Dalam khazanah regulasi kepegawaian, terdapat dua naskah yang kerap menjadi rujukan sekaligus teka-teki terkait Peraturan Pemerintah (PP) 74 Tahun 2008 tentang Guru dan anak kandung reformasinya, PP 19 Tahun 2017. Membacanya, bagai menyelami dua episode sebuah epos panjang. 

Pertama piagam pengakuan, sebuah deklarasi bahwa guru adalah “pendidik profesional”. Yang kedua adalah revisi atas realita, sebuah pengakuan bahwa jalan menuju profesionalitas itu berliku, dipenuhi simpul-simpul birokrasi dan benturan kepentingan.

Pada hakikatnya, PP 19/2017 bukan sekadar amendemen,
melainkan sebuah koreografi ulang atas tarian kebijakan guru. Sebagai cermin di mana kita melihat bayangan ideal guru profesional berseberangan dengan bayangan riil tantangan di lapangan. 

Regulasi ini adalah tubuh, tetapi rohnya adalah upaya memanusiakan kembali posisi guru dalam lanskap negara yang sangat beragam.

Sertifikasi Sebagai Medan Makna 

Bagi penulis, Pasal 10A yang disisipkan bukan sekadar aturan teknis, melainkan sebuah pernyataan filosofis. Sebagai bentuk pemberontakan halus terhadap tirani ijazah.

Regulasi ini menginterpretasikan ulang makna “kompetensi,” dari yang semula terkurung dalam transkrip akademik, menjadi sesuatu yang bisa bersemayam dalam “keahlian khusus”.

Namun, interpretasi ini sekaligus menusuk paradoks terbesar kebijakan regulasi guru. Bagaimana menjembatani dunia objektif administrasi dengan dunia subjektif bakat dan pengakuan?

Uji kelayakan dan kesetaraan adalah upaya menerjemahkan “kearifan tangan” ke dalam “bahasa birokrasi”. Ini sebuah tugas yang mustahil sempurna, namun perlu untuk dicoba.

Perubahan pada Pasal 13 tentang kriteria perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi juga menarik. Dari sekadar “terakreditasi” menjadi “terakreditasi paling rendah B”.

Ini adalah isyarat untuk meninggalkan budaya asal-asalan. Regulasi mendorong lompatan kualitatif, memaksa lembaga pendidikan untuk tidak lagi menjadi pabrik ijazah, melainkan menjadi kawah candradimuka yang mencetak kompetensi sejati.

Tunjangan Profesi Guru 

Perubahan pada Pasal 15, adalah sebuah contoh sempurna dari prinsip Terintegrasi. Regulasi tidak lagi memandang guru sebagai entitas tunggal yang hanya “mengajar di kelas”.

Ia melihat guru secara holistik sebagai bagian dari sebuah ekosistem pendidikan. Tugas tambahan—dari wali kelas, pembina ekstrakurikuler, hingga koordinator—diakui nilainya. 

Ekuivalensi beban kerja adalah pengakuan
bahwa denyut nadi sekolah berdetak di ruang rapat, perpustakaan, dan lapangan upacara,
bukan hanya di balik meja guru.

Visi holistik, berjalan beriringan dengan prinsip Inklusif. Regulasi ini dengan sengaja mempertimbangkan suara para pemangku kepentingan yang sering terabaikan: guru produktif di SMK, guru yang bertugas di daerah khusus (Pasal 59), guru dengan tugas tambahan, dan bahkan penyelenggara pendidikan masyarakat. 

Ia berusaha menciptakan kesetaraan antara guru pegawai negeri dan non-pegawai negeri dalam hal tunjangan profesi (Pasal 23), sebuah langkah inklusif untuk merobek sekat status yang kerap mengerdilkan makna pengabdian.

Namun, sekali lagi, ada bayangan yang mengganggu. Ketentuan bahwa guru dengan lebih dari satu sertifikat atau mengajar di lebih dari satu satuan pendidikan hanya berhak atas satu Tunjangan Profesi (ayat 5).

Di satu sisi, ini adil untuk mencegah konsentrasi manfaat. Disisi lain, ia bisa menjadi batu sandungan bagi guru multitalenta yang berkontribusi di banyak tempat. Di sini, regulasi berhadapan dengan dilema antara keadilan distributif dan penghargaan atas kinerja ekstra.

Penempatan dan Pemindahan

Pasal 59 yang diubah adalah sebentuk kesadaran geopolitik yang dalam. Masa tugas wajib di Daerah Khusus dinaikkan dari 2 tahun (dalam PP 74/2008) menjadi 10 tahun. Ini adalah sebuah lompatan radikal. Regulasi tidak lagi memandang penugasan di daerah terpencil sebagai “ritual penyucian” singkat, melainkan sebagai “pengabdian hakiki”.

Perubahan ini bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjamin stabilitas dan keberlanjutan pendidikan di daerah yang paling membutuhkan. Seorang guru bukan lagi turis yang singgah, melainkan bagian dari komunitas.

