
Tahun 2025 seharusnya menjadi momentum untuk refleksi mendalam bagi birokrasi Indonesia. Betapa tidak. Setelah Pemilu 2024, harapan akan birokrasi yang profesional dan independen justru terhalang oleh meningkatnya intervensi politik.
Dalam berbagai konteks penting bagi kita untuk melempar sebuah pertanyaan, apakah kita telah benar-benar berada pada jalur yang benar yang diharapkan dalam reformasi birokrasi?
Ketika Koneksi Mengalahkan Kompetensi
Apa yang dulunya dikenal sebagai Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 kini mendekati akhir periode dengan catatan yang memprihatinkan. Konsep meritokrasi, yang seharusnya menjadi inti reformasi ini, hampir tidak terdengar lagi.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak posisi strategis di birokrasi diisi bukan berdasarkan kemampuan atau prestasi, melainkan berdasarkan kedekatan politik. Contohnya, dalam penunjukan pejabat eselon, sering kali kita mendengar kisah tentang individu yang tidak memiliki pengalaman atau kualifikasi yang memadai terpilih karena hubungan dekatnya dengan penguasa.
Ini menciptakan kondisi di mana profesionalisme dan kompetensi diabaikan, dan lebih parahnya, hal ini sudah menjadi hal yang normal. pada konteks ini, meritokrasi tampaknya hanya menjadi isapan jempol belaka.
Meritokrasi—konsep di mana jabatan publik harus diperoleh melalui kompetensi, integritas, dan kinerja—kini jauh panggang dari api.
Secara formal, Indonesia telah mengadopsi prinsip ini melalui UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan pembentukan Komisi ASN (KASN). Namun, kenyataan berbeda: promosi jabatan lebih ditentukan oleh jaringan relasi, bukan kemampuan individu.
Dalam hal ini, meritokrasi seharusnya menjadi jembatan menuju cita-cita mewujudkan good governance. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam, kita menemukan bahwa jembatan tersebut tampaknya dibangun di atas pasir yang tidak stabil.
Sebagai contoh, pegawai negeri dengan kualifikasi dan kinerja yang sangat baik sering kali harus menyaksikan rekan-rekannya yang lebih dekat dengan penguasa mendapatkan promosi yang seharusnya menjadi hak mereka.
Padahal, dalam UU No. 5 Tahun 2014, terdapat banyak pasal yang mengatur pengadaan dan pengembangan ASN berdasarkan sistem merit, tapi implementasinya, bagai pungguk merindukan bulan.
Misalnya, dalam proses seleksi jabatan, intervensi politik sering menjadi faktor pembeda dalam penentuan hasil keputusan. Situasi ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga merusak integritas institusi yang seharusnya menjadi contoh.
Satu ilustrasi mencolok adalah ketika seorang pegawai yang telah mengabdi bertahun-tahun dengan dedikasi tinggi tiba-tiba melihat posisinya diambil alih oleh seseorang yang baru masuk dan memiliki koneksi kuat.
Ketidakadilan ini tidak hanya berdampak pada individu yang terlibat, tetapi juga pada seluruh sistem, karena pegawai yang merasa diabaikan cenderung menjadi demotivasi.
Struktur Kosmetik: Ketika Seleksi Hanya Panggung Formalitas
Rapat-rapat koordinasi dan dokumen kebijakan yang disusun Kementerian PAN-RB untuk periode 2025–2029 memang terdengar baik: transformasi digital, peningkatan kompetensi, pelayanan publik yang responsif.
Namun, satu hal krusial luput dari pembahasan: sistem merit itu sendiri. Seolah-olah jenjang karier ASN yang adil dan objektif bukan lagi prioritas. Tanpa meritokrasi, semua jargon reformasi hanyalah kosmetik.
Di berbagai daerah, fakta ini menjadi rahasia umum. ASN dengan rekam jejak baik dan kompetensi mumpuni tersingkir oleh mereka yang lebih “dekat”, bukan lebih “hebat”.
Di instansi pemerintah, promosi jabatan sering kali bukan hasil seleksi, tetapi hasil lobi dan negosiasi. Loyalitas politik, balas budi pasca pilkada, hingga “mahar jabatan” menjadi produk yang sah dalam birokrasi. Maka, masih layakkah kita menyebut ini sistem yang sehat?
Bahkan intervensi politik dalam birokrasi telah mencapai titik nadir.
Ini bukan sekadar satu-dua kasus, tetapi berlangsung secara terstruktur, sistemik, dan masif. Kinerja dan kompetensi menjadi formalitas. Proses seleksi hanya menjadi panggung teatrikal untuk melegitimasi keputusan yang telah diatur sebelumnya.
Akibatnya, talenta terbaik memilih untuk diam, mundur, atau bahkan hengkang. Narasi yang berkembang sangat memprihatinkan: “integritas tidak menjamin apapun.” Ini bukan sekadar keluhan, tetapi cermin dari betapa rusaknya ekosistem birokrasi kita.
