Nasihat Bagi Orang Tua Dalam Pendidikan Anak

by Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer | Apr 25, 2018 | Refleksi Birokrasi | 5 comments

Banyak orang tua yang sering mengeluhkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kadang keluhan itu disertai dengan kesedihan dan kekesalan. Nyatanya, bukan cuma orang tua yang merasa demikian. Anak-anak pun sering memendam kekecewaan yang sama tentang hal itu.

Kekecewaan sang anak biasanya karena mereka tidak dapat mengerjakan soal ujian dengan baik. Padahal, biasanya mereka tahu kalau ada temannya yang melakukan cara-cara curang dalam menyelesaikan soal-soal ujian. Kekecewaan mereka itu biasanya dilampiaskan dengan pertanyaan: “mengapa pendidikan hanya menyentuh aspek akademik saja, sementara kemampuan lain tidak begitu menjadi perhatian?”

Apologi yang dikemukakan sang anak adalah ketika banyak anak lain yang mengambil pelajaran tambahan di sana-sini, sang anak tadi ‘hanya’ sekedar mengikuti les bermain bola.

Menjadi cukup logis di benak sang anak, kalau hasil ujiannya tidak memuaskan karena ketika anak-anak lain mendapatkan tambahan asupan pelajaran yang beraneka ragam, sang anak hanya mengambil tambahan untuk meningkatkan olah fisiknya.

Benarkah pendidikan hanya sekadar mengejar angka-angka akademik? Tulisan berikut mencoba mengeksplorasi hal lain yang hendaknya juga dikuasai oleh anak. Bukan hanya aspek kognitif, melainkan kecerdasan majemuk dan pelajaran integritas sebaiknya justru menjadi hal utama yang ditanamkan kepada anak.

Kecerdasan Majemuk

Ujian sekolah yang diselenggarakan di kebanyakan institusi pendidikan di republik ini masih mengedepankan pengetahuan kognitif peserta didik. Konsekuensi dari banyaknya porsi kognitif ini adalah munculnya soal-soal yang mengasah hafalan siswa menjadi menu rutin dalam penilaian keberhasilan pendidikan.

Apabila ujian tersebut dilaksanakan terhadap beberapa pelajaran tertentu saja, mungkin tidak akan menjadi masalah. Anak didik akan mampu mengatasi itu semua.

Yang menjadi keprihatinan terhadap model pendidikan ini, hampir semua mata pelajaran menggunakan pendekatan ini dalam setiap ujian. Hal ini diperparah dengan adanya keharusan siswa untuk mengikuti semua pelajaran. Apa yang akan terjadi kalau sejak pendidikan dasar sudah digembleng untuk sekedar mengejar kemampuan hafalan?

Toh, dari semua yang dihafalkan, pada akhirnya tidak semuanya digunakan dalam kehidupan nyata dan tidak semua akan memberikan manfaat bagi kehidupan sang anak. Atas kondisi ini, orang tua perlu memahami makna substansial dari kecerdasan yang diharapkan akan dimiliki sang anak.

Kecerdasan yang sesungguhnya mencakup tiga kemampuan, yakni: (1) menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia; (2) menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan; dan (3) menciptakan sesuatu atau memberikan penghargaan dalam budaya seseorang.

Tiga kemampuan tersebut selaras dengan pendapat pakar pendidikan sekaligus psikolog, Dr. Howard Gardner (Frames of Mind, 1983) yang menyatakan bahwa kecerdasan itu beraneka ragam atau majemuk (multiple intellingences).

Kecerdasan majemuk bukan hanya kemampuan hafalan semata. Setiap manusia dianugerahi berbagai kecerdasan yang berbeda-beda dalam penciptaan-Nya. Di antaranya adalah kecerdasan interpersonal (kecerdasan sosial), kecerdasan intrapersonal (kecerdasan diri), kecerdasan musical, kecerdasan bahasa, kecerdasan natural (kecerdasan alam), kecerdasan spasial (kecerdasan ruang), kecerdasan logika matematika, dan kecerdasan kinestetik (kecerdasan olah tubuh).

Berbagai kecerdasan tersebut memiliki kecenderungan masing-masing dalam setiap pribadi anak/siswa. Kecerdasan tersebut juga dapat dikembangkan sampai dengan tahap yang memadai, apabila siswa mendapatkan pendidikan yang sejalan dengan kecerdasan tersebut.

Yang perlu dipahami selanjutnya, berbagai kecerdasan tersebut bekerja bersama dengan cara yang kompleks dan tidak berdiri sendiri.