Di sisi lain, ia adalah ujian berat bagi humanisme guru. Sepuluh tahun adalah seperempat dari masa produktif seorang manusia. Regulasi ini meminta pengorbanan yang tidak kecil, dan karena itu, ia harus diimbangi dengan sistem pendukung (seperti yang diamanatkan dalam Pasal 60 PP 74/2008 tentang rumah dinas) yang nyata, bukan sekadar janji di atas kertas.

Koordinasi perencanaan kebutuhan guru secara nasional (Pasal 58) juga dikuatkan. Pengakuan bahwa guru adalah aset strategis bangsa, yang penempatannya tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau keinginan pribadi. Regulasi berusaha menjadi navigator yang menyeimbangkan kapal antara kebutuhan nasional, aspirasi daerah, dan hak individu guru.

Beban Kerja 

Perubahan pada Pasal 52 dan 54 adalah penyempurnaan yang bersifat teknis namun sarat filosofi. Beban kerja minimal 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam tidak lagi dilihat sebagai angka mati, tetapi sebagai bagian dari keseluruhan jam kerja yang holistic (dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 52 PP 74/2008 bahwa ini bagian dari minimal 37,5 jam kerja/minggu).

Konsep ekuivalensi untuk tugas tambahan dan bagi kepala satuan pendidikan/pengawas adalah bentuk pelepasan dari fetisisme “jam tatap muka”.

Regulasi memahami bahwa membimbing seorang guru muda, mengelola perpustakaan, atau menyusun kurikulum, memiliki nilai pengabdian yang setara dengan berdiri di depan kelas. Ini adalah perluasan makna “mendidik” dari sebuah aksi langsung menjadi sebuah penciptaan ekosistem.

PP 19 Tahun 2017, pada akhirnya, adalah sebuah upaya untuk memasukkan “jiwa” ke dalam “kerangka” PP 74 Tahun 2008. Ia adalah amandemen yang humanis, yang mencoba menjembatani celah antara idealitas hukum dan realitas kehidupan guru.

Namun, seperti semua produk manusia, ia tidak lepas dari paradoks. Ia membuka pintu bagi keahlian non-formal, tetapi berpotensi menciptakan gerbang birokrasi baru. Ia menjunjung tinggi pengabdian di daerah khusus, tetapi menuntut sacrifice yang besar. Ia menghargai tugas tambahan, tetapi membatasi insentif bagi guru multitalenta.

Esensi dari sebuah regulasi, bukan terletak pada kata-katanya yang tertulis, tetapi pada bagaimana ia dihidupkan. Bagai sebuah partitur musik yang indah.

Keindahannya tidak terletak pada tinta di atas kertas, tetapi pada alunan nada yang dihasilkan oleh setiap pemain dalam orkestra pendidikan nasional. yang terdiri atas pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, dan guru itu sendiri. 

Tugas kita sekarang memastikan bahwa tarian birokrasi yang dikoreografikan ulang ini tidak berakhir sebagai tarian mekanis para boneka, melainkan sebagai tarian penghormatan bagi para pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya.

Yaitu, yang setiap harinya tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga memanusiakan manusia. Sebab, pada akhirnya, regulasi terbaik adalah yang tidak terasa sebagai belenggu, tetapi sebagai sayap yang bisa membawa terbang.

2
0
Andriandi Daulay ♥ Active Writer

Andriandi Daulay ♥ Active Writer

Author

H. Andriandi Daulay lahir di Pekanbaru pada 24 Oktober 1980. Saat ini menjabat sebagai Analis SDM Aparatur Madya di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau. Latar belakang pendidikan di bidang Akuntansi (STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta) dan Magister Ilmu Administrasi (Universitas Islam Riau), ia berfokus mendalami manajemen sumber daya manusia, reformasi birokrasi, dan transformasi ASN. Berbagai kursus dan pelatihan telah diikutinya, termasuk Sekolah Anti Korupsi ASN (SAKTI) ICW Jakarta, Pelatihan Fungsional Kepegawaian BKN, serta Seminar Nasional tentang Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja. Ia juga meraih Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2017) atas pengabdiannya sebagai ASN. Sebagai seorang profesional di bidang kepegawaian, H. Andriandi Daulay aktif menulis dan berbagi wawasan. Karya-karyanya meliputi buku "Transformasi Birokrasi Wujud Penataan Pegawai" (2021), "Cinta Tanah Air Perspektif Kepegawaian" (2022), dan "Membentuk Pribadi ASN Profesional Berkarakter" (2023). Selain itu, ia juga menjadi narasumber dalam berbagai pelatihan dan seminar terkait kepegawaian. Dalam pandangannya, tata kelola SDM yang baik menjadi kunci utama dalam menciptakan pelayanan prima bagi masyarakat. Dengan semangat berbagi ilmu, ia aktif menulis di blog dan berkontribusi dalam pengembangan karier Analis Kepegawaian.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post