Ketika yang kompeten terpinggirkan, yang naik adalah mereka yang “berkenan”—dan pelayanan publik pun menjadi taruhannya.
Siapa yang paling dirugikan? Lagi-lagi rakyat.
Ketika jabatan publik diisi oleh sosok inkompeten, kebijakan menjadi tumpul, pelayanan menjadi lamban, dan kepercayaan masyarakat kepada negara runtuh. Ini bukan sekadar kegagalan administratif, tetapi juga kegagalan moral dan politis.
Birokrasi Tanpa Jantung: Antara Loyalitas, Mahar Jabatan, dan Inkompetensi
Ada sebab utama mengapa meritokrasi hampir musnah dari tubuh birokrasi kita:
- Pertama, sistem akuntabilitas yang lemah. Lembaga pengawas seperti KASN kehilangan nyali. Ketika pelanggaran tidak dihukum, maka pelanggaran akan menjadi norma.
- Kedua, budaya feodal yang masih mengakar.
- Ketiga, minimnya kepemimpinan yang visioner. Banyak pimpinan instansi lebih sibuk mengkonsolidasikan kekuasaan internal ketimbang membangun birokrasi profesional. Mereka membangun kerajaan kecil, bukan organisasi yang sehat.
- Keempat, praktik suap dan jual beli jabatan yang tak kunjung diberantas. Jabatan telah menjadi komoditas layaknya produk tambang. Dalam banyak kasus, promosi jabatan tidak hanya berbiaya tinggi secara moral, tetapi juga secara material.
Ironisnya, meritokrasi sering dipersempit menjadi sekadar urusan tes atau angka nilai kompetensi. Padahal, meritokrasi seharusnya merupakan budaya. Tanpa nilai-nilai integritas, objektivitas, dan penghargaan terhadap kinerja, meritokrasi hanyalah prosedur kosong.
Kita sedang menciptakan sistem yang memberi ruang bagi inkompetensi. Jika ini dibiarkan, kita akan menyiapkan generasi birokrat masa depan yang lebih sibuk membangun jejaring politik ketimbang kapasitas diri.
Meritokrasi belum sepenuhnya mati, tetapi ia sedang sekarat—ditikam berkali-kali oleh kekuasaan yang korosif. Dalam masyarakat yang ideal, meritokrasi seharusnya menjadi pilar utama dalam menentukan siapa yang layak memegang posisi strategis dan berkontribusi pada kemajuan bersama.
Namun, kenyataannya, sistem ini kini terancam oleh praktik nepotisme dan favoritisme yang merajalela. Bayangkan sejenak, seorang individu yang telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mengasah keterampilan dan pengetahuan, namun harus menyaksikan rekan-rekannya yang lebih “loyal” dan kurang kompeten meraih posisi yang seharusnya mereka dapatkan.
Sangat suram bukan?
Menyelamatkan Sistem Merit, Jantung Birokrasi
Jika kita masih berharap pada perubahan pada tubuh birokrasi, kita harus berani menyelamatkan jantungnya: sistem merit. Tanpa sistem yang adil dan transparan, birokrasi kita akan menjadi seperti kapal yang kehilangan arah di tengah lautan yang bergelora.
- Sistem merit bukan hanya sekadar alat untuk menilai kemampuan individu, tetapi juga sebagai mekanisme untuk memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari latar belakang sosial atau politik, memiliki kesempatan yang sama.
- Sistem merit yang seharusnya memberikan kesempatan yang adil justru terdistorsi oleh faktor-faktor eksternal yang tidak adil. Lebih jauh, kita harus merenung, bagaimana birokrasi yang tidak lagi berakar pada meritokrasi dapat terus tumbuh?
Ketika sebuah keputusan diambil hanya berdasarkan loyalitas, kita akan terus menyaksikan munculnya budaya kerja yang tidak produktif. Sekarang, yang tersisa hanyalah birokrasi yang berjalan tanpa arah, dikuasai oleh yang “loyal”, bukan yang “layak”.
Kita hidup dalam sebuah sirkus di mana kucing-kucing yang tidak terlatih justru mendapatkan kesempatan untuk tampil, sementara singa-singa handal yang mampu menciptakan keajaiban, terpaksa hanya jadi penonton dari pinggir arena.
Ironisnya, kita terjebak dalam sebuah konsep, loyalitas adalah nilai yang lebih tinggi daripada kompetensi. Apakah kita benar-benar ingin dipimpin oleh mereka yang lebih pandai menjilat daripada mereka yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni?
Fenomena ini membuat daya rusak yang parah dalam sistem bernegara kita.
Akhir kata, meskipun meritokrasi belum sepenuhnya mati, ia berada dalam keadaan yang sangat kritis. Kita tidak bisa hanya duduk dan berharap bahwa segala sesuatunya akan berubah dengan sendirinya.
Kita perlu mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan fondasi birokrasi kita. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam kesuksesan yang semu.
0 Comments