Manusia-manusia dengan kecerdasan-kecerdasan tertentu dapat dijadikan sebagai benchmark bagi para orang tua untuk mengarahkan pendidikan anak-anaknya sedini mungkin. Orang tua tidak boleh egois mengharapkan sang anak akan berprestasi di semua bidang.

Jika sang anak memang tidak memiliki bakat khusus di bidang matematika, maka orang tua tidak perlu memaksakan anak mengikuti berbagai les matematika hanya demi sebuah nilai.

Selain itu, orang tua juga harus memahami bahwa pelajaran dan pendidikan tidak melulu dilaksanakan secara konvensional yang tersekat oleh bangunan kelas. Pelajaran dan pendidikan secara luas justru berlangsung di dunia nyata.

Apalagi, pedidikan saat ini dihadapkan pada tantangan perubahan yang sangat cepat yang berlangsung dalam waktu singkat dan tidak dapat diprediksikan. Oleh karena itu, subtansi dan metode pembelajaran pun harusnya berkembang mengikuti tantangan zaman.

Para praktisi dan akademisi di republik ini perlu mendefinisikan ulang pola pendidikan yang ada. Mereka seharusnya tidak sekedar menawarkan teori yang mengawang-awang, tetapi teori yang mampu memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang muncul di dunia nyata. Ujian pun seharusnya tidak hanya bersifat hafalan pengetahuan (kognitif), tetapi juga ujian yang menjangkau aspek sikap dan perilaku (afektif dan psikomotorik).

Pelajaran Integritas

Kecerdasan tanpa integritas ibarat mesin penghancur yang tidak dapat dikendalikan yang mampu meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan itu sendiri. Sedangkan integritas tanpa kecerdasan, hanya akan melewatkan zaman tanpa memberikan maslahat berarti bagi kemanusiaan dan kehidupan.

Pendidikan tanpa integritas hanya akan melahirkan seseorang yang hanya hafal teori, tetapi tidak dapat memberikan manfaat yang sesungguhnya. Capaian di dalam dunia pendidikan atau dunia kerja, idealnya haruslah dilandasi dengan integritas atau kejujuran.

Konsekuensinya, orang tua dan keluarga tidak seharusnya menuntut anak untuk sekadar menjadi juara atau berprestasi semata. Menjadi juara haruslah dicapai dengan cara-cara yang bermartabat. Menjadi berprestasi haruslah mengedepankan etika dan kejujuran. Mengapa?

Cara yang bermartabat dan dilandasi kejujuran akan menenteramkan jiwa karena jauh dari kedholiman dan tidak merampas hak orang lain. Namun, ketika orang tua hanya terpaku pada hasil akhir semu dan angka-angka nilai tinggi yang dianggap berprestasi, maka hal ini bukanlah esensi dari kecerdasan sebagaimana dipaparkan sebelumnya.

Di era kekinian di mana nilai-nilai materialistik begitu mendominasi sendi-sendi kehidupan, setiap orang tua dan juga sekolah harus memberikan pembiasaan yang baik kepada anak. Miris kita rasakan ketika ada beberapa oknum orang tua yang melakukan berbagai cara dengan tujuan anak-anaknya terlihat berprestasi.

Pola perjokian atau bahkan membeli kunci jawaban ujian bahkan pernah diberitakan di media massa. Lebih parah lagi, ada oknum sekolah yang menginstruksikan kepada anak didiknya untuk melakukan kerjasama atau menyontek bersama-sama pada saat ujian.

Nilai ujian harus bagus agar prestasi sekolah “terjaga.” Ketika kecurangan-kecurangan dalam dunia pendidikan itu terjadi, maka saat itulah awal dari tragedi kemanusiaan dan kehidupan.

Orang tua, sekolah, dan lingkungan seharusnya sadar bahwa kejujuran atau kebohongan sebetulnya hanyalah upaya pembiasaan semata. Kalau orang dibiasakan jujur, maka dia akan sulit untuk melakukan kebohongan. Namun sebaliknya, manakala orang terbiasa berbohong, maka berlaku jujur menjadi sangat berat.

Dunia kerja yang nyata merupakan pembuktian sesungguhnya bagi perilaku-perilaku di masa mengenyam pendidikan. Kalau di bangku kelas terbiasa untuk berlaku tidak jujur, maka di dunia kerja akan lebih mudah lagi untuk berlaku lacur.

