang-orang Austroasiatik yang berasal dari dataran tinggi Yunnan di Cina Selatan, sekitar 6.000 hingga 5.000 tahun yang lalu, disusul orang-orang pelaut Austronesia yang berasal dari Taiwan, sekitar 4.000 tahun lalu.
Selama ribuan tahun setelah itu, wilayah Indonesia yang terletak di antara Benua Asia dan Asutralia merupakan penghasil rempah yang menjadi pusat perdagangan bahari dunia. Indonesia, terutama kota-kota pelabuhan di pesisir, menjadi kuali percampuran antara penduduk lokal dengan para pendatang dari India, Arab, Persia, Siam, Cina, dan lain-lain. Setelah itu, datanglah para penjelajah, saudagar, dan kolonis dari berbagai negara barat.
Dengan adanya semua migrasi dan peleburan yang terus berlangsung tanpa henti selama ribuan tahun itu, masih bisakah kita menunjukkan mana yang disebut “darah Indonesia sejati” atau “gen Indonesia asli” itu?
Jadi, sudah seharusnya kita menyikapi bahwa hubungan antara darah dengan kebangsaan dan nasionalisme adalah tidak relevan lagi. Rakyat Indonesia harus mulai menyadari akan makna nasionalisme yang lebih substantif, nasionalisme yang menimbulkan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.
Dengan substansi tersebut, nasionalisme tidak terbatas pada identitas semata. Semua pihak dapat membangun semangat nasionalisme, semua pihak dapat makmur bersama, dan berkomitmen bersama, terlepas dari identitas apapun yang melekat pada dirinya.
Epilog: Nasionalisme Itu Adalah Tentang Rasa
Identitas kebangsaan sesungguhnya adalah tentang dua rasa: rasa diterima dan rasa memiliki. Seseorang, apa pun darah dan latar belakang budayanya, bisa menjadi bagian dari bangsa mana pun, asalkan bangsa itu menerima dia apa adanya, dan dia pun meyakini bahwa bangsa itu adalah bangsanya.
Ketika seseorang telah menjadikan sebuah bangsa sebagai identitas penting dalam dirinya, maka tanpa perlu dipaksa pun, orang itu akan rela berkorban demi kepentingan bangsanya. Nasionalisme pertama-tama adalah tentang rasa, dan sama sekali bukan urusan darah.
Pada akhirnya, kita harus senantiasa mengingat bahwa bangsa adalah khazanah keberagaman yang terlahir dari gagasan dan imajinasi. Sebuah bangsa akan bertahan lebih lama, apabila elemen-elemen dalam bangsa itu lebih menonjolkan persatuan nilai-nilai dan cita-cita besar di antara mereka.
Sebuah bangsa akan kokoh berdiri jika dia mewujudkan komitmennya untuk memperlakukan semua elemen bangsa secara adil dan setara. Sebaliknya, ketika manusia dalam bangsa itu sudah mulai sibuk untuk membesar-besarkan perbedaan yang ada di antara mereka, maka bangsa itu akan melaju cepat menuju jurang perpecahan.
Semoga itu tidak terjadi pada Indonesia.
Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
0 Comments