Apabila prestasi yang didapat menggunakan cara-cara yang tidak bermartabat, maka pada dasarnya ijazah dan rapor yang ada hanyalah merupakan susunan angka-angka yang tidak bermakna. Prestasi palsu hanya akan melahirkan pribadi yang tanpa solusi dan manusia machiavelis yang akan melakukan berbagai upaya demi suatu tujuan.

Fakta di lapangan membuktikan, banyak orang yang secara akademis berprestasi, tetapi tidak dapat menunjukkan kinerja yang memuaskan bagi lingkungannya. Namun sebaliknya, mereka yang biasa saja dalam prestasi akademik bisa menjadi orang yang memiliki kesuksesan luar biasa. Seolah tidak terdapat korelasi dan relevansi yang nyata antara ilmu yang dienyam di bangku pendidikan dengan tantangan yang dihadapi dalam dunia kerja.

Hal ini semakin diperparah dengan pola kolusi dan perkoncoan yang diterapkan dalam lingkungan kerja baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta.

Sebaliknya, kemampuan yang dibangun dengan dasar rasa percaya diri dan upaya pribadi yang jujur akan sangat berpengaruh dalam dunia kerja nantinya. Setiap pribadi yang menggembleng diri dalam berbagai usaha keras yang bermartabat semenjak dari pendidikannya akan menjadi pribadi dengan etos kerja yang tangguh.

Pribadi yang mampu menghadirkan solusi, karena terbiasa untuk berpikir kritis dan bertindak sistematis selama pendidikannya. Orang yang percaya diri dan jujur adalah pribadi yang tidak cengeng, yang tidak akan merengek mengandalkan bantuan teman atau uluran orang-orang terdekatnya. Pribadi yang mampu tampil seperti ini sesungguhnya merupakan pribadi yang telah memiliki kecerdasan yang hakiki.

Konklusi

Nilai moral yang harus dijunjung segenap orang tua adalah mengajak anak untuk berprestasi dengan dasar kejujuran. Orang tua harusnya menekankan kepada setiap anak-anaknya agar menjaga kejujuran dalam setiap tingkah lakunya semenjak di lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolahnya.

Orang tua juga sebaiknya memahami bakat yang paling kuat dari sang anak. Jangan sampai orang tua memiliki harapan yang tidak sejalan dengan kemampuan sang anak.

Kebanggaan orang tua yang hakiki adalah ketika anak-anaknya mampu menapaki jenjang pendidikan yang relevan dengan kemampuan/bakatnya dan dilandasi dengan kejujuran, tidak sekedar prestasi semata. Dengan menapaki jenjang pendidikan yang benar, maka anak-anak kita akan semakin mampu menaklukkan tantangan di dunia nyata. Semoga.***

 

 

0
0
Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa. Sebelumnya pernah berkiprah di birokrasi sebagai PNS dan resign dari PNS setelah dipinang oleh sebuah consulting firm dari USA. Ditengah kesibukannya sebagai praktisi, narasumber, konsultan di beberapa KLDI dan aktif mendorong fleksibilitas pengadaan sektor BLU berbasis manajemen rantai pasok, serta pemberi keterangan ahli dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa.

Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Atas Yuda Kandita ◆ Professional Writer

Author

Konsultan independen bidang pengadaan barang dan jasa. Sebelumnya pernah berkiprah di birokrasi sebagai PNS dan resign dari PNS setelah dipinang oleh sebuah consulting firm dari USA. Ditengah kesibukannya sebagai praktisi, narasumber, konsultan di beberapa KLDI dan aktif mendorong fleksibilitas pengadaan sektor BLU berbasis manajemen rantai pasok, serta pemberi keterangan ahli dalam perkara terkait pengadaan barang dan jasa.

5 Comments

  1. Avatar

    Berbagi pengalaman menjadi tenaga pengajar di sebuah internasional kala itu

    Reply
  2. Avatar

    Tulisan yang sangat bagus.
    Filosofi pendidikan yang begitu mengakar

    Reply
  3. Avatar

    tulisan yang berbobot 👍 semoga bisa menjadi bahan pertimbangan dan bisa diterapkan oleh para praktisi pendidik dan perumus kurikulum belajar mengajar di negeri kita tercinta ini.

    Reply
    • Avatar

      Maturnuwun, memang dibutuhkan kesadaran bersama untuk mempersiapkan generasi tangguh di masa yang akan datang. Dan tentunya tidak dengan cara cara lama atau kebiasaan.

      Reply
  4. Avatar

    tulisan ini terinspirasi dari puisi bercerita Bapak Yudisrizal
    mengemas menjadi artikel untuk dapat disebarkan secara masif sebagai nasihat untuk orang tua, termasuk diri kami pribadi

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post